Mubadalah.id – Fatwa KUPI yang diselenggarakan melalui Musyawarah Keagamaan pada tanggal 25-27 April 2017 tidak bisa terlepas dari sejarah perkembangan pemikiran hukum di In. donesia secara umum dan pemikiran keagamaan terkait pemberdayaan perempuan secara khusus.
Ia mengakar pada tradisi intelektual Indonesia yang mempertautkan teks-teks sumber dan realitas kehidupan nyata, sebagaimana kita bisa temukan pada karya-karya ulama Nusantara.
Para ulama ini juga merujuk pada model-model interaksi teks dan realitas yang terekam dalam lembaran-lembaran tradisi dan khazanah peradaban Islam, terutama yang diteladankan para ulama fiqh dan ushul fiqh.
Di Indonesia, sejak akhir dekade 70-an sampai sekarang, telah terjadi dinamika pemikiran hukum Islam yang cukup signifikan. Sebagaimana tercatat dalam tema-tema para ulama dan cendekiawan Indonesia yang menjadi pembicaraan publik saat itu.
Mulai dari gagasan Fiqh Indonesia yang dicetuskan Prof. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqh Mazhab Nasional yang digagas Prof. Hazairin, Kontekstualisasi Hukum Islam yang disuarakan Prof. KH. Ibrahim Hosen, Pribumisasi Islam KH. Abdurrahman Wahid.
Reaktualisasi Ajaran Islam yang digagas Munawir Syadzali, Agama Keadilan KH. Masdar Farid Mas’udi, Fiqh Sosial KH. M.A. Sahal Mahfudh dan KH. Ali Yafie, Tauhid Sosial Siti Musdah Mulia, Fiqh Perempuan KH. Husein Muhammad, dan masih banyak lagi yang lain.
Gagasan Metodologis
Gagasan-gagasan metodologis dari para ulama dan cendekiawan ini menjadi fondasi dalam diskusi-diskusi terkait isu-isu sosial dan perempuan di Indonesia.
Terutama dua lembaga yang secara periodik melakukan pelatihan dan kaderisasi, yaitu lembaga sosial non-akademik Perhimpunan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat (P3M) melalui Fiqh an-Nisa’ di Jakarta, dan lembaga akademik Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga—sekarang sudah menjadi UlN—melalui Pusat Studi Wanita (PSW) di Yogyakarta.
Kedua lembaga ini tidak hanya melakukan acara-acara publik, penelitian, dan produksi tulisan-tulisan. Tetapi juga melakukan kaderisasi untuk mengembangkan dan meneruskan gagasan-gagasan keadilan gender dalam Islam.
Dua lembaga ini contoh saja, karena berbagai lembaga lain juga ikut berkontribusi dalam menebarkan dakwah keadilan gender dan mengkader orang-orang yang akan bergerak dalam dakwah transformasi sosial ini.
Seperti Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta, Yayasan Fatayat NU Yogyakarta, Yayasan Paramadina Jakarta, dan Yayasan LKiS Yogyakarta. Kemudian PSW IAIN Jakarta—sekarang sudah berubah menjadi UIN Jakarta, Muslimat NU dan Fatayat NU, Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiah Muhammadiyah.
Jika kerja-kerja PSW IAIN Yogyakarta di teruskan oleh hampir seluruh PSW perguruan tinggi Islam se-Indonesia, Fiqh an-Nisa’ P3M, diteruskan secara lebih sistematis dan reguler oleh Rahima. Rahima merupakan sebuah perhimpunan yang bergerak pada pendidikan dan pemberdayaan perempuan yang berdiri pada tahun 2000.
Kerja Rahima
Kerja-kerja Rahima juga mendapat dukungan oleh berbagai lembaga lain, baik kalangan perguruan tinggi, pesantren, maupun komunitas.
Yang melakukannya hampir serupa dengan Rahima, baik dari sisi substansi maupun skala kuantitas dan jangkauan. Adalah Fahmina-institute di Cirebon, yang juga berdiri pada tahun yang sama. Satu dekade berikutnya Alimat melakukan hal yang serupa untuk kalangan yang lebih spesifik. Yaitu jemaah majlis taklim dan para perempuan kepala keluarga.
Berbasis kader-kader tiga lembaga ini, Rahima, Fahmina, dan Alimat, yang telah terdidik dengan gagasan-gagasan keagamaan Indonesia dengan perspektif keadilan gender, KUPI pada April 2017.
Pada saat penyelenggaraan KUPI, ketiga lembaga mendapat dukungan oleh berbagai lembaga lain yang satu visi dalam hal pemberdayaan perempuan. Juga ikut hadir jaringan anggota lembaga-lembaga ini.
Di antaranya Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon, AMAN Indonesia, Rumah KitaB, PEKKA, IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dan Migrant Care. Kemudian Komnas Perempuan, Forum Pengada Layanan, Fatayat NU, Nasyiatul Aisyiah, STID al-Biruni, dan banyak lagi lembaga lain. []