Mubadalah.id – Fakta-fakta sejarah awal peradaban Islam menunjukkan secara pasti betapa banyak perempuan yang menjadi ulama dengan kapasitas intelektual yang relatif sama. Bahkan di antara mereka justru mengungguli kapasitas intelektual, moral dan spiritual ulama laki-laki.
Fakta ini dengan sendirinya menggugat anggapan umum bahwa akal perempuan secara kodrat, takdir, natural, fitrah, atau apapun namanyalebih rendah dari akal laki-laki.
Jumlah ulama perempuan yang lebih sedikit dari ulama laki-laki bukan sesuatu yang esensial.
Satu atau dua orang perempuan ulama saja sudah cukup membuktikan bahwa mereka pada hakikatnya memiliki potensi dan kualitas, intelektual, moral dan spiritual. Bahkan power fisik (tenaga), yang tidak selalu lebih lemah atau lebih rendah dari laki-laki.
Isu krusial selama ini terletak pada individu, masyarakat, budaya, politik, instrumen hukum dan pandangan agama. Serta kebijakan lain yang tidak memberi ruang dan akses yang sama untuk laki-laki dan perempuan.
Para ulama perempuan yang sebagian sudah kita sebut di atas, dalam sejarahnya telah mengambil peran sebagai tokoh agama, dan sarjana ilmu pengetahuan. Kemudian menjadi tokoh moral yang terpuji dan sumber inspirasi spiritual bagi gagasan kemanusiaan.
Mereka memainkan peran-peran yang tidak hanya dari (dan, dalam) ruang domestik (rumah), melainkan juga terlibat langsung dalam ruang publik.
Kehadiran mereka di ruang publik bersama laki-laki tidak pernah dipersoalkan, tidak pernah menjadi sumber kesialan atau malapetaka sosial.
Bahkan mereka membuktikan kemampuannya bekerjasama dengan ulama laki-laki dalam dan untuk membangun peradaban Islam yang besar.*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender.