Mubadalah.id – Shalat adalah kewajiban setiap muslim yang tidak bisa gugur dalam keadaan apapun, kecuali ketiduran, hilang akal (gila), dan lupa yang betul-betul lupa. Menjadi mempelai, dengan demikian bukanlah udzur yang membebaskan seorang Muslim dari kewajiban shalat. Bahkan idealnya, shalat saat menjadi pengantin bisa dilakukan dengan khusyu’ sebagai bentuk ketaatan seorang hamba dan sebagai wujud rasa syukur atas anugerah jodoh yang diberikan-Nya. Namun keadaan yang sering membuat mempelai kesulitan untuk menjalankan shalat tepat pada waktunya. Bolehkah menjamak shalat saat resepsi pernikahan?
Misalnya, jika resepsi digelar mulai pukul 11.00 s/d pukul 14.00, maka shalat dzuhurnya bisa tertinggal karena belum selesai mencopot pakaian dan membersihkan make-upnya, waktu ashar sudah tiba. Begitu juga jika resepsi dilakukan malam hari, shalat maghribnya tidak bisa tepat waktu karena pengantin sudah dirias sejak pukul 16.00 sore.
Jika resepsi dilakukan di rumah mulai pagi hingga malam hari malah bisa membuat shalat dzuhur, ashar, dan maghrib terabaikan. Sebetulnya keadaan ini bisa disiasati. Bagi pengantin yang menjadi mempelai seharian (biasanya resepsi di rumah), pengantin bisa menjamak shalat saat resepsi pernikahan dari dzuhur beserta ashar dengan jamak ta’khir di sore hari. Setelah maghrib tiba, pengantin segera bisa melakukan shalat maghrib, baru kembali ke pelaminan. Shalat isya bisa dilakukan setelah acara selesai.
Bagi pengantin yang dirias sore hari, ia bisa berwudlu sebelum dirias, dan ketika maghrib tiba ia segera menunaikan shalat maghrib sebelum memasuki pelaminan. Bila acaranya pagi sampai siang, mempelai bisa segera shalat dzuhur begitu acara selesai dan tidak perlu menjamak ta’khir shalat dzuhur di waktu ashar. Namun dalam situasi yang mendesak, shalat jamak bisa ditempuh sebagai solusi alternatif mengatasi kesulitan daripada meninggalkan shalat sama sekali.
Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas ra. “Saya pernah melihat Rasulullah Saw. menjamak antara dzuhur dan ashar, dan antara maghrib dan isya’, bukan karena perang dan bukan karena berpergian.” Ibnu Abbas ditanya, “Apa tujuan Nabi melakukan hal itu?” Abbas menjawab,”Beliau tidak ingin membuat repot umatnya.”
Berdasarkan hadis ini beberapa ulama memperbolehkan shalat jamak secara mutlak, dalam keadaan apapun. Yang berpendapat demikian antara lain adalah sahabat Ali bin Abu Thalib dan sahabat Ibnu Abbas, Ibnu Sirin, dan Imam Mundzir (ulama mazhab Syafi’i). Namun mazhab jumhur (mayoritas) tidak memperbolehkan jamak tanpa ada udzur. Bagi jumhur maksudnya jamak di situ adalah jamak shuuri (shalat pada waktunya, namun menyerupai jamak yakni shalat dhuhur menjelang ashar, dan setelah tiba waktu shalat ashar. Begitupula antara maghrib dan isya’).
Pendeknya, setiap mempelai tidak perlu meninggalkan shalat karena keadaan sulit itu bisa mendatangkan kemudahan. Bahkan Nabi pun sudah memberikan solusinya. Namun berbeda dengan jamak shalat yang diperbolehkan ketika ada hajat yang mendesak, qashar shalat (meringankan shalat dhuhur, ashar, dan isya menjadi 2 rakaat) tidak diperbolehkan selain berpergian atau dalam keadaan perang atau di bawah ancaman. Jadi, jika tidak bisa melakukan shalat sesuai waktu ketika jadi mempelai, silahkan menjamaknya namun jangan mengqhasarnya. Apalagi meninggalkannya.
Sumber: Buku Dari Harta Gono-Gini Hingga Izin Suami (2015)