Judul Buku: Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi
Penulis: KH. Husein Muhammad
Jumlah Halaman: 225 halaman
Penerbit: Penerbit Qaf
Cetakan: Cetakan 1, Maret 2017
ISBN: 978-602-60244-5-9
Mubadalah.id – 27 Rajab, 15 abad yang lampau, terjadi peristiwa paling dramatis, spektakuler, dan menakjubkan dunia muncul ke panggung sejarah umat manusia. Tak pernah ada dalam sejarah umat manusia, lampau, kini, dan nanti menyaksikan peristiwa ini. Yaitu Isra dan Mikraj.
Dalam buku berjudul Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi, Buya Husein Muhammad menjelaskan bahwa Isra dan Mikraj adalah perjalanan malam yang agung Nabi Muhammad Saw dari Makkah menuju Masjid Al-Aqsha di Palestina, yang diteruskan dengan Mikraj—perjalanan menuju puncak semesta, Sidratul Muntaha. Semuanya terjadi dalam satu malam saja.
Peristiwa ini berlangsung setelah Nabi kehilangan dua orang yang sangat dicintai dan mencintainya, yaitu istrinya, Siti Khadijah, dan pamannya, Abu Thalib. Kepergian mereka membuat kaum kafir Quraisy semakin berani memusuhi Nabi. Mereka semakin intensif mengganggu, menyakiti, dan berusaha mengusir Nabi dari tanah kelahirannya, bahkan mencoba membunuhnya.
Nabi merasa sunyi, sepi, dan sendiri. Ia seperti kehilangan harapan untuk hidup dengan aman dari ancaman kaum Quraisy. Saat eadaan semakin kritis dan mengancam, membuat hati Nabi sangat sensitif. Namun, beliau tetap tidak menghentikan langkahnya untuk mengajak masyarakat kepada agama Tauhid. Nabi telah melihat kebenaran dengan mata hatinya dan terus berjuang untuk menyampaikannya.
Pergi ke Thaif
Karena itu, Nabi memutuskan untuk pergi ke Thaif, berharap ada orang-orang di sana yang mau melindungi dan menerima risalahnya. Namun, harapan itu pupus. Nabi justru dikejar dan dilempari batu oleh anak-anak muda hingga tubuhnya berlumuran darah.
Bahkan, beberapa hari sebelum ke Thaif, Nabi menerima perlakuan menyakitkan dari seorang pemuda Quraisy. Pemuda itu menyiramkan kotoran ke muka dan tubuh Nabi. Meski pemuda Quraisy memperlakukan Nabi seperti itu, Nabi tetap diam dan tidak menunjukkan kemarahan.
Sungguh, pribadi Nabi sangat luar biasa mengagumkan. Beliau tetap tegar, tenang, dan tabah meskipun hatinya terluka mendalam. Dalam situasi itu, Nabi tetap memberikan perhatian penuh kepada anak perempuannya, tanpa memikirkan hidupnya sendiri. Nabi bahkan tidak menyimpan dendam terhadap pemuda yang menyakitinya.
Dalam kesendirian dan kesedihannya, Allah mengutus Malaikat Jibril turun ke bumi dengan membawa kendaraan berkecepatan suara atau cahaya untuk mengajak Nabi Muhammad bertemu dengan-Nya. Allah berfirman:
“Muhammad-Ku akan datang! Ambillah Buraq, bahwa ia kepadanya untuk dinaiki Muhammad.”
Jibril pun segera turun dan menemui Nabi, yang sedang tidur-tiduran di kamarnya dengan hati gundah. Jibril mengajak kekasih Allah itu melakukan perjalanan malam, menjelajahi alam semesta, dan bertemu Tuhan. Perjalanan ini kita kenal sebagai Isra dan Mikraj.
Perjalanan Manusia Pilihan
Isra dan Mikraj adalah peristiwa paling menarik dari perjalanan hidup seorang manusia pilihan. Perjalanan ini tidak dapat dinalar oleh akal manusia.
Peristiwa Isra tercatat dalam al-Qur’an, salah satu ayatnya:
سُبْحْنَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَا الَّذِي بَرَكَنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ أَيْتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ البَصِير
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Isra ayat 1)
Sementara Mikraj Nabi tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Namun, peristiwa ini diriwayatkan dalam hadis-hadis, serta isyarat pada ayat-ayat dalam surah An-Najm.
Dalam perjalanan Isra dan Mikraj, Nabi menaiki kendaraan super cepat bernama Buraq, yang dikendalikan oleh Malaikat Jibril. Buraq digambarkan sebagai kuda bersayap dengan wajah perempuan cantik jelita dan berekor burung merak. Kecepatan terbangnya sangat luar biasa, secepat kilat atau cahaya.
Saat tiba di Palestina, Nabi berhenti dan menambatkan Buraq di sebuah tempat yang kemudian disebut shakhr (batu besar), di luar masjid. Di selatan Qubbah As-Sakhra, seabad kemudian, dibangun masjid sebagai peringatan tempat Nabi menambatkan Buraq. Nabi kemudian memasuki Masjid Al-Aqsha untuk shalat dan menjadi imam para nabi.
Sidratul Muntaha
Setelah shalat, Jibril mengajak Nabi melanjutkan perjalanan, mengarungi langit demi langit hingga mencapai Sidratul Muntaha, puncak semesta. Di sana, Nabi bertemu Allah dalam keintiman luar biasa. Nabi dan Allah begitu dekat, sebagaimana dalam istilah al-Qur’an: Qaba Qausaini aw Adna (jarak yang sangat dekat).
Pertemuan ini menggambarkan hubungan cinta antara Tuhan dan Nabi tanpa penghalang. Nabi melihat-Nya tanpa tabir, seperti terpisahkan oleh kaca tembus pandang. Jiwa Nabi terharu dan seakan hilang di hadapan Sang Maha Agung dan Maha Indah.
Perjumpaan Nabi dengan Allah di singgasana-Nya adalah pertemuan penuh cinta, seperti pecinta yang bertemu kekasihnya di tempat yang megah dan indah tak terkira. Ini adalah pertemuan tanpa batas ruang dan waktu, tanpa sekat apa pun.
Meskipun pertemuan itu sangat singkat, kesannya sangat mendalam dan indah di hati Nabi. Namun, Nabi tetap kembali ke bumi karena cinta kepada umatnya. Beliau memilih kembali untuk terus menyampaikan risalah, menunjukkan betapa besar kasih sayangnya kepada umat manusia. []