Mubadalah.id – Dalam perang, perempuan adalah manusia yang paling dirugikan. Tapi tulisan ini masih belum spesifik membahas perang dan perempuan. Melainkan aspek yang lebih universal: manusia dan perang.
Saya menemukan buku menarik. Judulnya “Limādzā al-ḥarb?” – terjemah dari bahasa Jerman dan terbit 2018 – mengupas tentang “Perang” dari dua ilmuwan abad 20, Albert Einstein sebagai representasi ilmu kealaman: Fisikawan dan Sigmund Freud yang mewakili ilmu humaniora: Psikoanalisis.
Buku ini menemukam memontum seiring meluasnya eskalasi perang di Timur Tengah antara Israel-Amerika Serikat dan Palestina-Iran-Yaman. Potensial pecahnya perang dunia ke-3.
Sekitar 30 halaman ditambah pengantar 30, buku ini memaparkan kegelisahan Albert Einstein terkait perang di masanya yang menggila sebab peralatan perang yang semakin canggih. Maka, saat Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan Lajnah Intelektual Internasional (LII) mensponsori Einstein untuk membahas suatu persoalan, ia memilih tema perang.
Pertanyaan dan Asumsi Albert Einstein dalam Suratnya
Surat resmi yang Einstein layangkan pada Sigmund Freud tertanggal 30 Juli 1932 – sementara pengantar terjemahan buku menduga ada surat yang tidak resmi sekitar tahun 1931. Sekitar 4 pertanyaan, yang bisa kita sederhanakan pada dua pokok persoalan.
Pertama, sebab-sebab perang? Kedua, cara mengatasi perang? Mengatasi perang inilah yang akan kami sorot karena relevan dengan PBB yang “gagal” menengahi perang (konflik) TimTeng. Khususnya Palestina dkk vs Israel yang dapat sponsor Amerika Serikat.
Di sisi lain, studi dan teori untuk menganalisis sebab-sebab perang sudah melimpah. Para tokoh cerdik-cendikia melibatkan diri dengan berbagai perspektif masing-masing. Sebut saja, Thucydides, sejarawan Yunani yang membahas konflik antara Athena dan Sparta. Tak ketinggalan, filsuf Italia hadir, Niccolò, yang terkenal dengan karyanya Il Principe, di mana ia menganalisis kekuasaan dan strategi politik.
Di abad pertengahan, Thomas Hobbes Filsuf Inggris yang menulis Leviathan, yang intinya sifat bawaan manusia adalah arogan. “Human nature is essentially cruel and selfish”. Pijakan yang sama dengan Sigmund Freud saat mengulas sebab-sebab perang di abad 20 dengan pendekatan psikologis.
Tentu, hal ini mendapat bantahan sebaliknya dari beberapa tokoh semisal Immanuel Kant – yang sempat Einstein sebut dalam suratnya. Pun, Jean-Jacques Rousseau, lebih lantang situasi alamiah manusia adalah baik dan damai.
Ada banyak pendekatan atau perspektif dalam memahami sebab-sebab perang. Teori sejarah, ekonomi, politik, psikologi, dan budaya. Bahkan dalam satu perspektif terkadang memberikan ragam penjelasan. Studi dan perdebatan itu bersenyawa dengan kesamaan perasaan: BENCI PERANG dan CINTA DAMAI.
Pertanyaan Einstein: Cara Mengatasi Perang
Terlepas dari itu, sampai sekarang, perang tetap ada. Itu fakta tak terbantahkan. Baik fakta sejarah maupun fakta yang sedang berlangsung. Dan abad ini, abad yang katanya puncak peradaban, genosida Israel ke Palestina menjadi bukti pembantaian (perang) adalah salah satu “teman peradaban” yang sulit manusia menghindarinya.
Inilah salah satu yang mengganggu pikiran Albert Einstein. Dalam surat tersebut, Einstein melontar pertanyaan serta asumsi nya terkait mengatasib perang.
هل ثمة طريقة تنقذ البشرية من خطر الحرب؟
“Apakah ada cara untuk menyelamatkan umat manusia dari bahaya perang?”
Einstein sendiri menyadari bahwa keilmuannya (fisika) tak memadai dalam menghasilkan jawaban yang komprehensif. Karena, bagi Einstein, persoalan perang ada hambatan psikologis. Dan orang yang tak punya spesialisasi ilmu psikolog (Einstein) hanya bisa menebak tanpa mengetahui hubungan-hubungannya yang kompleks.
Sehingga Einstein hanya memberikan asumsi untuk memantik dialog dengan Sigmund Freud sebagai psikoanalisis. Kata Einstein – sebagai jawaban sementara dalam suratnya – cara sederhana mengatasi perang adalah jalur administratif-politis. Yaitu dengan membentuk lembaga peradilan dan legislatif untuk menyelesaikan sengketa yang muncul antara negara-negara, dengan persetujuan internasional.
Semua negara harus berkomitmen untuk mematuhi perintah lembaga ini, merujuk semua perselisihan kepada keputusan mereka, menerima keputusan mereka tanpa debat, dan melaksanakan semua tindakan yang dianggap perlu oleh pengadilan untuk menerapkan keputusan-keputusan tersebut.
Alih-alih memberikan argumentasi terkait pandangannya, Einstein justru pesimis terhadap lembaga internasional yang kerap kali gagal dalam menangani ketegangan antar negara, hingga meletus perang. Ia mengatakan:
لكنني، ومن البداية، قد واجهت صعوبة، وهي أن المحكمة باعتبارها مؤسسة بشرية قد تكون غير قادرة على فرض أحكامها، بالنظر إلى السطة المتاحة لها.”
“Namun, sejak awal, saya menghadapi kesulitan, yaitu bahwa lembaga peradilan sebagai institusi manusia mungkin tidak mampu menegakkan keputusannya, melihat (minimnya) kewenangan yang tersedia untuknya.”
Jawaban Sigmund Freud dan Sikap Pesimisnya akan Liga Bangsa-Bangsa
Sebagaimana Einstein, Sigmund Freud bahakan pesimis dengan upaya Liga Bangsa-Bangsa – atau Lembaga Internasional lainnya semisal PBB. Bahkan jauh lebih pesimis ketimbang Einstein bila enggan mengatakan skeptis.
Selain secara praktis, juga secara teoritis sulit Lembaga Internasional menangani perang apalagi mencegahnya menurut pandangan Sigmund Freud. Kendatipun Lembaga Internasional memiliki visi-misi: DAMAI. Kelihatannya, Sigmund Freud, mendasarkan pandangan pesimisnya pada dua hal.
Pertama, prinsip menangani konflik, yaitu perang dan kekerasan sebagai sifat dasariah manusia. Ia menandaskan.
إنه لمبدأ عام أن تُسوَّى صراعات المصالح بين البشر عن طريق العنف، وهذا أمر ثابت في مملكة الحيوان، التي لا يمكن للبشر أن يستثنوا أنفسهم منها
“Sudah menjadi prinsip umum bahwa menyelesaikan konflik-ketegangan antar manusia melalui jalan kekerasan. Dan hal ini merupakan hukum yang berlaku dalam dunia hewan, dan manusia diantaranya”.
Hal tersebut, lantaran sifat dasariah manusia adalah arogan dan egois yang tarik ulur dengan sifat bertahan hidup dan persatuan. Dalam istilah Sigmund Freud menyebut Thanatos (Gharizah al-Baqa wal Ittihad) dan Eros (Gharizah al-Tadmir wa al-Qatli).
فإن الغرائز الإنسانية اثنتان؛ أما الأولى فهى غريزة البقاء والاتحاد… وأما الثانية فهي غريزة التدمير والقتل، اللذين نجمعهما معا باعتبارهما الغريزة التدميرية أو العدوانية
“Karena ada dua naluri manusia. Adapun yang pertama adalah naluri untuk bertahan hidup dan bersatu. Yang kedua adalah naluri menghancurkan dan membunuh, yang kita kelompokkan sebagai naluri destruktif atau agresif”.
Dua sifat itu saling bekerja sama dalam kontradiksi-kontradiksi dan polaritas. Keduanya tak bisa dinilai dengan moral baik dan buruk sebagaimana Emannuel Kant. Sebab satu membutuhkan yang lain. Artinya, untuk menciptakan persatuan kadang butuh pembantaian. Oleh sebab itu, ia berkesimpulan sebagai berikut:
. ومن ثم نرى أن تجنب الفصل في صراعات المصالح عن طريق العنف غير ممكن، حتى داخل المجتمعات
“Oleh karena itu, kami melihat bahwa menghindari penyelesaian konflik kepentingan melalui kekerasan (bahkan perang) adalah hal yang mustahil bahkan di dalam masyarakat (negara).”
Dasar Skeptis Sigmund Freud pada Lembaga Internasional
Kedua, landasan pesimisnya terhadap lembaga Internasional yang menangani perang yaitu terletak pada lembaga itu sendiri. Karena ada kelemahan signifikan di dalam lembaga Internasional tersebut – Liga Bangsa-Bangsa.
Pertama, kurang otoritas Lembaga Internasional (LBB). Freud mengamati bahwa Liga Bangsa-Bangsa tidak memiliki kekuatan atau otoritas yang kuat untuk menegakkan keputusan-keputusan yang mengikat. Menurutnya, lembaga ini hanya berfungsi sebagai forum untuk diskusi dan negosiasi, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk memaksa negara-negara untuk mematuhi keputusan atau resolusi yang diambil.
Kedua, ketergantungan pada Negara Anggota. Freud menunjukkan bahwa jika negara-negara anggota tersebut tidak bersedia untuk menyerahkan sebagian dari kedaulatannya atau mematuhi keputusan Liga, maka lembaga ini tidak efektif dalam mencegah konflik dan perang.
Ketiga, kurang pengaruhnya para pemimpin moral dan intelektual. Freud menekankan bahwa meskipun ada individu-individu besar yang memiliki pengaruh moral dan spiritual, mereka sering kali gagal mempengaruhi jalannya peristiwa politik.
Mengapa PBB Menuai Kegagalan dalam Perang TimTeng?
Akhir tulisan ini, menarik untuk mempertanyakan PBB yang gagal menangani konflik Timur Tengah. Tentu PBB beda dengan LBB, PBB sudah banyak mendapat sokongan moral, punya otoritas untuk menyangsi.
Tapi, meminjam analisis Sigmun Freud, PBB dalam cengkeraman negara digdaya Amerika Serikat yang juga arogan dan memuluskan genosida Israel ke Palestina dengan bayang-bayang kengerian nuklirnya. Di saat yang sama, Amerika paling lantang menggemakan perdamaian dan Hak Asasi Manusia.
Sungguh paradoks antara Eros dan Thanatos. Sebagaimana Sigmund, tak ada jalan lain dalam menyelesaikan konflik selain membunuh dan berperang? Dan melanjutkan sejarah kelam perang ke-3,4, dan seterusnya? Saya tidak tahu! []