Mubadalah.id – Imam al-Ghazali dalam bukunya: “Fa-ishalal-Tafriqah Baina al-Islam wa al-Zandaqah”, memberikan saran kepada kaum muslimin, bila menghadapi orang-orang yang gemar menuduh sesat dan mengkafirkan tersebut. Ia mengatakan:
“Sahabat, aku melihatmu sedang gelisah, berduka dan kacau. Ini gara-gara engkau mendengar caci-maki orang terhadap pikiran-pikiranku yang aku tulis dalam sejumlah buku. Mereka menyatakan bahwa pikiran dan pendapat-pendapatku bertentangan dengan pandangan al-Salaf al-Shalih (generasi awal yang saleh) dan para guru ilmu kalam.”
Menurut mereka berpaling dari pendapat al-Asy’ari, meski hanya dalam satu isu, adalah kekafiran. Menentangnya, meski hanya satu dua masalah saja, adalah kesesatan. Sahabat yang sedang dirundung kesedihan. Engkau tak perlu bersedih hati. Bersabarlah atas ucapan-ucapan cemooh mereka yang menyakitkanmu itu. Tinggalkan melayani mereka secara baik-baik. Anggap saja itu angin lalu. Tak usah juga dipusingkan oleh mereka yang tak mengerti tentang apa yang sesungguhnya makna kafir dan sesat itu?”.
Manusia paling baik dan paling terhormat di muka bumi, Nabi Muhammad saw, utusan Tuhan, tak luput dari caci maki dan tuduhan semacam itu oleh beberapa orang keluarganya, teman-temannya, kaumnya sendiri yang tak paham. Nabi disebutnya sebagai “orang gila” (majnun).
Ucapan-ucapan orang paling mulia itu dianggap mereka sebagai “dongeng” dan “mitos” dan cerita legenda belaka. Tak usah engkau menyibukkan diri melayani dan membungkam mulut mereka yang tak paham itu. Tak ada gunanya. Teriakan apapun terhadap mereka tak akan menggoyahkan pendirian mereka.
Imam al-Ghazali, berpendapat agar perbedaan cara pandang dalam memaknai persoalan-persoalan agama hendaknya jangan sampai menimbulkan sikap kafir mengkafirkan atau sesat menyesatkan. Urusan keyakinan adalah urusan Allah semata. Allah lah yang nanti akan membalasnya.
Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib adalah Khalifah Rasyidin ke-4. Ia menjabat sebagai khalifah sesudah kematian Utsman bin Affan, akibat pembunuhan oleh lawan-lawan politiknya.
Pada masa pemerintahannya terjadi gejolak politik yang besar. Gubernur Syam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan melakukan pembangkangan terhadap kekuasaannya. Peyang besar antara dua pasukan kemudian berlangsung sengit.
Pihak Mu’awiyah meminta gencatan senjata dan perundingan. Atas saran sejumlah sahabatnya, Ali menerima permintaan tersebut. Tetapi sebagian pendukungnya justeru mengecam sikap pimpinannya itu dan melakukan pemberontakan terhadapnya.
Mereka terkenal dengan sebutan golongan ‘Khawarij‘. Kelompok ini kecewa atas sikap Ali itu dan menuduhnya sebagai orang yang sesat atau bahkan kafir, karena menurut mereka tidak berhukum kepada al-Qur’an lagi.
Suatu saat para sahabat bertanya tentang sikapnya terhadap kaum Khawarjj itu. Ali dengan tenang menjawab, “Mereka adalah saudara-saudara kita yang memberontak terhadap kita”.
la menyebut mereka sebagai “saudara-saudara kita”. Menarik sekali jawaban itu. Ia tidak mengatakan: “mereka musuhmusuh kita”, dan tidak pula: “mereka adalah orang-orang kafir”.
Kemudian, para sahabat tersebut mengejarnya: “Tetapi, bukankah mereka mencaci maki dan mengancam untuk menghabisimu?. Ali menjawab: “Innama Yuraddu ‘alaihim bi al-Kalam wa Yubayyan khathauhu” (Kata-kata harus kita jawab dengan kata-kata, dan menjelaskan kekeliruannya).
Jawaban-jawaban Ali bin Abi Thalib di atas memperlihatkan kepada kita sikap dan pandangannya bahwa kaum khawarij masih bagian dari umat Islam. Meskipun mereka telah melakukan dosa besar dan menentangnya. Baginya dosa besar tidak menjadikan seseorang keluar dari Islam. Mereka tetap memprlakukannya sebagai orang muslim. []