• Login
  • Register
Rabu, 4 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Citra Perempuan Ideal Menurut Al-Qur’an

Rofi Indar Parawansah Rofi Indar Parawansah
01/11/2020
in Kolom, Personal
0
Muharram for Peace

temukan keseruan acara Muharram for Peace

426
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Pernah gak sih mendengar pernyataan bahwa perempuan ideal itu perempuan yang cantik, pinter, bisa masak, pinter ngurus rumah, dan sebagainya. Kebanyakan ketika ditanya perempuan ideal harus seperti apa, pasti menjawab seperti itu. Bahwa yang tidak cantik, tidak pintar, dan tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga kerap kali dianggap tidak ideal sebagai perempuan. Dan jujur saja, bahwa stigma demikian kerap kali menyinggung perasaan kaum perempuan.

Karena tidak semua perempuan dianugrahi keindahan fisik yang sama. Banyak perempuan yang merasa insecure atas dirinya, merasa tidak percaya diri dan kerap kali membanding-bandingkan keadaannya dengan orang lain. Bayangkan jika stigma perempuan ideal masih menerapkan argumen bahwa perempuan harus cantik secara fisik, maka berapa banyak perempuan yang berbondong-bondong untuk memperbaiki kecantikannya.

Perempuan juga harus pintar memasak. Tak bisa di ganggu gugat, sebagai buah dari budaya patriarki membuat bisa memasak seolah menjadi kewajiban bagi kaum perempuan. Apalagi jika bukan karena dikaitkan dengan kewajiban mengurus suami. Kata-kata yang kerap kali disuarakan pada anak perempuan, “Perempuan harus bisa masak, kalau gak bisa nanti suaminya mau dikasih makan apa?” Dan sekali lagi, bahwa tidak semua perempuan pintar memasak, tapi, rasanya tidak ada perempuan yang tidak bisa memasak sama sekali. Minimal memasak air dan menggoreng telur juga masak mie instan, perempuan pasti bisa melakukannya.

Karena memasak merupakan kebutuhan untuk bertahan hidup. Dan setiap makhluk pasti punya cara bertahan hidup masing-masing.  Perempuan pasti bisa jika hanya sekedar menyajikan makanan. Yang harus diubah adalah standarisasi bisa masak itu sendiri. Ya kalau standarnya ditetapkan bahwa orang bisa masak pasti bisa buat rendang, ya pasti jauh. Akan ada ketimpangan level antara penikmat indomie dengan chef rumahan yang bisa menyajikan rendang. Apalagi di zaman serba modern ini, mau makan apapun tinggal klik di hape, tinggal tunggu sambil menyiapkan uang, maka makanan siap dihidangkan.

Perempuan itu juga harus pintar. Betul. Bahwa perempuan harus pintar. Tapi pintar seperti apa yang dibutuhkan oleh perempuan? Apakah hanya cukup dengan gelar dibelakang nama? Atau justru ada kepintaran lainnya yang harus dicapai oleh perempuan?

Baca Juga:

Mitos Israel di Atas Penderitaan Warga Palestina

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

Nilai Ekonomi dan Sosial dalam Ibadah Kurban

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

Perempuan harus pintar menyadari bahwa ia adalah seorang perempuan. Banyak tugas yang kerap kali dibebankan terhadap perempuan. Karena itu, kesadaran sebagai seorang perempuan akan mampu melahirkan perempuan yang berdaya. Sadar bahwa sebagai perempuan ia juga manusia, khalifah fil ardh. Yang harus bermanfaat bagi orang lain, dan menjadi sebaik-baiknya khalifah dimuka bumi ini.

Ketika telah berketurunan, perempuan secara otomatis menajadi madrasah pertama bagi anaknya. Tindak tanduk dan tingkah laku yang dilakukannya akan dengan mudah ditiru oleh anak-anaknya. Karena itu, butuh kesadaran tinggi untuk mempresentasikan nilai-nilai kebaikan pada diri perempuan.

Cantik, pinter masak dan Pintar hanyalah segelintir kriteria ideal yang diterapkan sosial bagi perempuan. Semua itu pada akhirnya kembali pada diri masing-masing. Setiap perempuan pasti memiliki kecantikan, kepintaran dan kelebihan masing-masing. Tidak bisa di sama ratakan. Karena perbedaan kecantikan itulah keindahan itu sendiri.

Lalu bagaimana Al-Qur’an memandang Kriteria Ideal terhadap perempuan?

Dikutip dari bagian kata pengantar penerbit pada buku Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an karya Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A di mana bagian kata pengantar itu sendiri ditulis oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A

Bahwa Citra perempuan ideal dalam Al-Qur’an tidak sama dengan citra perempuan yang berkembang dalam sejarah dunia islam. Citra perempuan yang di idealkan oleh agama Islam itu sendiri ialah : Pertama, Mempunyai kemandirian politik (al-istiqlal al-siyasah, QS al-Mumtahanah [60] : 12, sebagaimana Ratu Balqis, perempuan penguasa yang mempunyai kerajaan super power, laha ‘arsyun azhim (QS. Al-naml [27] : 23).

