Mubadalah.id- Di masa pandemi ini, ada saja orang yang ngotot mau mampir ke rumah yang datang dari jauh. “Ingin sowan”, katanya. Sebut saja namanya “Sofwan” mahasiswa baru lulus dari salah satu perguruan tinggi Islam sebuah kota besar di Indonesia. Dia aktif mengikuti FB-ku, sering “like”, tetapi kadang memberi komentar yang menyiratkan keraguan dan penolakan.
Ragu, menolak, atau menerima adalah proses pengetahuan. Ia bertumpu pada pengalaman hidup, dimana masing-masing orang pasti berbeda. Tetapi, kita semua tetap harus terus belajar, dalam keadaan apapun, usia berapapun. Sowan ke orang lain, atau menerima sowan orang yang datang, adalah salah satunya. Sofwan kebetulan sedang merintis bisnis furniture yang mengharuskan dirinya datang ke Cirebon, lalu menyempatkan diri untuk mampir.
Aku menikmati cerita dan semangat bisnisnya, dan dia sepertinya menikmati ceritaku tentang mubadalah dalam berbagai model relasi kehidupan. Terutama tentang relasi laki-laki dan perempuan, yang seringkali aku pancing dia untuk berempati dan memberikan support penuh kepada para perempuan.
“Yang kang Faqih ceritakan itu, sekalipun memakai istilah Mubadalah atau Keadilan Hakiki atau apalah, itu kan semua agenda feminisme. Dan Feminisme itu dari Barat loh kang?”, tiba-tiba suara Sofwan meragu.
“Kamu sebelum masuk UIN, sekolahmu apa, dan sebelumnya juga apa”, tanyaku.
“Aliyah kang, jurusan sosial. Sebelum itu SMP negeri dan sebelumnya lagi SD negeri, kenapa kang?”, balik bertanya.
“Sistem belajar sekolastik seperti ini, dengan jenjang-jenjang tertentu, ujian-ujian, ijazah, batasan umur tertentu, mata pelajaran tertentu, guru khusus tertentu, isi, model, dan metodenya itu, semua berawal dari Barat loh. Kamu tidak pernah menanyakan dan meragukan?”, kataku.
“Ya sih”, jawabnya lirih.
“Sistem politik demokrasi kita dengan trias politikanya dan seluruh tahapan pergantian dan jenjang kekuasaan, semuanya berawal dari Barat. Kamu datang kemari menggunakan mobil, sekalipun bikinan Jepang, itu juga berkembang dan besar karena peradaban Barat, yang sekarang sudah berpikir akan pergi ke planet Mars. Jangan pikir ini hanya murni alat transportasi, melainkan berawal dari filosofi hidup untuk selalu bergerak, mencari, dan menguasai. Filosofi ini berkembang pesat pada saat individualisme dan liberalisme Barat modern sekarang. Kamu pasti punya rekening bank kan? Sekalipun memakai Bank Syari’ah, semua sistemnya merujuk pada model keuangan Barat. Semuanya”.
“Semua perkembangan sosial dan teknologi sekarang ini memang berawal dari kesadaran Renaisance Barat abad 14-15 Masehi. Namun, kesadaran renaisance ini sesungguhnya juga mendapat inspirasi dari zaman keemasan Islam dan Arab abad 12-14 Masehi. Begitupun, peradaban Islam juga belajar dari peradaban-peradaban sebelumnya, Yunani, Persia, India, dan China”.
“Jadi, bisa dikatakan semua perkembangan kehidupan, termasuk Feminisme, memang bisa dikatakan berawal dari Barat. Jika tertib demokrasi dari Barat, anarkhi juga dari Barat. Modernisme kapitalis yang merusak alam dari Barat, kesadaran peduli lingkungan juga tumbuh pesat di Barat. Bahkan HTI, sekalipun didirikan di Palestina oleh orang Islam, tetapi hanya bisa hidup, tumbuh, dan berkembang dalam sistem demokrasi Barat. Buktinya, semua negara Islam melarangnya termasuk Saudi Arabia, malah Pusatnya justru berada di London Inggris”.
“Ketika sesuatu disebut berawal dari Barat, atau tumbuh kembang dalam kandungan peradaban Barat, bukan berarti para pencipta dan pejuangnya adalah hanya orang-orang Barat. Banyak sekali ilmuwan, teknokrat dan praktisi dalam berbagai isu kehidupan dari berbagai kalangan dan dari berbagai negara dunia. Feminisme juga diserap, dikembangkan, dimodifikasi, diubah dan diadaptasikan, oleh berbagai perempuan dunia dari berbagai negara, suku, ras, dan agama, dengan tujuan yang sama: memanusiakan perempuan, dan memastikan mereka tidak menjadi korban diskriminasi dan kekerasan dalam kehidupan nyata. Inilah agenda utama feminisme itu”.
“Para perempuan sekarang menikmati pendidikan dan bisa sekolah atau mesantren adalah dampak suara lantang feminisme. Perempuan bisa bekerja dan digaji sesuai profesinya, bukan jenis kelaminya juga perjuangan feminisme. PRT, atau pekerja rumah tangga, yang dulu disebut sebagai pembantu, yang kerjanya tanpa mengenal waktu, tanpa istirahat, tanpa ada kejelasan aturan gaji: siapa yang menyuarakan hak-hak mereka agar memiliki jam kerja jelas, waktu istirahat, dan aturan gaji? Adakah partai Islam, organisasi Islam, atau negara Islam yang memperjuangkan hak-hak mereka? TIDAK. Semua itu yang melakukannya adalah mereka yang mengusung agenda feminisme dunia, dari ujung Barat sampai Timur, Utara dan Selatan. Ketika semua organisasi Islam justru diam. Begitupun buruh migran, jangan harap memperoleh hak-hak perlindungan di negara-negara Islam. Karena Hongkonglah justru yang paling memanusiakan para buruh migran”.
“Ini semua adalah perjuangan feminisme, dan ini adalah Islami bukan?”
“Ya sih kang, setuju, perjuangan ini baik dan Islami. Tetapi kita tetap harus waspada dengan agenda-agenda yang datang dari Barat, seperti feminisme ini kang?”, lagi-lagi dia meragu.
“Kalau memang berasal dari Barat, lalu emang kenapa? Apa yang ditakutkan?”, tanyaku.
“Feminisme itu, katanya, yang membuat kita orang-orang Timur terjerembab pada seks bebas dan keluarga jadi berantakan. Bener nggak kang, itu yang aku dengar”, jawabnya seperti ragu.
“Begini, pertama aku tidak yakin anak-anak muda doyan seks bebas karena mereka belajar dan menganut feminisme. Mereka melakukan itu ya karena suka, dorongan nafsu libido, budaya yang permisif dalam banyak hal, atau alasan-alasan lain. Budaya di berbagai tempat di dunia, bahkan sebelum adanya Feminisme, juga banyak yang mengadopasi seks tanpa nikah, bahkan ada yang dianggap ritual: seperti ritual seks di Kemukus misalnya. Artinya, tidak perlu menunggu Feminisme untuk seks bebas. Bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Jikapun ada seorang feminis yang mempromosikan hal ini, ia bersifat individual, dan bukan jantung dari Feminisme. Karena yang utama adalah membangun kesadaran tanpa kekerasan bagi perempuan dan kerja berkesinambungan untuk pemberdayaan mereka. Dan masuknya orang-orang seperti Kyai Husein dan Bu Nyai Badriyah adalah untuk memastikan Feminisme, dengan agenda Islami memanusiakan perempuan ini, tersebar ke Umat Islam Indonesia, terutama pesantren tidak bercampur dengan seks bebas. Gitu loh ngeliatnya…….”, kataku.
“Begitupun keluarga berantakan bukan karena feminisme, tetapi karena pasangan itu sejak awal tidak memiliki visi dan tujuan bersama yang mengikat mereka, secara tidak memiliki pilar-pilar yang dijaga secara kokoh. Mereka menikah ya karena dorongan orang lain, sudah tidak sabar, sekedar menjauhi zina, dapat seks halal, sudah cukup usia, tanpa ada pijakan yang mengokohkan ikatan rumah tangga mereka. Sehingga ketika terjadi tantangan tertentu, tidak ada visi atau pilar yang memandu mereka bagaimana mengelolanya. Yang terjadi adalah luapan emosi, depresi, stress, atau bahkan kekerasan, sehingga mengarah pada perceraian. Jikapun tidak bercerai, kehidupan mereka hampa, tidak bermakna, dan mungkin nestapa. Justru feminisme menguatkan agar seseorang, terutama perempuan, sejak awal menikah itu perlu kesadaran diri yang penuh, punya visi pernikahan jelas, bersedia membangun kesepakatan bersama, dan berkomitmen untuk tidak saling melakukan kekerasan, melainkan saling mendukung, menopang, dan membahagiakan”, tambahku lagi.
“Okey kang, terimakasih banyak, setidaknya aku mampir dapat berkah ilmu nih.. Aku pamit yaaa”, kata Sofwan mengakhiri sowannya dan bermaksud pulang ke kota asalnya.
“Barakallahu lakum fi kulli hayatikum. Sukses ya bisnis kamu, insya Allah....”, jawabku mengakhiri perjumpaan ini. []