Mubadalah.id – Fatimah binti Abbas al-Baghdadiyah adalah perempuan ulama yang dikenal luas sebagai ulama besar yang kualitasnya mengungguli banyak ulama laki-laki.
Masyarakat dari berbagai penjuru negara datang kepadanya untuk belajar ilmu pengetahuan Islam dan menghafal al-Qur’an.
Di tangannya, banyak masyarakat yang hafal al-Qur’an dan menguasai keilmuan Islam. Beberapa santrinya ialah Sayyidah Aisyah binti Shiddiq, istri ulama terkenal Al-Mizzi. Dan putrinya yang bernama Zainab, yang kelak menjadi istri Ibnu Katsir.
Di samping menyampaikan atau memberi fatwa Fatimah binti Abbas juga perempuan yang aktif berdakwah melalui mimbar-mimbar untuk amar makruf nahi mungkar.
Ia menentang keras praktik aliran tarekat tertentu yang membolehkan pergaulan bebas laki-laki dan perempuan dan praktik-praktik homoseksualitas.
Shalahuddin ash-Shafii, seorang ulama besar, memberikan kesaksiannya mengenai hal ini:
“Ia ( Fatimah binti Abbas al-Baghdadiyah) naik ke mimbar. Ia menyampaikan pengajian atau ceramah umum untuk menasihati kaum perempuan. Berkat nasihatnya, banyak perempuan sadar dan bertaubat, hati mereka yang keras menjadi lembut. Banyak di antara mereka menangis, menyesali perbuatannya.”
Mendirikan Pesantren
Awal abad ke 8 H, Fatimah binti Abbas al-Baghdadiyah pindah ke Kairo, Mesir. Di tempat ini, ia juga sangat dikenal, bahkan semakin cemerlang. Ia mendirikan pondok pesantren besar berkat bantuan istri gubernur bernama Khatun binti Malik azh-Zhahir, Babres.
Pesantren ini menampung, menyediakan tempat, sekaligus memberikan beasiswa untuk kaum fakir, miskin, para musafir, dan mereka yang tidak punya tempat tinggal.
Kemudian, para santri lantas belajar, mengaji, atau menghafal al-Qur’an, mengaji kitab kuning, dan sebagainya.
Syekhah Fatimah wafat pada saat jamaah haji berkumpul di Arafat, tepatnya pada tanggal 9 Dzulhijjah, 714 H/1314 M, saat usianya menginjak delapan puluhan tahun.
Jenazahnya dimakamkan di Hay Zhahir, Kairo. Jenazahnya diantar oleh puluhan ribu masyarakat dalam keadaan penuh duka.
Banyak sekali penulis besar dan sejarawan yang menulis nama perempuan ulama ini dalam karya-karyanya. Di antaranya: Shalahuddin ash-Shafdi dalam kitab A’yan al-Ashr wa Awan an-Nasrs, Taqiyyuddin al-Mugrizi dalam Al-Mawa’izh fi Dzikr al-Khuthath wa al-Atsar.
Kemudian, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah, Imam adz-Dzahabi dalam Al-Tbar fi Khabar Man Ghabar.
Lalu Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Ad-Durar al-Kaminah fi A’yan al-Miah ats-Tsaminah, Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Dzail ala Thabaqat al-Hanabilah, dan lain-lain. []