Jumat, 22 Agustus 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Tunas Gusdurian 2025

    TUNAS GUSDURian 2025 Hadirkan Ruang Belajar Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren hingga Digital Security Training

    Konferensi Pemikiran Gus Dur

    Merawat Warisan Gus Dur: Konferensi Pemikiran Pertama Digelar Bersama TUNAS GUSDURian

    Kenaikan Pajak

    Demokrasi di Titik Nadir: GUSDURian Ingatkan Pemerintah Soal Kenaikan Pajak dan Kebijakan Serampangan

    Musawah Art Collective

    Lawan Pernikahan Anak Lewat Seni: Musawah Art Collective Gelar Trip Exhibition “Breaking the Chain” di Tiga Kota

    Krisis Iklim

    Green Youth Quake: Pemuda NU dan Muhammadiyah Bergerak Lawan Krisis Iklim

    ‘Aisyiyah Bojongsari

    ‘Aisyiyah Bojongsari Rayakan HAN dan Milad ke-108 Lewat Lomba dan Diskusi

    KOPRI

    Buka Perspektif Geopolitik Kader Perempuan, KOPRI Bedah Buku 75 Tahun Indonesia Tiongkok

    Pengelolaan Sampah

    Ulama Perempuan Serukan Pelestarian Alam dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

    PIT Internasional

    ISIF Buka Kolaborasi Akademik Global Lewat PIT Internasional

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Uang Panai

    Uang Panai: Stigma Perempuan Bugis, dan Solusi Mubadalah

    Pernikahan Terasa Hambar

    Masih Bersama, Tapi Mengapa Pernikahan Terasa Hambar?

    Menikah

    Menikah atau Menjaga Diri? Menerobos Narasi Lama Demi Masa Depan Remaja

    Hari Kemerdekaan

    Hari Kemerdekaan dan Problem Beragama Kita Hari Ini

    Soimah

    Dear Bude Soimah, Tolong Perlakukan Pasangan Anak Laki-lakimu Sebagaimana Manusia Seutuhnya

    Inklusi Sosial

    Inklusi Sosial Penyandang Disabilitas

    Arti Kemerdekaan

    Arti Kemerdekaan bagi Perempuan

    Dhawuh

    Di Bawah Bayang-bayang Dhawuh Kiai: Bagian Dua

    Di Mana Ruang Aman Perempuan

    Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan: Di Mana Ruang Aman Perempuan dan Anak?

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Nasihat Anak

    Bertahap dalam Memberi Nasihat Kepada Anak

    Sikap Moderat

    Pentingnya Memiliki Sikap Moderat dalam Mengasuh Anak

    Sifat Fleksibel

    Mengapa Orangtua Perlu Sifat Fleksibel dalam Pola Asuh Anak?

    Gus Dur

    Gus Dur Sosok yang Rela Menanggung Luka

    Anak Kritis

    Membiasakan Anak Kritis dan Menghargai Perbedaan Sejak Dini

    Tidak Membedakan Anak

    Orangtua Bijak, Tidak Membedakan Anak karena Jenis Kelaminnya

    Kesetaraan Gender

    Pola Pendidikan Anak Berbasis Kesetaraan Gender

    Peran Orangtua Mendidik Anak

    Peran Orangtua dalam Mendidik Anak menurut Pandangan Islam

    Orangtua Mendidik Anak

    Peran Orangtua dalam Mendidik Anak untuk Generasi Berkualitas

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Tunas Gusdurian 2025

    TUNAS GUSDURian 2025 Hadirkan Ruang Belajar Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren hingga Digital Security Training

    Konferensi Pemikiran Gus Dur

    Merawat Warisan Gus Dur: Konferensi Pemikiran Pertama Digelar Bersama TUNAS GUSDURian

    Kenaikan Pajak

    Demokrasi di Titik Nadir: GUSDURian Ingatkan Pemerintah Soal Kenaikan Pajak dan Kebijakan Serampangan

    Musawah Art Collective

    Lawan Pernikahan Anak Lewat Seni: Musawah Art Collective Gelar Trip Exhibition “Breaking the Chain” di Tiga Kota

    Krisis Iklim

    Green Youth Quake: Pemuda NU dan Muhammadiyah Bergerak Lawan Krisis Iklim

    ‘Aisyiyah Bojongsari

    ‘Aisyiyah Bojongsari Rayakan HAN dan Milad ke-108 Lewat Lomba dan Diskusi

    KOPRI

    Buka Perspektif Geopolitik Kader Perempuan, KOPRI Bedah Buku 75 Tahun Indonesia Tiongkok

    Pengelolaan Sampah

    Ulama Perempuan Serukan Pelestarian Alam dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

    PIT Internasional

    ISIF Buka Kolaborasi Akademik Global Lewat PIT Internasional

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Uang Panai

    Uang Panai: Stigma Perempuan Bugis, dan Solusi Mubadalah

    Pernikahan Terasa Hambar

    Masih Bersama, Tapi Mengapa Pernikahan Terasa Hambar?

    Menikah

    Menikah atau Menjaga Diri? Menerobos Narasi Lama Demi Masa Depan Remaja

    Hari Kemerdekaan

    Hari Kemerdekaan dan Problem Beragama Kita Hari Ini

    Soimah

    Dear Bude Soimah, Tolong Perlakukan Pasangan Anak Laki-lakimu Sebagaimana Manusia Seutuhnya

    Inklusi Sosial

    Inklusi Sosial Penyandang Disabilitas

    Arti Kemerdekaan

    Arti Kemerdekaan bagi Perempuan

    Dhawuh

    Di Bawah Bayang-bayang Dhawuh Kiai: Bagian Dua

    Di Mana Ruang Aman Perempuan

    Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan: Di Mana Ruang Aman Perempuan dan Anak?

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Nasihat Anak

    Bertahap dalam Memberi Nasihat Kepada Anak

    Sikap Moderat

    Pentingnya Memiliki Sikap Moderat dalam Mengasuh Anak

    Sifat Fleksibel

    Mengapa Orangtua Perlu Sifat Fleksibel dalam Pola Asuh Anak?

    Gus Dur

    Gus Dur Sosok yang Rela Menanggung Luka

    Anak Kritis

    Membiasakan Anak Kritis dan Menghargai Perbedaan Sejak Dini

    Tidak Membedakan Anak

    Orangtua Bijak, Tidak Membedakan Anak karena Jenis Kelaminnya

    Kesetaraan Gender

    Pola Pendidikan Anak Berbasis Kesetaraan Gender

    Peran Orangtua Mendidik Anak

    Peran Orangtua dalam Mendidik Anak menurut Pandangan Islam

    Orangtua Mendidik Anak

    Peran Orangtua dalam Mendidik Anak untuk Generasi Berkualitas

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Buku Limādzā al-ḥarb: Surat Einstein dan Sigmund Freud tentang Perang

Buku ini menemukam memontum seiring meluasnya eskalasi perang di Timur Tengah antara Israel-Amerika Serikat dan Palestina-Iran-Yaman

Moh Soleh Shofier Moh Soleh Shofier
8 Oktober 2024
in Buku
0
Tentang Perang

Tentang Perang

763
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam perang, perempuan adalah manusia yang paling dirugikan. Tapi tulisan ini masih belum spesifik membahas perang dan perempuan. Melainkan aspek yang lebih universal: manusia dan perang.

Saya menemukan buku menarik. Judulnya “Limādzā al-ḥarb?” – terjemah dari bahasa Jerman dan terbit 2018 – mengupas tentang “Perang” dari dua ilmuwan abad 20, Albert Einstein sebagai representasi ilmu kealaman: Fisikawan dan Sigmund Freud yang mewakili ilmu humaniora: Psikoanalisis.

Buku ini menemukam memontum seiring meluasnya eskalasi perang di Timur Tengah antara Israel-Amerika Serikat dan Palestina-Iran-Yaman. Potensial pecahnya perang dunia ke-3.

Sekitar 30 halaman ditambah pengantar 30, buku ini memaparkan kegelisahan Albert Einstein terkait perang di masanya yang menggila sebab peralatan perang yang semakin canggih. Maka, saat Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan Lajnah Intelektual Internasional (LII) mensponsori Einstein untuk membahas suatu persoalan, ia memilih tema perang.

Pertanyaan dan Asumsi Albert Einstein dalam Suratnya

Surat resmi yang Einstein layangkan pada Sigmund Freud tertanggal 30 Juli 1932 – sementara pengantar terjemahan buku menduga ada surat yang tidak resmi sekitar tahun 1931. Sekitar 4 pertanyaan, yang bisa kita sederhanakan pada dua pokok persoalan.

Pertama, sebab-sebab perang? Kedua, cara mengatasi perang? Mengatasi perang inilah yang akan kami sorot karena relevan dengan PBB yang “gagal” menengahi perang (konflik) TimTeng. Khususnya Palestina dkk vs Israel yang dapat sponsor Amerika Serikat.

Di sisi lain, studi dan teori untuk menganalisis sebab-sebab perang sudah melimpah. Para tokoh cerdik-cendikia melibatkan diri dengan berbagai perspektif masing-masing. Sebut saja, Thucydides, sejarawan Yunani yang membahas konflik antara Athena dan Sparta. Tak ketinggalan, filsuf Italia hadir, Niccolò, yang terkenal dengan karyanya Il Principe, di mana ia menganalisis kekuasaan dan strategi politik.

Di abad pertengahan, Thomas Hobbes Filsuf Inggris yang menulis Leviathan, yang intinya sifat bawaan manusia adalah arogan. “Human nature is essentially cruel and selfish”. Pijakan yang sama dengan Sigmund Freud saat mengulas sebab-sebab perang di abad 20 dengan pendekatan psikologis.

Tentu, hal ini mendapat bantahan sebaliknya dari beberapa tokoh semisal Immanuel Kant – yang sempat Einstein sebut dalam suratnya. Pun, Jean-Jacques Rousseau, lebih lantang situasi alamiah manusia adalah baik dan damai.

Ada banyak pendekatan atau perspektif dalam memahami sebab-sebab perang. Teori sejarah, ekonomi, politik, psikologi, dan budaya. Bahkan dalam satu perspektif terkadang memberikan ragam penjelasan. Studi dan perdebatan itu bersenyawa dengan kesamaan perasaan: BENCI PERANG dan CINTA DAMAI.

Pertanyaan Einstein: Cara Mengatasi Perang

Terlepas dari itu, sampai sekarang, perang tetap ada. Itu fakta tak terbantahkan. Baik fakta sejarah maupun fakta yang sedang berlangsung. Dan abad ini, abad yang katanya puncak peradaban, genosida Israel ke Palestina menjadi bukti pembantaian (perang) adalah salah satu “teman peradaban” yang sulit manusia menghindarinya.

Inilah salah satu yang mengganggu pikiran Albert Einstein. Dalam surat tersebut, Einstein melontar pertanyaan serta asumsi nya terkait mengatasib perang.

هل ثمة طريقة تنقذ البشرية من خطر الحرب؟

 “Apakah ada cara untuk menyelamatkan umat manusia dari bahaya perang?”

Einstein sendiri menyadari bahwa keilmuannya  (fisika) tak memadai dalam menghasilkan jawaban yang komprehensif. Karena, bagi Einstein, persoalan perang ada hambatan psikologis. Dan orang yang tak punya spesialisasi ilmu psikolog (Einstein) hanya bisa menebak tanpa mengetahui hubungan-hubungannya yang kompleks.

Sehingga Einstein hanya memberikan asumsi untuk memantik dialog dengan Sigmund Freud sebagai psikoanalisis. Kata Einstein – sebagai jawaban sementara dalam suratnya – cara sederhana mengatasi perang adalah jalur administratif-politis. Yaitu dengan membentuk lembaga peradilan dan legislatif untuk menyelesaikan sengketa yang muncul antara negara-negara, dengan persetujuan internasional.

Semua negara harus berkomitmen untuk mematuhi perintah lembaga ini, merujuk semua perselisihan kepada keputusan mereka, menerima keputusan mereka tanpa debat, dan melaksanakan semua tindakan yang dianggap perlu oleh pengadilan untuk menerapkan keputusan-keputusan tersebut.

Alih-alih memberikan argumentasi terkait pandangannya,  Einstein justru pesimis terhadap lembaga internasional yang kerap kali gagal dalam menangani ketegangan antar negara, hingga meletus perang. Ia mengatakan:

لكنني، ومن البداية، قد واجهت صعوبة، وهي أن المحكمة باعتبارها مؤسسة بشرية قد تكون غير قادرة على فرض أحكامها، بالنظر إلى السطة المتاحة لها.”

“Namun, sejak awal, saya menghadapi kesulitan, yaitu bahwa lembaga peradilan sebagai institusi manusia mungkin tidak mampu menegakkan keputusannya, melihat (minimnya) kewenangan yang tersedia untuknya.”

Jawaban Sigmund Freud dan Sikap Pesimisnya akan Liga Bangsa-Bangsa

Sebagaimana Einstein, Sigmund Freud bahakan pesimis dengan upaya Liga Bangsa-Bangsa – atau Lembaga Internasional lainnya semisal PBB. Bahkan jauh lebih pesimis ketimbang Einstein bila enggan mengatakan skeptis.

Selain secara praktis, juga secara teoritis sulit Lembaga Internasional menangani perang apalagi mencegahnya menurut pandangan Sigmund Freud. Kendatipun Lembaga Internasional memiliki visi-misi: DAMAI. Kelihatannya, Sigmund Freud, mendasarkan pandangan pesimisnya pada dua hal.

Pertama, prinsip menangani konflik, yaitu perang dan kekerasan sebagai sifat dasariah manusia. Ia menandaskan.

إنه لمبدأ عام أن تُسوَّى صراعات المصالح بين البشر عن طريق العنف، وهذا أمر ثابت في مملكة الحيوان، التي لا يمكن للبشر أن يستثنوا أنفسهم منها

“Sudah menjadi prinsip umum bahwa menyelesaikan konflik-ketegangan antar manusia melalui jalan kekerasan. Dan hal ini merupakan hukum yang berlaku dalam dunia hewan, dan manusia diantaranya”.

Hal tersebut, lantaran sifat dasariah manusia adalah arogan dan egois yang tarik ulur dengan sifat bertahan hidup dan persatuan. Dalam istilah Sigmund Freud menyebut Thanatos (Gharizah al-Baqa wal Ittihad) dan Eros (Gharizah al-Tadmir wa al-Qatli).

فإن الغرائز الإنسانية اثنتان؛ أما الأولى فهى غريزة البقاء والاتحاد… وأما الثانية فهي غريزة التدمير والقتل، اللذين نجمعهما معا باعتبارهما الغريزة التدميرية أو العدوانية

“Karena ada dua naluri manusia. Adapun yang pertama adalah naluri untuk bertahan hidup dan bersatu. Yang kedua adalah naluri menghancurkan dan membunuh, yang kita kelompokkan sebagai naluri destruktif atau agresif”.

Dua sifat itu saling bekerja sama dalam kontradiksi-kontradiksi dan polaritas. Keduanya tak bisa dinilai dengan moral baik dan buruk sebagaimana Emannuel Kant. Sebab satu membutuhkan yang lain. Artinya, untuk menciptakan persatuan kadang butuh pembantaian. Oleh sebab itu, ia berkesimpulan sebagai berikut:

. ومن ثم نرى أن تجنب الفصل في صراعات المصالح عن طريق العنف غير ممكن، حتى داخل المجتمعات

“Oleh karena itu, kami melihat bahwa menghindari penyelesaian konflik kepentingan melalui kekerasan (bahkan perang) adalah hal yang mustahil bahkan di dalam masyarakat (negara).”

Dasar Skeptis Sigmund Freud pada Lembaga Internasional

Kedua, landasan pesimisnya terhadap lembaga Internasional yang menangani perang yaitu terletak pada lembaga itu sendiri. Karena ada kelemahan signifikan di dalam lembaga Internasional tersebut – Liga Bangsa-Bangsa.

