Mubadalah.id – Fatimah binti al-Mutsanna lahir di Kordoba, Spanyol. Dikisahkan bahwa sejak kecil Fatimah sudah diajarkan ayahnya untuk hidup sederhana.
Kehidupan keluarga Fatimah binti al-Mutsanna memang miskin. Manakala sudah baligh, sang ayah menikahkannya dengan seorang laki-laki yang sakit lepra.
Fatimah mengabdikan dirinya untuk mengurus dan melayani suaminya ini selama 24 tahun, sampai meninggalnya. Sesudah itu, ia hidup sendiri, dan untuk memenuhi keperluan hidupnya, ia bekerja sebagai penjahit.
Sayangnya, tangan Fatimah terluka sehingga ia tidak bisa lagi menjahit. Ia pun tak punya pekerjaan. Hidupnya sangat sulit. Untuk mempertahankan hidup, ia mencari makanan dari sisa-sisa makanan orang kaya yang membuangnya ke tempat sampah.
Meski demikian, ia tetap bersyukur kepada Tuhan. Ia memandang hal tersebut sebagai ujian sebagaimana ujian yang dialami para nabi. Sejak saat itu, Fatimah menempuh jalan sufi, dan kemudian menjadi tokoh besar dalam bidang ini.
Fatimah menjadi “al-‘arifat” (perempuan yang telah mengenal Tuhan, atau biasa waliyullah perempuan). Pandanganpandangannya dalam bidang spiritualisme Islam menjadi rujukan para ulama pada zamannya.
Bahkan di antara kita boleh jadi banyak yang mengenal Muhyiddin Ibnu Arabi, seorang ulama yang disematkan kepadanya gelar “asy-Syekh al-Akbar”, guru terbesar.
Gagasannya tentang “wahdah al-wujud” (kesatuan eksistensi) menjadi perbincangan kontroversial sepanjang zaman.
Namun, berapa banyak orang yang mengenal, dari mana ilmu pengetahuan dan pemikirannya yang demikian hebat itu?. Bagaimana Ibnu Arabi memberikan penghormatan yang demikian tinggi kepada perempuan?.
Guru Ibnu Arabi
Ibnu Arabi ternyata adalah santri dari seorang perempuan bernama Fatimah binti al-Mutsanna al-Qurthubiyah.
Dialah salah satu guru yang mengajarkan kepada Ibnu Arabi pengetahuan esoterik yang begitu luas dan mendalam yang banyak mengubah kehidupannya.
Pengalaman hidup Fatimah yang penuh derita mengantarkan konon mengantarkan Ibnu Arabi pada pengetahuan esoterik yang mendalam.
Ibnu Arabi dalam kamus besarnya yang sangat terkenal, al-Futuhat aI-Makiyyah mengatakan:
“Aku mengabdi kepada seorang perempuan wali di Seville yang bernama Fatimah binti Ibnu al-Mutsanna al-Qurthubi. Aku mengabdi kepadanya selama dua tahun.”
“Saat itu, ia berusia 95 tahun. Aku malu memandang wajahnya, meski usianya sudah begitu lanjut. Pipinya kemerah-merahan. Wajahnya masih tampak cantik bagai perempuan usia empat belas tahun. Ia perempuan yang mengabdikan hidupnya kepada Allah. Pribadi dan pengetahuannya banyak memengaruhi pikiranku.”
Ibnu Arabi tidak sendirian. Ia bersama dua orang temannya yang juga santri Fatimah membangun rumah sederhana dari bambu untuk tempat tinggal gurunya itu. []