Mubadalah.id – Jika merujuk relasi buruh dan majikan dalam al-Qur’an, maka keduanya berada pada posisi sebagai sesuatu yang konkret, yaitu nilai keadilan dan kesamaan.
Kesehatan relasi buruh dan majikan dalam Islam secara langsung memperoleh legitimasinya dari al-Qur’an. Secara teoritis-praktis, al-Qur’an Allah SWT turunkan sebagai petunjuk kepada manusia (hudan li an-nas) dalam menyelenggarakan tugasnya sebagai khalifah di bumi dan sebagai hamba.
Pandangan-pandangan Al-Qur’an tersebut mengindikasikan manusia untuk tunduk patuh kepada Tuhan dengan cara meniadakan semua dzat selain Allah.
Sebagai wakil Allah di dunia, manusia harus menanamkan dan menyebarkan sifat-sifat ketuhanan di muka bumi (rahmatan Ii al-‘alamin) agar terjadi keseimbangan hidup sesama manusia.
Meski dalam tatanan sosial, semua kebenaran tidak harus kita ukur dengan kacamata moral. Tetapi moral dapat menjadi tolok ukur dalam mengamati kerangka kebenaran itu terjadi. Dalam hal ini, al-Qur’an memandangnya dengan antusiasme positif.
Toshihiko Izutsu dalam God and Man in The Koran: Semantics of The Koranic Wethanschaung (Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an) menyatakan bahwa
“Manusia dan Tuhan terlibat hubungan fundamental antara pencipta dan yang diciptakan. Yang menurut divina commedia al-Qur’an, Allah berperan sebagai Pemberi eksistensi dan wujud kepada manusia.
Hubungan tersebut membawa konsekuensi kewajiban dan ketundukan manusia. Baik secara religiusitas individual (sebagai hamba Tuhan) maupun religiusitas sosial (sebagai wakil Tuhan).”
Menurut fikih Islam klasik, hubungan buruh dan majikan digambarkan dalam satu bentuk jual-beli manfaat atau jasa yang dilakukan oleh dua orang yang sepakat meneken kontrak kerja untuk sebuah pekerjaan dengan konpensasi upah yang disebut dalam bab ijarah. Diakui atau tidak, ini bertentangan dengan sistem ekonomi klasik yang berkembang.
Dalam sistem klasik, kedua pihak berada pada posisi antagonistik atau berlawanan. Majikan sebagai pemilik modal (kapital) berada pada posisi yang superior. Sedangkan buruh berada pada golongan inferior (al-mustad’afin). []