Pertama, kurang otoritas Lembaga Internasional (LBB). Freud mengamati bahwa Liga Bangsa-Bangsa tidak memiliki kekuatan atau otoritas yang kuat untuk menegakkan keputusan-keputusan yang mengikat. Menurutnya, lembaga ini hanya berfungsi sebagai forum untuk diskusi dan negosiasi, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk memaksa negara-negara untuk mematuhi keputusan atau resolusi yang diambil.

Kedua, ketergantungan pada Negara Anggota. Freud menunjukkan bahwa jika negara-negara anggota tersebut tidak bersedia untuk menyerahkan sebagian dari kedaulatannya atau mematuhi keputusan Liga, maka lembaga ini tidak efektif dalam mencegah konflik dan perang.

Ketiga, kurang pengaruhnya para pemimpin moral dan intelektual. Freud menekankan bahwa meskipun ada individu-individu besar yang memiliki pengaruh moral dan spiritual, mereka sering kali gagal mempengaruhi jalannya peristiwa politik.

Mengapa PBB Menuai Kegagalan dalam Perang TimTeng?

Akhir tulisan ini, menarik untuk mempertanyakan PBB yang gagal menangani konflik Timur Tengah. Tentu PBB beda dengan LBB, PBB sudah banyak mendapat sokongan moral, punya otoritas untuk menyangsi.

Tapi, meminjam analisis Sigmun Freud, PBB dalam cengkeraman negara digdaya Amerika Serikat yang juga arogan dan memuluskan genosida Israel ke Palestina dengan bayang-bayang kengerian nuklirnya. Di saat yang sama, Amerika paling lantang menggemakan perdamaian dan Hak Asasi Manusia.

Sungguh paradoks antara Eros dan Thanatos. Sebagaimana Sigmund, tak ada jalan lain dalam menyelesaikan konflik selain membunuh dan berperang? Dan melanjutkan sejarah kelam perang ke-3,4, dan seterusnya? Saya tidak tahu! []

 

 

 

 

 

 

Tags: Albret EinsteinBuku Limādzā al-ḥarbPBBPerang DuniaSigmund FreudTentang Perang
Moh Soleh Shofier

Moh Soleh Shofier

Dari Sampang Madura

Terkait Posts

Freud
Hikmah

Kepribadian Manusia Menurut Sigmund Freud

4 Agustus 2025
Iran dan Palestina
Publik

Iran dan Palestina: Membaca Perlawanan di Tengah Dunia yang Terlalu Nyaman Diam

26 Juni 2025
Agenda WPS
Publik

Agenda WPS dan Isu Difabel: Nyambung?

26 Mei 2025
Amerika Serikat
Publik

Kenapa Amerika Serikat Membela Israel Habis-habisan?

31 Januari 2025
Belasungkawa
Publik

Ketika Tiada Belasungkawa di Palestina, Di Mana Keadilan Hakiki?

12 November 2024
Gaza Utara
Publik

Gaza Utara: Antara Deportasi atau Mati, Masihkah Misteri Ilahi?

3 November 2024
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Menikah

    Menikah atau Menjaga Diri? Menerobos Narasi Lama Demi Masa Depan Remaja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masih Bersama, Tapi Mengapa Pernikahan Terasa Hambar?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Orangtua Perlu Sifat Fleksibel dalam Pola Asuh Anak?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Uang Panai: Stigma Perempuan Bugis, dan Solusi Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Siti Walidah: Ulama Perempuan Dibalik Perintis Muhammadiyah dalam Bayang Kolonialisme

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • TUNAS GUSDURian 2025 Hadirkan Ruang Belajar Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren hingga Digital Security Training
  • Nyai Siti Walidah: Ulama Perempuan Dibalik Perintis Muhammadiyah dalam Bayang Kolonialisme
  • Bertahap dalam Memberi Nasihat Kepada Anak
  • Uang Panai: Stigma Perempuan Bugis, dan Solusi Mubadalah
  • Pentingnya Memiliki Sikap Moderat dalam Mengasuh Anak

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID