Mubadalah.id – Gusti Kanjeng Ratu Hemas menyoroti tiga spirit dasar yang menjadi fondasi gerakan KUPI: Ma’ruf, Mubadalah, dan Keadilan Hakiki. Menurutnya, ketiga nilai ini sangat relevan di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi berbagai krisis.
“Kita sedang menghadapi disrupsi sosial, krisis lingkungan, dan menguatnya konservatisme yang sering kali membatasi ruang gerak perempuan,” katanya, dalam Halaqah Kubra KUPI di Hall Convention UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat (12/12/2025).
Dalam situasi semacam ini, lanjut GKR Hemas, bangsa Indonesia membutuhkan kepemimpinan moral yang jernih kepemimpinan yang tidak hanya berbicara tentang teks. Tetapi juga berpihak pada kemanusiaan dan keadilan.
Ia menilai pendekatan keulamaan perempuan yang dikembangkan KUPI menawarkan alternatif penting: tafsir keagamaan yang berakar pada nilai-nilai Islam sekaligus peka terhadap realitas sosial kontemporer.
Dari Forum Akademik ke Gerakan Nasional
Dalam sambutannya, GKR Hemas mengaitkan kerja KUPI dengan berbagai forum nasional yang belakangan ia ikuti. Salah satunya adalah MCB (Musyawarah Cendekiawan Bangsa) yang baru saja diselenggarakan di Universitas PGRI Semarang, yang membahas beban ganda dan trauma perempuan di era kontemporer.
“Salah satu isu penting yang kami bahas adalah kekerasan berbasis gender online (KBGO),” ungkapnya.
Kemudian, isu tersebut, menurut GKR Hemas, menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan kini tidak hanya terjadi di ruang fisik. Tetapi juga di ruang digital yang sering luput dari perhatian hukum dan kebijakan publik.
Ia menambahkan, gerakan perempuan Indonesia di Senayan yang merupakan bagian dari refleksi menuju satu abad Kongres Perempuan Indonesia 2028 ikut terhubung dalam forum tersebut melalui Zoom. Harapannya, dialog ini tidak berhenti di ruang akademik atau nasional, tetapi menjadi gerakan bersama hingga tingkat daerah.
“Kita ingin ini menjadi gerakan nasional yang dilakukan bersama berbagai organisasi, sampai ke daerah-daerah,” ujarnya.
Angka Kekerasan yang Tak Bisa Dinormalisasi
Salah satu bagian paling serius dari sambutan GKR Hemas adalah ketika ia menyinggung data kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Ia mengutip Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024 yang mencatat 445.500 kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Angka ini tidak boleh kita anggap normal,” katanya tegas.
Lebih lanjut, bentuk kekerasan yang paling banyak korban laporkan, lanjutnya, meliputi kekerasan seksual, kekerasan psikis, kekerasan fisik, dan kekerasan ekonomi. Sementara itu, data dari Pengadilan Agama menunjukkan bahwa sekitar 61 persen perkara masih berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Bagi GKR Hemas, fakta ini menunjukkan urgensi pendekatan keagamaan yang memuliakan perempuan dan secara tegas menolak segala bentuk kekerasan.
“Ini menunjukkan betapa pentingnya pendekatan keagamaan yang berpihak pada kemanusiaan, yang tidak membenarkan kekerasan dalam bentuk apa pun,” ujarnya. []





































