Saya pernah berdiskusi dengan teman saya dan dia mempertanyakan mengapa Islam patriarkis sekali? Pertanyaan ini datang dari teman yang berbeda agama dan yang seagama dengan saya. Dulu saya juga mempertanyakan ini. Sehingga saya bisa bersimpati mengapa hal ini membuat mereka penasaran. Jika pertanyaan ini ditanyakan pada orang yang sentiment terhadap agama, pasti bukannya mendapat jawaban yang mencerahkan malah mungkin dianggap membenci agama Islam.
Tentu saja saya tidak tersinggung mendengar pertanyaan seperti itu. Dalam sejarahnya, budaya patriarki bukan hanya merupakan budaya Islam, tapi merupakan sistem di seluruh belahan bumi. Tapi sebagian orang menganggap ini adalah ajaran agama Islam. Kamudian saya berpikir, apakah memang seolah ajaran agama saya yang patriarki? Bagaimana dengan agama lain?
Dalam diskusi “Feminisme Islam bukan Agama: Mitos, Definisi, dan Kontestasi” Reducates bersama Prof. Etin Anwar, ada peserta yang bercerita bahwa patriarki juga dirasakan oleh teman-teman Nasrani. Untuk menjadi pendeta, ada perempuan yang dihalang-halangi hingga pada akhirnya tidak menjadi pendeta.
Itu mengapa tidak banyak ada pendeta perempuan. Anggapan bahwa perempuan tidak dapat menjadi pendeta karena perempuan tidak dapat memimpin, kemudian setelah memiliki suami mereka tidak bisa keluar malam, bahkan juga ada stigma bahwa perempuan itu penggoda.
Pengalaman yang mirip juga dialami oleh teman saya dalam Srikandi Lintas Iman, yang langkahnya cukup berat untuk menjadi pendeta perempuan. Menurutnya di sebagian Gereja, calon pendeta perempuan hanya dianggap cadangan. Ketika ada calon pendeta laki-laki dan perempuan yang memiliki kualitas sama, maka akan dipilih pendeta laki-laki. Bahkan jika calon pendeta perempuan lebih unggul secara kualitas, mereka handa ada di bangku cadangan.
Perempuan dianggap tidak lincah, bergantung pada suami, hingga ada stigma bahwa pendeta perempuan akan susah mendapatkan pacar atau suami. Saat memarkir mobilpun, laki-laki mengambil alih itu karena perempuan dianggap kurang mampu memarkir dengan benar. Hal ini menguatkan adanya kesenjangan gender dalam budaya kita, bahwa perempuan ditempatkan dalam tugas domestik dan laki-laki pada tugas sosial. Jadi ketika ada perempuan yang menjalankan peran sosial, mereka dianggap tidak kompeten karena “kodratnya” di rumah.
Kesimpulan yang diambil dalam diskusi Reducates dan diskusi bersama teman di Srili adalah budaya patriarki yang kental dalam lingkungan kita itu bukan ajaran agama. Karena bukan hanya yang beragama Islam saja yang merasakan ketidakadilan gender ini, tapi juga agama lain. Nilai-nilai patriarki yang mendiskriminasi perempuan akan lebih mudah dimasukkan dalam nilai agama dalam tafsirnya agar kita taat dan tidak ada penolakan.
Menurut Prof. Etin, ada empat argumen yang melanggengkan interpretasi hierarkis yang mencatut agama, yaitu argumen biologis, argumen teologi, argumen budaya dan argument politik. Secara biologis, wanita dan laki-laki dianggap berbeda. Maka sebagai konsekuensi juga berbeda dalam peran sosial, etis, moral dan juga secara politik. Wanita juga dianggap sebagai tulang rusuk laki-laki berarti wanita hanyalah pelengkap laki-laki. Tidak dapat berdiri sendiri secara utuh. Pengalaman biologis seperti mensturasi juga dianggap sebagai kelemahan perempuan.
Dalam argumen teologis, ada anggapan bahwa Adam adalah yang utama dan Hawa hanyalah pelengkap. Adam dikeluarkan dari surga karena godaan Hawa. Hal ini yang kemudian juga diyakini bahwa perempuan adalah penggoda dan merupakan fitnah bagi laki-laki. Argumen budaya dan argument politik juga turut serta menempatkan perempuan dalam kelas dua atau liyan.
Saat teman saya tahu bahwa saya akan melanjutkan studi magister, dia berharap semoga saya tidak dijulidin karena melanjutkan kuliah dan belum menikah. Dia dan teman-temannya juga mengalami ini sehingga berharap saya tidak mengalaminya. Anggapan bahwa ketika perempuan memiliki pendidikan yang tinggi atau memiliki penghasilan lebih tinggi dari laki-laki, maka itu akan membuat laki-laki minder. Padahal siapa yang mau dengan laki-laki minder hanya karena perempuan mampu mengeksekusi ingin-angannya?
Kata Chimamanda Ngozi Adichie, “Kita mengajarkan perempuan untuk menenggelamkan dirinya sendiri untuk membuat dirinya lebih kecil. Kita mengatakan pada gadis-gadis bahwa mereka boleh memiliki ambisi, tapi jangan terlalu berambisi. Mereka diharapkan untuk menjadi sukses tapi jangan terlalu sukses”. Itulah yang seringkali dihadapi perempuan baik dalam kelompok maupun secara personal. Perempuan tidak boleh menjadi dominan, superior dan lebih dari laki-laki.
Saya berpikir, jika laki-laki dan perempuan diberi kesempatan, gaji yang sama dan tugas yang sesuai, maka argumen biologis, teologis, budaya dan politik tidak akan berlaku lagi untuk menjatuhkan perempuan. Dalam agama apapun dan di mana pun, selama budaya patriarki masih hidup, maka diskriminasi pada perempuan akan berlanjut. Bahkan kita juga tahu ini berdampak pada diskriminasi laki-laki dan juga anak-anak yang dianggap rentan.
Coba kita bayangkan jika setiap kegiatan kita melibatkan perempuan dan memberikan ruang, maka kita tidak akan menemukan all male panel yang seringkali dinormalisasi dan malah mempertanyakan kapabilitas perempuan. Jika kita memfasilitasi pengalaman biologis perempuan, maka pengalaman ini tidak makin berat untuk dijalankan yang seringkali menjadi justifikasi agar perempuan tidak terlibat dalam ruang publik.
Mari dengarkan dan tuliskan pengalaman kita sebagai sesama perempuan, tidak menganggap perempuan lain sebagai saingan dan melakukan kolaborasi untuk saling mendukung. Jika kita menghargai perempuan sebagai makhluk fisik, intelektual dan spiritual, maka kita tidak akan menempatkan perempuan selalu di bawah laki-laki dan mengizinkan mereka untuk menindas. []