Mubadalah.id – Salah satu temanku pernah bercerita kepadaku tentang tiga jalan kehidupan besar yang bisa dilalui oleh seorang hamba untuk bisa bertemu dengan Tuhan-Nya. Ia mengibaratkan jalan itu seperti tiga aliran sungai yang bermuara pada satu lautan yang sama. Jalan pertama ada jalan syari’at, jalan kedua ada jalan makrifat, jalan ketiga ada jalan mahabbah.
Jalan syari’at ditempuh oleh orang-orang yang rajin dan tekun dalam beribadah, siang dan malamnya dihabiskan untuk berdzikir, sholat, dan beramal baik. Jalan makrifat ditempuh oleh orang-orang yang berilmu, mereka para cendikia yang menghabiskan waktunya untuk berpikir, mempelajari banyak ilmu pengetahuan dan mengeruak-ruak rahasia alam semesta.
Jalan kehidupan dengan mahabbah ditempuh oleh mereka yang selalu merasakan kerinduan akan kehadiran Tuhan, mereka melakukan apa saja atas dasar kecintaan pada-Nya. Tanpa mengharapkan imbalan dari-Nya.
Ketiga jalan tersebut bisa berdiri sendiri-sendiri, namun pada puncaknya mereka saling terikat dan tak bisa dipisahkan. Sebab mereka bermuara pada satu tujuan yang sama yaitu Tuhan.
Temanku menyatakan bahwa dirinya memilih jalan mahabbah (cinta), melakukan segala sesuatu sebagai bentuk rasa cintanya kepada Tuhan. Salah satu pernyataan kanjeng Nabi yang paling ia suka adalah In lam takun ‘alayya ghodlobun fala ubali. (Asalkan Engkau, wahai Tuhan, tidak marah kepadaku – maka kuterima apa saja nasibku di dunia). Pernyataan yang menggambarkan akan kecintaan dan kepasrahan seseorang hamba kepada Tuhan.
Cinta memang memiliki kaitan yang sangat erat dengan kepercayaan dan kepasrahan terhadap objek yang dicintainya, bahkan seringkali seorang pecinta tak peduli dengan dirinya sendiri, yang ia pedulikan hanya kebahagiaan kekasih.
Dalam salah satu pernyataannya Ibnu Sina (Avecinna) seorang filosof dan ilmuan terkenal dalam dunia kedokteran Islam mengatakan “Cinta itu penyakit, cinta itu buruk. Cinta menjadikan seseorang sebagai budak bagi kekasihnya”.
Sebab salah satu tanda-tanda orang mencintai adalah rela melakukan apa saja yang dikehendaki kekasihnya. Rabiah Al-Adawiyah, Sufi perempuan dari Basrah yang dikenal karena kesucian dan keciantaannya pada Allah sekaligus peletak dasar teori cinta illahiyah pernah berpuisi:
Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi padaku
Dari puisi Rabiah Al-Adawiyah, tergambar jelas akan kepasrahan dan ketaatan seorang hamba kepada Tuhan, tanpa meminta imbalan apapun atas perbuatannya. Puisi Rabiah Al-Adawiyah selaras dengan tujuan penciptaan manusia yang bertugas untuk melayani Tuhannya. Al-Qur’an menyebutkan dalam surat QS. Az-Zariyat 51: Ayat 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَا لْاِ نْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
wa maa kholaqtul-jinna wal-insa illaa liya’buduun
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
Ini menjadi alasan mengapa upaya manusia untuk mencari kebebasan adalah sia-sia. Biar bagaimanapun manusia diciptakan sebagai hamba yang bertugas untuk melayani, jika pun manusia telah merasa bisa menggapai kebebasan dalam jalan kehidupannya, terlepas belenggu dunia: mapan secara ekonomi dan segala kebutuhan praktis tercukupi. Tetap saja dalam kebahagiaannya akan terasa sepi jika menikmatinya sendiri.
Semuanya menjadi hampa tanpa adanya sesuatu yang kita cinta. Tidak ada kebebasan yang benar-benar bebas di kehidupan. Hati manusia akan selalu membutuhkan objek untuk dicintai. Semua manusia adalah hamba bagi yang kekasihnya dan kebebasan bagi seorang hamba adalah ketika ia bisa melayani tuannya.
Semua manusia ingin dicintai dan mencintai. Mereka tidak ingin merasakan keterpisahan, kehilangan, dan kesepian. Sebagaimana Erich Fromm katakan dalam bukunya ‘The Art of Loving’: Kesadaran akan keterpisahan manusia, tanpa disatukan oleh cinta—adalah sumber rasa malu. Pada saat yang sama juga sumber rasa bersalah dan kecemasaan. Maka dari itu, keinginan terpendam manusia adalah untuk mengatasi keterpisahannya, meninggalkan penjara kesendiriannya.
Menurut Erich Fromm keterpisahan menjadi salah satu alasan munculnya permasalahan dalam kehidupan manusia dan sumber dari segala perasaan yang tidak baik: kecemasan, kesedihan, kesepian dan kekecewaan. Hal ini terbukti dari banyaknya jumlah orang meninggal karena bunuh diri lebih banyak ketimbang jumlah orang meninggal akibat konflik, perang dan bencana.
Denny JA memaparkan data WHO dalam bukunya Spirituality of Happiness. Terhitung setiap tahun ada sekitar 800 ribu hingga 1 juta manusia di seluruh dunia mati bunuh diri. Setiap empat detik ada yang bunuh diri di salah satu wilayah bumi.
Kita bisa memahami bahwa kesepian menjadi salah satu permasalahan dan penyakit yang mematikan bagi umat manusia. Beberapa orang yang merasa hidupnya hancur dan tidak menemukan teman untuk bercerita, berbagi dan menumpahkan rasa seringkali ia akan berusaha untuk menghancurkan kehidupan, dengan alasan karena ia tak bisa menciptakan kehidupan itu sendiri.
Dirinya dipenuhi dengan rasa benci, putus asa dan iri kepada orang lain yang hidupnya lebih baik. Perilaku semacam itu sebenarnya hanya menghancurkan dirinya sendiri seperti pisau bermata dua. Orang-orang seperti ini biasanya menyusahkan orang yang lain karena keberadaannya membuat banyak kekacauan.
Kebanyakan mereka sebenarnya hanya orang yang kesepian dan membutuhkan teman untuk bercerita. Karena hidupnya sepi dan ia tak bisa menciptakan kehidupan sendiri maka efeknya adalah ia ingin menghancurkan jalan kehidupan. Kesepian memang kadang mematikan, membunuh seseorang secara perlahan, apalagi bagi mereka yang tak kuat mentalnya.
Semua manusia merasakan penderitaan yang sama, mereka kesepian dan ingin memiliki pasangan yang setia, tempat di mana ia bisa berbagi, saling mencintai, saling merawat dan saling mengembangkan diri. Manusia butuh pasangan jiwa, entah itu sahabat, keluarga ataupun kekasih. Hadirnya intimacy sangat penting untuk kehidupan manusia.
Tumbuhnya rasa cinta dan kasih sayang serta keakraban akan membuat manusia selalu bahagia. Uang bisa membeli kenyamanan tapi tidak dengan kebahagiaan. Kebahagiaan tercipta dari dalam hati manusia. Hati tak akan pernah bisa dibeli dengan apapun, hati hanya bisa dimaknai.
Ketika manusia telah berhasil memaknai hatinya, maka akan muncul perasaan bahagia dan satu-satunya yang bisa memaknai hati manusia hanyalah cinta. Sebab cinta tak sekedar kata dan pemainan perasaan belaka, cinta adalah jalan sekaligus tujuan dari kehidupan yang akan menghantarkan manusia kepada kebahagiaan sejati.
Namun cinta membutuhkan objek untuk bisa mencintai. Satu-satunya objek cinta yang tak akan pernah mengecewakanmu dan tak akan pernah meninggalkanmu hanyalah Tuhan. Dia selalu ada di manapun kamu berada. Dia selalu menemanimu sepanjang waktu. Dia selalu memperhatikanmu, memahamimu, merawatmu, dan membuka diri-Nya sebagai tempat untuk kita bercerita, berbagi masalah yang kita punya.
Hanya saja kita sering tidak menyadarinya. Kita terlalu sibuk mencari sesuatu yang mendamaikan hati, tapi kita lupa untuk menemukan arti dari kedamaian itu sendiri. Kita melupakan-Nya sebagai satu-satunya kedamaian yang kita punya. Jika kamu telah menemukan-Nya dan mendapatkan kedamaian dari kehadiran-Nya maka kamu akan melangkah bersamanya dalam riuhnya perjalanan kehidupan di dunia yang penuh dengan suka duka.
Sebagaimana kata filsuf Jerman, Nietzche “Di kelelahan pencarianku, aku belajar menemukanmu. Sejak angin menampar wajahku, aku berlayar dengan setiap angin yang datang.” []