Mubadalah.id – Kalau bicara soal emansipasi perempuan, kebanyakan orang langsung teringat pada sosok R.A. Kartini atau para tokoh feminis modern. Padahal, jauh sebelum mereka muncul, dunia Islam sudah punya ulama besar yang membahas peran dan posisi perempuan, yaitu Imam Al-Ghazali. Beliau bukan ulama biasa.
Al-Ghazali terkenal sebagai Hujjatul Islam atau Pembela Islam karena keilmuannya yang sangat luas mulai dari fikih, filsafat, hingga tasawuf. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Ihya’ Ulum al-Din , sebuah kitab besar yang hingga kini masih jadi rujukan utama dalam memahami nilai-nilai Islam secara mendalam.
Bayangkan, kitab Ihya’ Ulum al-Din yang sangat tebal itu bukan hanya membahas soal ibadah, zikir, atau akhlak semata. Di dalamnya, Al-Ghazali juga mengulas hal-hal yang sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari, seperti hubungan antara laki-laki dan perempuan, pernikahan, pendidikan, hingga persoalan gaya hidup. Dari sinilah kita bisa mulai menggali lebih dalam bagaimana sebenarnya pandangan Al-Ghazali terhadap perempuan.
Yang menarik, Al-Ghazali hidup di zaman ketika struktur masyarakat sangat patriarkis, di mana laki-laki memegang hampir seluruh peran penting. Namun, beliau tidak serta-merta mengikuti arus tersebut.
Perempuan Punya Potensi Besar
Dalam beberapa pandangannya, Al-Ghazali justru menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi besar bukan sekadar pelengkap dalam kehidupan laki-laki. Tetapi sebagai individu yang utuh, yang bisa berkembang baik secara spiritual maupun intelektual.
Menurut Al-Ghazali, perempuan memiliki kedudukan yang penting baik dalam keluarga maupun di tengah masyarakat. Namun, beliau lebih menekankan bahwa hal terpenting dari diri seorang perempuan adalah akhlaknya bukan penampilan fisik atau status sosial.
Dalam Ihya’ Ulum al-Din, Al-Ghazali bahkan memberikan nasihat khusus kepada para suami agar memperlakukan istri dengan penuh kebaikan, kelembutan, dan tidak berlaku semena-mena. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Ghazali memiliki kepedulian terhadap hak-hak perempuan, meskipun ia sampaikan dengan gaya dan bahasa khas zamannya.
Emansipasi Bukan Kebebasan Gaya Barat, Tapi Kemerdekaan Jiwa
Kalau kita bicara tentang emansipasi perempuan hari ini, banyak orang langsung mikir tentang perempuan yang bebas berkarier, tampil di ruang publik, jadi pemimpin, dan punya hak setara. Nggak salah sih.
Tapi, menurut Al-Ghazali, emansipasi itu tidak sesederhana soal bisa kerja, tampil di TV atau di depan publik. Emansipasi sejati adalah kemerdekaan jiwa bagaimana perempuan bisa bebas dari hawa nafsu, dari ketergantungan duniawi, dan jadi manusia yang benar-benar bertakwa.
Dalam Ihya’ Ulum al-Din, Al-Ghazali banyak menekankan pentingnya tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa bagi seluruh manusia, termasuk perempuan. Beliau meyakini bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk mencapai tingkat spiritual yang sangat tinggi. Asalkan mereka sungguh-sungguh menempuh jalan ibadah dan menuntut ilmu.
Bahkan, Al-Ghazali mengungkapkan kekagumannya terhadap sosok perempuan sufi seperti Rabi’ah al-Adawiyah seorang tokoh yang cintanya kepada Allah jauh melampaui ketertarikannya pada dunia. Rabi’ah menjadi bukti nyata bahwa perempuan mampu berdiri secara mandiri dalam hal spiritualitas, tanpa harus bergantung pada siapa pun.
Bukan hanya Tentang Kesetaraan Gender
Jadi, emansipasi dalam pandangan Al-Ghazali bukan semata tentang kesetaraan gender dalam hal fisik atau jabatan, tapi soal bagaimana perempuan bisa menemukan dirinya sendiri secara batin. Dalam bahasa kekinian, ini mirip seperti konsep self love dan spiritual growth, tapi dengan pendekatan yang berbasis iman.
Bagi Al-Ghazali, perempuan yang paling mulia bukan yang paling cantik atau paling kaya, tapi yang paling taat, punya ilmu, dan mampu mengendalikan dirinya. Karena itu, beliau mendorong perempuan buat terus belajar, memperbaiki akhlak, dan mendekatkan diri pada Allah. Itu adalah bentuk kebebasan yang sejati menurut beliau, bebas dari dominasi hawa nafsu dan bebas dari standar dunia yang menyesatkan.
Mungkin masih ada yang bertanya-tanya, Pandangan Al-Ghazali ini cocok nggak sih buat diterapkan di zaman sekarang?” Jawabannya “Cocok banget” Meski lahir lebih dari 900 tahun lalu, pemikiran beliau masih punya napas yang kuat untuk konteks hari ini terutama buat perempuan Muslim yang sedang mencari jati diri di tengah arus zaman yang super cepat.
Sekarang ini, kita hidup di era di mana perempuan punya lebih banyak kesempatan. Bisa kuliah tinggi, punya karier, bahkan jadi pejabat. Tapi di sisi lain, tantangan juga makin besar mulai dari tekanan sosial, tuntutan tampil sempurna, toxic relationship, dan gempuran media sosial bisa bikin perempuan kehilangan arah dan jati diri. Di sinilah pesan-pesan Al-Ghazali jadi super penting.
Kesetaraan dalam Pernikahan
Beliau mengingatkan kita bahwa kualitas diri itu nggak ditentukan oleh likes di Instagram atau jabatan di kantor, tapi oleh akhlak dan kedekatan kita pada Allah. Kalau perempuan bisa mandiri secara spiritual, mereka tidak akan gampang terpengaruh oleh tren negatif atau tekanan sosial. Mereka bisa berdiri teguh dengan nilai-nilai Islam yang kuat dan tetap aktif berperan di masyarakat.
Selain itu, Al-Ghazali juga mengajarkan bahwa perempuan tidak boleh kita paksa tunduk dalam relasi yang tidak sehat. Beliau menyarankan agar laki-laki menghargai perempuan sebagai mitra hidup, bukan sebagai budak.
Dalam pernikahan misalnya, perempuan punya hak untuk kita hormati, diberi ilmu, dan terlindungi dari perlakuan buruk. Jadi kalau sekarang kita bicara tentang kesetaraan dalam pernikahan atau relasi sehat, Al-Ghazali sudah memberi fondasinya sejak dulu.
Emansipasi dalam Pandangan Al Ghazali
Emansipasi perempuan menurut Al-Ghazali bukanlah soal siapa yang lebih unggul laki-laki atau perempuan. Bagi beliau, emansipasi sejati adalah ketika perempuan mampu menjadi pribadi yang merdeka secara batin, kuat dalam akhlak, dan mandiri dalam spiritualitas. Pandangan ini jauh lebih mendalam dibanding sekadar mengikuti tren kebebasan yang sering kali justru menjauhkan seseorang dari nilai-nilai Islam yang hakiki.
Zaman boleh terus berubah, tetapi nilai-nilai Islam yang kuat tetap relevan dan bisa menjadi pegangan. Meskipun Al-Ghazali hidup berabad-abad yang lalu, pemikirannya masih bisa menjadi cermin bagi kita yang hidup di era digital saat ini. Terutama bagi perempuan Muslim masa kini yang sedang memperjuangkan ruang, kesempatan, serta penghargaan yang lebih adil dalam berbagai aspek kehidupan.
Jadi, kalau selama ini ada yang mengira bahwa emansipasi perempuan itu cuma identik dengan pemikiran Barat, coba tengok lagi isi Ihya’ Ulum al-Din. Di dalamnya bakal menemukan bahwa Islam juga punya konsep emansipasi tapi dengan versi yang lebih dalam, bersifat spiritual, dan menyentuh nurani.
Al-Ghazali mengajarkan bahwa perempuan itu berharga, bukan karena ia bisa mengikuti arus dunia, tapi karena ia mampu menemukan dan mendekatkan diri kepada Allah dari dalam dirinya sendiri.
Dengan membawa nilai-nilai ini, perempuan muslim bisa tumbuh jadi pribadi yang utuh punya ilmu, punya iman, dan tahu ke mana arah hidupnya. Yang paling penting, mereka tetap bisa berkontribusi untuk keluarga, masyarakat, bahkan dunia, tanpa harus kehilangan identitas sejatinya sebagai hamba Allah. []