Kedua, Memiliki kemandirian ekonomi (al-istiqlal al-iqtishadi) (QS. al-Nahl [16] : 97), seperti pemandangan yang disaksikan Nabi Musa di Madyan, perempuan pengelola peternakan (QS. al-Qashash [28] : 23).

Ketiga, Memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshiy) yang diyakini kebenarannya, sungguh pun harus menghadapi suami bagi perempuan yang sudah berkeluarga (QS. al-Tahrim [66] : 11), atau menentang opini publik bagi perempuan yang belum berkeluarga (QS. al-Tahrim [66] : 12).

Perempuan dibenarkan untuk menyuarakan kebenaran dan melakukan gerakan oposisi terhadap berbagai kebobrokan (QS. al-Taubah [9] : 71). Bahkan Al-Qur’an  menyuarakan perang terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan (QS. al-nisa [4] : 5), karena laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi sebagai khalifah fil ardh (QS. al-Nahl [16] : 97) dan sebagai hamba (‘abid) (QS. al-Nisa [4] : 124).

Al-Qur’an menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan, mereka sama dihadapanNya. Kecuali ketaqwaannya, dan yang paling mulia disisiNya adalah mereka yang bertaqwa. Dari ketiga poin yang ditulis oleh Prof. Dr. Komaruddin bisa kita tarik satu benang merah. Bahwa ya, benar. Perempuan harus mempunyai kemandirian politik. Perempuan bukan lah hamba yang harus selalu melayani tuannya.

Tubuh perempuan milik dirinya sepenuhnya. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa selepas menikah perempuan menjadi milik suaminya karena mahar yang diterima, sekali lagi pemikiran seperti itu harus diluruskan. Bahwa perempuan menghormati suaminya karena hatinya mengatakan demikian, dan agama juga mengarahkan. Seperti yang dikatakan oleh Abi Quraish Shihab bahwa mahar adalah hak istri, tapi bukan harga seorang istri.

Betul bahwa perempuan harus memiliki kemandirian ekonomi. Bukan karena perempuan berkewajiban menafkahi, tapi untuk dirinya dan kemerdekaannya. Banyak kasus istri yang tidak dihargai hanya karena suami merasa superior, karena menjadi penjamin kebutuhannya. Berapa banyak janda yang kesulitan menghidupi anaknya setelah ditinggalkan oleh suaminya.

Bahkan banyak terjadi dimasa pandemi ini suami di PHK, dan istri harus ikut banting tulang untuk kelangsungan hidup dan masa depan keluarga. Karena itu, harus diusahakan perempuan mampu mandiri secara finansial. Sama sama menjadi subyek keuangan, tanpa harus bersaing siapa yang punya banyak uang.

Selain itu perempuan harus mempunyai kemadirian dalam menentukan pilihannya. Setiap perempuan berhak menyuarakan aspirasinya walaupun yang ia tentang adalah suaminya, apabila suaminya itu memerintahkan kedzaliman dan tidak sesuai syari’at. Nalar kritis harus dibangun pada setiap perempuan. Sebagai makhluk merdeka perempuan berhak menentukan pilihan hidupnya selama tidak bertentangan dengan agama dan kemanusiaan.

Perihal pernikahan, perempuan kerap mendapatkan paksaan yang mencederai nilai nilai kebebasan seorang perempuan. Banyak perempuan merasa kebebasannya terenggut hanya karena ia terlahir dengan jenis kelamin perempuan. Tidak ada yang salah dengan semua keadaan yang kamu jalani saat ini, tapi akan menjadi salah apabila kamu menyalahkan keadaan tanpa melakukan perubahan.

 

Seperti itu kira-kira citra perempuan ideal menurut islam dan Al-Qur’an. Dan jelas, ada kontradiksi antara Citra yang dibangun oleh sosial dengan citra yang berlandaskan Al-Qur’an. Karena itu mari bangun citra ideal yang sesuai dengannya, jangan hanya selalu merasa insecure dengan mereka yang cantik didepan mata. Wujudkan perempuan ideal yang sesuai dengan Al-Qur’an dengan menjadi perempuan merdeka. Karena kita perempuan,  harus mampu menjadi merdeka seutuhnya. []

 

Tags: GenderislamkeadilankemerdekaanKesetaraanperempuan
Rofi Indar Parawansah

Rofi Indar Parawansah

Perempuan belajar menulis

Terkait Posts

Kesehatan Akal

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

4 Juni 2025
Mitos Israel

Mitos Israel di Atas Penderitaan Warga Palestina

4 Juni 2025
Trans Jogja

Trans Jogja Ramah Difabel, Insya Allah!

3 Juni 2025
Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Perbedaan Feminisme

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

2 Juni 2025
Teknologi Asistif

Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

2 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Haji Pengabdi Setan

    Ali Mustafa Yaqub: Haji Pengabdi Setan dan Ujian Keimanan Kita

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Perintah Menutup Aurat dalam al-A’raf Ayat 31

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nilai Ekonomi dan Sosial dalam Ibadah Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca Novel Jodoh Pasti Bertemu dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal
  • Ragam Pendapat Ahli Fiqh tentang Aurat Perempuan
  • Mitos Israel di Atas Penderitaan Warga Palestina
  • Resident Playbook dan Pentingnya Perspektif Empati dalam Dunia Obgyn
  • Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID