Mubadalah.Id- Croc Brain dan ketidakbahagiaan massal. Kegaduhan komunikasi antar netizen di dunia maya merembet dalam relasi-relasi antarwarga dalam hidup keseharian. Penyebaran berita bohong telah berbuah ujaran kebencian yang kasar hingga sikap intoleran.
Banyak pertanyaan berjubel menyorot fenomena ini, misalnya mengapa penyebar berita bohong justru banyak dari kalangan yang terpelajar, bahkan di antara pelaku yang tertangkap polisi ada seorang guru dan dosen?
Mengapa orang berpendidikan tinggi tidak bisa memilah fakta dan data, melahap berita bohong lalu berbicara kasar sedemikian hingga menghina sosok-sosok yang sangat dihormati integritas dan keilmuan mereka, seolah para pembenci ini tidak punya hati?
Mengapa penjelasan ilmiah dan akal sehat tidak lagi dianggap sesuatu yang penting oleh para pelontar ujaran kebencian? Dan apa yang terjadi dengan orang-orang yang menolak menggunakan akal sehat dan kehilangan sikap santun ini?
Penjelasan dari beberapa ahli dari sudut pandang neurosains telah mempopulerkan istilah baru di tengah masyarakat yang mempertanyakan berkembangnya fenomena ini; croc brain atau crockodile brain; otak buaya.
Otak manusia sebagai pusat pengendali kesadaran, gerak tubuh dan kepribadian, ada bagian yang juga dimiliki oleh hewan reptil (hewan melata salah satunya buaya) yang mengatur reaksi tubuh atas situasi lapar, mempertahankan rasa aman, mempertahankan batas-batas wilayah, atau secara umum mengatur basic instinct. Bagian ini yang tidak terhubung dengan bagian otak yang menalar.
Kegaduhan komunikasi di media sosial yang merembet ke dalam kehidupan sehari-hari ini tampaknya ada hubungannya dengan rekayasa informasi yang sengaja dirancang untuk mengulik bagian otak ini. Tujuannya, menciptakan kegaduhan.
Dapat dipahami bahwa sangat mungkin ada pihak yang sengaja memancing perpecahan dalam masyarakat dengan mengkonstruksi informasi yang dapat menjadi pemicu bangkitnya rasa tidak aman yang sangat mendalam bagi orang-orang tertentu. Ketika rasa terancam makin jenuh dapat menimbulkan reaksi sangat keras ketika medapat tekanan dari pihak yang melawan.
Orang-orang yang menjadi terganggu rasa amannya karena terpapar sengatan informasi semacam itu, tidak lagi menggunakan pikiran ketika merespons orang lain yang berbeda pandangan dengannya. Karena demikianlah mekanisme croc brain. Yang bersangkutan seolah terus merasa terdorong harus bertahan dari ‘ancaman’, (untuk dirinya dan kelompoknya).
Dalam perasaan mereka, dia harus membela mati-matian apa yang dirasa untuk sesuatu yang mereka anggap paling penting dan sakral bagi hidupnya.
Kegaduhan yang berawal dari komunikasi media sosial ini terjadi di banyak belahan dunia. Tetapi kekacauan makin bertambah ketika muncul suatu kondisi di mana banyak orang hanya mau mengakui dan menerima pemberitahuan atas realitas, bila sesuai atau mendukung kepentingan dirinya saja. Tidak penting lagi apakah hal itu benar atau tidak, dari sisi metode ilmu pengetahuan, inilah post truth era.
Cepat atau lambat situasi seperti ini akan membuat komunikasi kehilangan fungsi perekat sosial. Kebohongan dapat menjadi menjadi sesuatu yang biasa karena masyarakat makin kehilangan pegangan bersama, ketika kebenaran ilmu pengetahuan dan para pakarnya disingkirkan oleh kuasa kepentingan.
Masyarakat kehilangan titik temu dalam memaknai realitas. Saling curiga dan saling percaya antar anggota masyarakat pun meluruh.
Idealnya dalam komunikasi, orang-orang saling sapa, saling mempertemukan sudut pandang dan pemaknaan yang bersesuaian tentang simbol-simbol bahasa, sehingga saling memahami suatu alur pembicaraan.
Bila pemaknaan bersama tidak ada lagi karena apa yang dianggap benar sudah makin tergantung pada kepentingan masing-masing pihak, di mana lagi fungsi komunikasi? Kekacauan pikiran dapat bermanifestasi dalam kekacauan relasi dan tatanan sosial.[]