“Jika langit adalah lelaki, maka bumi sebagai perempuan. Setiap biji yang jatuh, bumi akan memeluk dan merawatnya.”
Mubadalah.id – Dalam sejarahnya perempuan mengalami proses penindasan dan peniadaan secara struktur serta massif. Sebagaimana yang dituturkan Dr. Nur Rofiah dalam beberapa kali kesempatan Ngaji KGI secara online maupun offline, yang pernah saya ikuti. Bahwa sejarah peradaban manusia diwarnai dengan cara pandang yang mendudukkan perempuan sebagai objek dalam sistem kehidupan. Selama berabad-abad perempuan dipandang milik mutlak laki-laki, yakni ayah/suami/anak/kerabat laki-lakinnya, yang bisa dijual, dihadiahkan, diwariskan, dan dieksploitasi secara seksual ataupun lainnya.
Allison Jagger, seorang feminis, dalam buku “Filsafat Berperspektif Feminis” karya Gadis Arrivia, memberi penjelasan ketertindasan perempuan sebagai berikut. Pertama, perempuan secara historis merupakan kelompok yang tertindas.
Kedua, ketertindasan perempuan sangat meluas di hampir seluruh masyarakat manapaun. Ketiga, ketertindasan perempuan merupakan bentuk yang paling sulit untuk dihapus dan tidak dapat dihilangkan dengan perubahan-perubahan sosial seperti penghapusan kelas masyarakat tertentu.
Keempat, penindasan terhadap perempuan menyebabkan kesengsaraan yang amat sangat terhadap korbannya baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif, walaupun kesengsaraan tersebut tidak tampak karena adanya ketertutupan, baik yang dilakukan oleh pihak penindas maupun tertindas. Kelima, pemahaman penindasan terhadap perempuan pada dasarnya memberikan model konseptual untuk mengerti bentuk-bentuk lain penindasan terhadap umat manusia.
Cinta Sufistik Rumi Membebaskan Perempuan
Namun hal berbeda saya rasakan ketika membaca bait-bait syair cinta sufistik Rumi, yang saya temui dalam beberapa tulisan Afifah Ahmad di media, dan buku karyanya yang sedang saya baca, yakni “Ngaji Rumi: Kitab Cinta dan Ayat-Ayat Sufistik”. Sebagai perempuan justru saya merasa bangga, merasa dibebaskan dan meyakini jika cinta sebagaimana digambarkan Rumi akan menjadi jalan pembebasan bagi perempuan.
Perempuan adalah pantulan cahaya Illahi, bukan hanya yang dicintai
Tidak, konon dia bukan makhluk biasa, dia bahkan pencipta
(Rumi, Matsnawi, jilid 1, bait 2437)
Di halaman 61 buku tersebut, Afifah Ahmad menjelaskan bahwa para pengkaji Rumi menyebut inilah puisi yang menggambarkan puncak tertinggi penghormatan Rumi kepada perempuan. Meski diksi-diksi yang digunakan Rumi terkesan hiperbolis, seperti diksi “Kholiq”, tentu Rumi tak bermaksud membuat sekutu Tuhan. Rumi hanya sedang melihat begitu pentingnya posisi perempuan dalam semesta, yaitu menjadi perantara kehadiran manusia.
Hal senada dituturkan dengan begitu indah oleh Ibnu Hazm al-Andalusi (994-1064 M), seorang pakar hukum Islam, yang dikutip M. Quraish Shihab dalam kata pengantar buku “Perempuan”, yang menuliskan pengalaman pribadinya antara lain “Seandainya bukan karena keyakinan bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan negeri kekeruhan, sedangkan surga adalah tempat perolehan ganjaran, kita akan berkata bahwa hubungan harmonis antar kekasih merupakan kebahagiaan tanpa kekeruhan, kegembiraan tanpa kesedihan, kesempurnaan cita dan puncak harapan.”
Selanjutnya, ulama besar itu berkata, “Aku telah merasakan kelezatan dengan aneka ragamnya. Aku telah meraih keberuntungan dengan segala macamnya. Tidaklah kedekatan kepada penguasa, tidak juga wujud setelah ketiadaan, atau kembali ke pangkuan setelah bepergian jauh, dan tidak juga rasa aman setelah mengalami rasa takut, atau perolehan harta yang dimanfaatkan –tidaklah semua itu- seindah hubungan harmonis/asmara dengan kekasih/lawan jenis kita.”
Melalui penjelasan tersebut, Quraish Shihab menegaskan, apakah semua pernyataan itu tidak membuat kita merasa amat membutuhkan perempuan dan menempatkannya pada tempat yang wajar? Apakah itu semua belum mendorong kita menghormati perempuan dan mencintainya? Sungguh tidak berbudi siapa yang tidak mencintai dan menghormati perempuan.
Maka jika semua lelaki cerdas telah bersepakat demikian tentang perempuan, tepat kiranya bait Rumi yang dituliskan Afifah Ahmad di halaman 65 bukunya:
Nabi pernah berpesan: Perempuan akan Berjaya (mulia) di hadapan lelaki cerdas
Sebaliknya, lelaki pandir akan mendominasi perempuan dengan watak dogma
(Rumi, Matsnawi jilid 1, bait 2433 dan 2434)
Menurut Afifah, dalam bait di atas Rumi menjelaskan sebuah potongan riwayat tentang perbedaan lelaki cerdas dan pandir dari bagaimana mereka memposisikan perempuan. Para lelaki keren akan memberikan kesempatan dan ruang kepada para perempuan di sekitarnya, terutama pasangan untuk terus bertumbuh, melakukan me time, dan mencerdaskan diri. Sebaliknya, lelaki terbelakang hanya melihat pasangannya sebagai barang kepemilikan, ia berhak mendominasinya.
Dan, saya bersepakat untuk itu. Jika manusia saling mencinta dengan rasa saling menghormati dan menghargai, maka cinta itu akan meniadakan penindasan, apapun bentuknya. Baik terhadap perempuan maupun sesamanya. Afifah Ahmad, melalui buku yang ditulisnya, telah menghadirkan kembali cinta Rumi sebagai jalan untuk membebaskan perempuan dari segala bentuk penindasan.
Sebagaimana kalimat yang berulangkali KH Husein Muhammad sampaikan dalam banyak kesempatan. Bahwa perempuan adalah ibu manusia. Dari tubuhnya semua manusia dilahirkan, dan perempuan adalah basis dari peradaban dunia. penghormatan kita terhadapnya, adalah penghormatan terhadap diri kita sendiri, dan merendahkan perempuan, adalah merendahkan terhadap diri sendiri. []
Judul Buku : Ngaji Rumi: Kitab Cinta dan Ayat-Ayat Sufistik
Penulis : Afifah Ahmad
Penerbit : Afkaruna
Tahun Terbit : 2021
Jumlah Halaman : 224