Mubadalah.id – Perempuan sering kali menjadi korban diskriminasi. Kondisi perempuan dengan penyandang disabilitas tentu ia akan menghadapi tantangan ganda berbasis gender, selain perempuan ia juga adalah penyandang disabilitas.
Berdasarkan pemaparan Bahrul Fuad (dalam persentasi Disabilitas dalam Perspektif Gender, HAM, dan Tradisi Keagamaan), perempuan dengan kondisi disabilitas di Indonesia sering sekali menghadapi sikap diskriminasi oleh masyarakat dan hambatan yang lebih besar dalam beberapa akses. Yaitu akses pendidikan, kesehatan, dan juga partisipasi publik, jika kita bandingkan dengan laki-laki disabilitas atau perempuan yang non-disabilitas.
Diskriminasi Gender
Beberapa persoalan diskriminasi dalam perspektif gender antara lain yaitu: Pertama, norma gender, hal ini terjadi karena harapan peran tradisional yang mengharuskan perempuan mengurus rumah tangga/menjadi objek, sementara perempuan dengan kondisi disabilitas sering masyarakat anggap “tidak mampu” dalam memenuhi peran tersebut.
Kedua, kekerasan berbasis gender, risiko pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang lebih tinggi, karena kondisi tersebut dan keterbatasan akses untuk melapor pada pihak berwajib. Ketiga, pengambilan keputusan, masyarakat sering mengabaikan dan tidak melibatkan perempuan dengan kondisi disabilitas dalam pengambilan keputusan penting mengenai tubuh, kesehatan reproduksi, atau perkawinan mereka.
Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender
Dalam masyarakat yang belum memiliki pemahaman mendalam tentang isu diskriminasi gender, pandangan terhadap peran perempuan sering kali memandang dari perspektif nilai, dan norma tradisional.
Terdapat beberapa bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang sering kali kita jumpai. Pertama Marjinalisasi, berarti perempuan terkadang masyarakat pinggirkan, dan cenderung tidak kita beri akses untuk berperan dalam pengambilan keputusan. Kedua, Subordinasi, yang sering masyarakat anggap bahwa peran perempuan tidak penting, dan bisa kita bilang bukan sebagai pemeran utama.
Ketiga, Streotype, sering kali masyarakat lekatkan perempuan dalam peran-peran domestik, dan feminim. Keempat, beban ganda, yaitu perempuan menjalankan peran produktif pada ranah publik sekaligus peran domestik di rumah. Terakhir, diskriminasi, terlihat dari perbedaan akses dan peran antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat.
Selain ketidakadilan yang muncul dalam kehidupan sosial masyarakat, bentuk diskriminasi juga tampak dalam kebijakan hukum. Bahrul Fuad dalam pemaparannya menyoroti Pasal 4 Undang-undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Hal ini masih bias gender karena memperkuat stigma negatif terhadap perempuan, terutrama pada perempuan disabilitas. Pasal ini berpotensi mengarah pada pandangan bahwa perempuan tidak memiliki posisi yang setara dalam berumah tangga.
Nilai Islami Tentang Kafaah
Jika melihat nilai Islam tentang Kafa’ah, kesetaraan yang utama adalah iman, akhlak, dan tanggung jawab, bukan fisik atau status sosial.
Dalam perspektif fiqih, Kafa’ah adalah kesetaraan suami terhadap istri dalam beberapa hal yang menyebabkan kebahagiaan dalam ranah berumah tangga. Konsep ini juga untuk mencegah adanya diskriminasi.
Dalam fiqih, ada beberapa faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam sudut pandang kafa’ah. Antara lain: garis keturunan, profesi dan sumber penghasilan, agama, yang artinya pengalaman dalam melaksanakan agama, merdeka, dan tidak adanya kekurangan.
Apabila dikaitkan dengan konteks perempuan disabilitas, fiqih Kafa’ah dapat kita maknai sebagai pengakuan terhadap kesetaraan dan hak antara perempuan dan laki-laki, terlepas dari kondisi fisik atau sosial. Islam menolak segala bentuk diskriminasi yang merendahkan manusia berdasarkan gender maupun disabilitas, karena setiap manusia memiliki kemuliaan yang sama di hadapan Allah (QS. Al-Hujurat: 13).
Dapat kita simpulkan bahwa diskriminasi yang dialami perempuan disabilitas merupakan persoalan serius yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai lapisan masyarakat. Bentuk diskriminasi ini bukan hanya terjadi dalam kehidupan sosial, tapi juga hukum.
Setiap manusia, termasuk penyandang disabilitas, memiliki hak yang sama untuk kita hargai, akui, dan memperoleh kesempatan setara dalam aspek kehidupan. maka itu perlu kesadaran yang merata untuk menghapus segala bentuk dari diskriminasi. []










































