Mubadalah.id – Permohonan saya untuk bisa mengikuti hajatan pertemuan para perempuan cerdik pandai (Ulama) dari seluruh dunia diterima panitia. Pertemuan KUPI II (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) baru saja selesai terselengara di Semarang dan Jepara pada 23-26 November 2022. Tema besar dalam pertemuan ini adalah; “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan”.
Pertemuan pertama KUPI I berlangsung di Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon tahun 2017. Nyai Hj. Badriyah Fayumi, sebagai Ketua Pengarah, menyampaikan 3 rekomendasi penting. Yaitu; tentang kekerasan seksual baik di dalam maupun di luar perkawinan hukumnya haram.
Kemudian, kewajiban mencegah perkawinan usia anak di bawah umur yang menimbulkan kerusakan. Ketiga, Ulama perempuan mendesak negara untuk menghentikan segala praktik pemanfaatan sumber daya alam atas nama pembangunan sekalipun.
Saat pembacaan tiga rekomendasi, saya merasakan keharuan yang begitu dalam. Ingat ibu, istri dan anak perempuan. Haru menyaksikan sebuah spirit kebangkitan dan keteguhan perjuangan para perempuan cerdik pandai dari seluruh dunia. Mereka sangat tegas menyuarakan suara hati, untuk kehidupan di dunia yang lebih adil bagi semua manusia.
Keragaman Peserta
Kongres KUPI II diselenggarakan di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah. Jumlah pesertanya lebih banyak dan lebih beragam. Kiprah para pegiat KUPI dalam 5 tahun terakhir telah mengundang banyak dukungan dan simpati. Tidak terbatas oleh perempuan.
Ribuan orang berkumpul di tempat perhelatan KUPI II dengan ciri khas pakaian masing-masing. Datang dari berbagai penjuru dunia. Melampaui sekat suku, agama, warna kulit, latar belakang organisasi, level pendidikan, pangkat, jabatan bahkan jenis kelamin. Mereka berbaur dalam satu wadah, berdiskusi, membuat rekomendasi penting untuk pembangunan kehidupan dunia yang lebih adil dan maslahat.
Meski perhelatan ini bernama Kongres Ulama Perempuan Indonesia, namun ada ribuan laki-laki terlibat secara aktif. Baik sebagai panitia, peserta, peninjau hingga narasumber dalam berbagai diskusi. Mereka memiliki hak yang sama dan setara dengan yang lain. Mereka boleh bertanya, bahkan jika dirasa mampu, boleh mendebat gagasan dalam berbagai diskusi yang diselenggarakan.
Meski laki-laki, saya menghadiri forum-forum KUPI II di berbagai sesi diskusi. Saya menjadi minoritas, tetapi sama sekali tidak terdiskriminasi oleh para mayoritas. Hak-hak saya terpenuhi dengan baik. Mulai dari perkara konsumsi, akomodasi, layanan transportasi. Apalagi kesempatan berbicara, bertanya, berpendapat. Semua dijamin penuh.
Kesan pada Penyelenggaraan KUPI II
Kesan saya, peserta kongres kemarin sangat beragam. Kebijakan panitia yang membuka pintu kepesertaan secara terbuka, patut kita apresiasi. Memang, tidak semua peserta yang hadir memiliki pemikiran yang seirama dan satu frekuensi dengan gagasan besar tentang keadilan, kesetaraan yang tersampaikan oleh para cerdik pandai di forum tersebut.
Di tengah-tengah perhelatan acara, saya duduk bersebalahan dengan peserta laki-laki yang menurut saya agak sinis. Maklum, dari ribuan orang yang hadir, pastilah memiliki pemikiran beragam. Tetapi, kesan saya, laki-laki tersebut setengah meledek perhelatan ini. Dia mengulang-ulang pernyataannya tentang jumlah perempuan di Indonesia yang menurutnya melebihi laki-laki. Baginya, para perempuan harus rela diduakan. Jika tidak, nanti bisa tidak kebagian pasangan. Propagandan yang sungguh mengusik.
Saya tentu membantah dengan mempertanyakan metode perbandingan yang dia gunakan. Saya bertanya, apakah dia sudah menggunakan perbandingan yang lebih spesifik. Misalnya, berapa perbandingan antara jumlah laki-laki dan perempuan untuk mereka yang berusia 20 – 40 tahun saja. Jika metodenya baik, lalu hasilnya bisa kita ketahui, maka seseorang boleh menyimpulkan.
Jangan-jangan, persentase perbandingan yang dia sebutkan berulang-ulang itu tidak merepresentasi usia secara khusus. Bisa jadi, jumlah perempuan yang lebih banyak itu hanya terjadi pada perempuan balita dan manula. Jika begitu, maka kesimpulan yang ia tarik untuk menetapkan bahwa perempuan terancam tidak akan kebagian pasangan laki-laki, pasti tidak valid. Untuk kesimpulan lain yang mengatakan bahwa perempuan harus rela diduakan, itu menyesatkan.
Saya sedikit mendesak dasar dan pola perhitungannya. Dia mengaku, bahwa itu hanyalah asumsi yang berdasarkan pada jumlah murid dan guru di sekolah tempatnya mengajar. Lalu saya bertanya lagi, apa hubungan antara perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan dengan urusan kawin-mawin?
Apakah hubungan antara manusia laki-laki dan perempuan itu hanya terjadi dalam urusan kawin mawin? Tidak ada urusan lain? Dia tidak menjawab. Meski begitu, dia tetap ngotot bahwa di sekolahnya, ketimpangan itu ada. Begitu pulalah yang terjadi di Indonesia, bahkan dunia
Saya menghentikan diskusi yang semakin membuat tidak nyaman peserta lain. Volume suara kami telah mengganggu peserta lain yang sedang khusyu’ mendengarkan pendangan keagamaan Kiyai Faqih Abdul Qodir, dari Fahmina Cirebon.
Bukan Perkara Jenis Kelamin
Saya menaruh harapan, Kongres Ulama Perempuan ke tiga, ke empat, ke lima dan seterusnya nanti, bisa tetap mempertahankan prinsip baik terkait keberagaman peserta. Kalau bisa, Kongres bisa menghadirkan ulama laki-laki dan perempuan yang selama ini berpandangan kontra.
Siapa tahu, forum KUPI II ini bisa menjadi wahana belajar, berrefleksi, dan sukur-sukur mampu mengungkit kesadaran seseorang. Jika perhelatan Kongres ini hanya dihadiri oleh mereka-mereka yang sudah ada dalam satu frekuensi, maka jangan sampai forum ini hanya akan menjadi ajang reuni. Sayang ya….
Kongres ini adalah wahana untuk mengkonsolidasi pengetahuan dan gerakan ulama perempuan dunia. Ia menjadi ajang untuk meneguhkan peran ulama perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kongres ini bukan forum bagi mereka yang berjenis kelamin perempuan.
Menurut Kiai Faqih, istilah ulama perempuan tidak terbatas pada ulama berjenis kelamin perempuan, tetapi seluruh ulama yang memiliki perspektif perempuan. Istilah keulamaan juga tidak hanya merujuk pada mereka yang menguasai ilmu agama, tetapi juga mereka yang menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan kehidupan dalam arti luas.
Forum ini telah menjadi ajang konsolidasi bagi siapa saja yang memiliki perhatian dengan praktik diskriminasi, ketidakadilan yang mengancam eksistensi kemanusiaan dan kemaslahatan hidup kita bersama. Jadi siapapun, baik laki-laki maupun perempuan bisa jadi ulama perempuan, selama ia memiliki komitmen untuk melakukan advokasi terhadap keadilan.
Saya meyakini, bahwa praktik ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi yang selama ini menimpa kaum perempuan, sejatinya tidak hanya menjadi masalah perempuan. Masalah itu adalah masalah kemanusiaan. Masalah kita bersama sebagai makhluk ALLAH yang mulia. Itulah alasan mengapa dalam setiap perhelatan Kongres Perempuan, saya selalu ingat ibu, istri dan anak perempuan. []