Senja temaram turun perlahan, menenggalamkan bayang hitam ditelan malam. Ketika aku masih bersetia menunggu kabar Ibu di tanah seberang. Lewat video call yang terus saja terputus-putus. Entah karena hampir kehabisan paket data internet, ataukah memang sinyal yang sedang kurang bagus, sehingga suara timbul hilang, dan tak bisa dipahami apa yang disampaikan. Akhirnya aku menutup sambungan telepon.
Namaku Endang Darma Ayu. Konon kata Ibu, Nenek yang memberi nama itu. Berharap agar aku bisa seperti Nyi Endang Darma Ayu, perempuan pendiri tanah Indramayu bersama Aria Wiralodra. Dalam kisah yang sering aku dengar dari Nenek, ketika aku kecil dulu, Nyi Endang Darma Ayu merupakan cucu dari Sunan Maulana Malik Ibrahim Gresik, dan santri Sunan Gunung Jati. Selain menguasai ilmu agama, ia juga mahir bela diri.
Bahkan Nyi Endang Darma Ayu dipercaya gurunya, menjadi panglima perang ketika bertempur melawan Kerajaan Galuh, yang masih masuk wilayah Kerajaan Padjajaran. Ini sejarah yang tertulis abadi dalam lontar babad Dermayu abad 15 M. Tetapi yang aku lihat kini perempuan Indramayu yang nampak terpuruk dan tak berdaya.
Perempuan itu Nenek dan Ibu, dalam keluarga yang aku kenal lekat dalam ingatan. Nenek Siti, yang selepas Ibu bekerja menjadi buruh migran, mengasuhku sejak usiaku 3 tahun. Hingga kini 15 tahun sudah ibu belum juga pulang kembali. Hanya kiriman uangnya yang rutin kami terima setiap bulan. Desakan keluarga, aku yang harus pergi ke luar negeri menggantikan Ibu.
Bagi keluargaku, perempuan adalah aset untuk bisa dikirimkan bekerja ke luar negeri menjadi buruh migran. Pada masa Ibu muda, ke Timur Tengah yang menjadi primadona. Sampai saat ini Ibu masih setia dengan majikan yang sama. Sementara waktu berlalu, lebih banyak tujuan negara yang bisa dipilih, seperti Taiwan dan Korea Selatan yang menjadi pilihan pertama.
Dalam telepon yang aku terima sore itu, Ibu berkabar masih menunggu kepastianku apakah bisa menyusulnya bekerja di sana. “Endang, kapan bisa berangkat ke Saudi?, majikan Ibu terus saja bertanya. Jika Ibu pulang harus ada yang menggantikan, nanti Tante Irna dari PT yang akan mengurus berkas-berkasnya.”, aku hanya menjawab tak tahu dan sungguh aku tidak tahu. Lalu telpon terputus. Hanya bunyi tuuuut panjang yang masih terdengar.
Jika berani bicara, aku masih enggan untuk berjarak dengan kampung halaman. Ijazah SMA masih tersimpan rapi di lemari. Tawaran dan dorongan bekerja di ibukota datang silih berganti, sementara aku hanya ingin kuliah, entah di mana saja.
Nenek semakin renta. Tubuhnya tak lagi mampu menopang semangat hidupnya. Dunia Nenek kini terbatas hanya di sekitar rumah dan mushola, yang berjarak hanya beberapa langkah dari rumah. Setiap kali ia menatapku, aku tahu ada air mata yang diam-diam ia sembunyikan. Tentang harapan besarnya pada cucu perempuan, yang entah apakah akan sampai atau tidak.
Nenek seperti kebanyakan perempuan di kampungku, menginginkan aku lekas bekerja, agar mampu membantu ekonomi keluarga. Sementara Ayah yang selalu berjuluk Kepala Rumah Tangga, entah pergi ke mana. Sejak aku mampu mengingat, tak pernah ada sosok lelaki yang hadir di rumah. Pernah sekali melihatnya dalam lembar foto, tetapi sungguh aku tak sanggup mengenang karena tak pernah ada tatap muka, dan sentuhan fisik. Sempurna, aku tumbuh dan besar tanpa figur Ayah.
Di pinggir Sungai Cimanuk, kerap kali aku menambatkan hati. Berdiam dalam waktu yang lama, berharap semua kisahku tak pernah nyata. Pada Sungai Cimanuk, aku menangisi mimpi yang tak lagi berseri. Mati sebelum harap itu tumbuh dan terawat dengan baik.
Bahkan kerap kali aku menggugat, pada Nyi Endang Darma Ayu, Sang Perempuan berkarisma, berwibawa, bertalenta, pandai agama dan sakti mandraguna. Mengapa tulahnya tak mengaliri darah perempuan-perempuan Indramayu sesudahnya. Mengapa masih harus mengadu nasib ke negeri sebrang, hanya untuk sekedar menyambung kehidupan. Mengapa perempuan tak punya pilihan lain.
Atas nama Nenek, Ibu, dan diriku sendiri, pada Nyi Endang Darma Ayu aku mengadu. Kapan kami mampu sudahi ketakberdayaan ini. Melawan kemiskinan yang diwarisi entah sejak kapan. Di pinggir Sungai Cimanuk, yang menjadi saksi sejarah kehebatannya itu, aku menangis untuk yang ke sekian kali. Berharap jika mimpi ini tak lagi sekedar mimpi. Menjadi perempuan yang memiliki banyak pilihan.***