Mubadalah.id – Bekerja pada dasarnya baik, laki-laki dan perempuan dipanggil untuk bekerja (QS. Ali Imran (3): 195: QS. al-Nisa (4): 124: QS. al-Nahl (16): 97: dan QS. Ghafir (40): 40).
Menggunakan harta hasil kerja atau hasil pemberian untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga juga pada dasarnya baik, laki-laki dan perempuan dipanggil, sebagaimana juga kebaikan shalat, zakat, sikap amanah, sabar, dan jujur (QS. al-Baqarah (2):177).
Artinya, laki-laki maupun perempuan yang bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga pada dasarnya adalah baik dan diapresiasi Islam (dalam al-Qur’an maupun Hadis).
Namun, Islam menuntut laki-laki mengemban tanggung jawab terlebih dahulu dalam persoalan nafkah keluarga ini, karena ada faktor-faktor yang melekat pada perempuan yang bisa menghambatnya dari pencarian nafkah ini, terutama karena dampak perkawinan.
Secara biologis, perempuan berpotensi hamil, melahirkan, dan menyusui. Sebuah peran, yang kata al-Qur’an disebut kelelahan berlipat (wahn ‘ala wahn) (QS. Luqman (31): 14).
Peran ini akan membatasi perempuan untuk bisa bekerja mencari nafkah untuk keluarga dengan maksimal. Karena tanggung jawab reproduksi ini, laki-laki yang menjadi suaminya wajib untuk memastikan dan memberi jaminan perlindungan finansial.
Namun, jika perempuan mampu melakukan pekerjaan untuk memenuhi nafkah keluarga, sekalipun sedang menjalankan fungsi reproduksi ataupun tidak.
Atau suaminya sedang tidak mampu memberi nafkah karena kesehatan atau yang lain, perempuan boleh bekerja mencari nafkah bagi pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga dengan merujuk pada prinsip awal.
Bahkan dalam keadaan tertentu, bekerja mencari nafkah bisa saja menjadi wajib. Terutama jika ada tuntutan keadaan keluarga dan sosial yang jauh lebih penting.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik.