• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Mempertemukan Islam dengan Feminisme

Mengingat pesan Habib Ali Al-Jufri, saat ini yang terpenting ialah kita membutuhkan muslim yang berani membela hak-hak perempuan dan faqih dalam urusan agama, bukan muslim yang membela “Islam” tetapi justru mengabaikan penderitaan perempuan.

Ayu Rikza Ayu Rikza
06/01/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Feminisme

Feminisme

645
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Kalau jadi muslim, muslim saja. Tidak usah jadi feminis segala. Memperjuangkan perempuan tidak harus menjadi feminis, kok!” Begitulah komentar seorang teman tepat setelah saya menulis artikel berjudul “Menjadi Muslim Feminis Itu Berat, Tapi Jangan Hanya Aku Saja” di mubadalah.id bulan lalu.  Mereka mencibir saya seolah-olah saya memaksa Islam untuk melegitimasi feminisme yang saya perjuangkan dan menuduh saya menafikan bahwa Islam telah sempurna sejak diturunkan.

Komentar tersebut tentu saja hadir atas skeptisnya seseorang akan pertemuan Islam dan feminisme. Sebagaimana yang telah saya sampaikan di tulisan sebelumnya, feminisme dianggap paham yang kebarat-baratan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai. Dengan begitu mengimani feminisme dituduh menyimpang dari ajaran Islam yang kamil ini.

Pada dasarnya, feminisme sendiri—menurut Kiyai Husein Muhammad, salah seorang ulama perempuan—adalah gerakan untuk membebaskan perempuan dari kekerasan dan subordinasi dengan tujuan guna menciptakan suatu keadilan.

Definisi ini dinilai oleh Kiyai Husein sangat Islami dan selaras dengan salah satu misi profetik (misi yang diajarkan nabi) yakni misi pembebasan manusia dari cengkeraman kebodohan dan penindasan. Artinya, masyarakat muslim harus memelihara semangat membangun generasi yang adil dan membangun kemanusiaan itu sendiri dan salah satunya lewat feminisme.

Sebelum saya dan mungkin pembaca, Neng Dara Affiah telah lebih dahulu menghadapi dilema antara memilih Islam dan feminsime ini. Tentu saja ia juga tidak mampu untuk meninggalkan ajaran Islam sebab hal tersebut memang terasa seperti pengkhianatan baginya. Menanggalkan feminisme juga bukan opsi yang tepat untuk membantunya dalam aktivisme pembebasan perempuan.

Baca Juga:

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

Tafsir Sakinah

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Islam Menolak Kekerasan, Mengajarkan Kasih Sayang

Neng Dara Afifah pun akhirnya mempertemukan keduanya dengan membuka dialog dengan melaksanakan sebuah metode hibridisasi antara Islam dan feminisme. Hibridisasi di sini berarti bahwa Neng Dara mendasarkan feminisme pada Alquran dan hadis serta fikih, tetapi dengan interpretasi yang anti-mainstream.

Musdah Mulia, penulis buku “Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan”, juga mengalami hal yang sama. Feminisme di masyarakat kita bagi beliau telah dianggap menyalahi budaya Indonesia, melawan kodrat, membenci laki-laki, mengajarkan pemberontakan perempuan terhadap kewajiban rumah tangga, hingga memicu penolakan terhadap hukum syariat sehingga menghasilkan ketegangan cukup hebat dengan kelompok fundamentalis Islam.

Padahal, tuduhan-tuduhan berbau logika generalisasi itu tidaklah semuanya tepat. Musdah berpendapat bahwa esensi perjuangan feminisme sama dengan perjuangan untuk memanusiakan manusia. Yakni, untuk untuk menciptakan makhluk bermoral dengan menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban, keadilan, kesetaraan, kebebasan, perdamaian, dan kesejahteraan.

Musdah pun menjawab nyinyiran tersebut dengan menghadirkan feminisme Islam dan menggunakan konsep-konsep tauhid (keesaan Tuhan), khalifah fil ardh (agen moral), dan amar makruf nahi munkar (memeluk kebajikan, menolak kebatilan) ketika membahas isu feminisime dalam Islam.

Senapas dengan Neng Dara dan Musdah, dalam pidato pengukuhan guru besarnya, Alimatul Qibtiyah menulis bahwa para feminis muslim pada dasarnya beraspirasi menggugat semangat beragama konservatif yang tidak sejalan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Seperti perempuan yang sering dinilai sebagai status orang kedua oleh masayarakat yang dikuatkan oleh pemahaman tekstual yang konservatif dan diamini begitu saja. Padahal Islam sendiri hakikatnya telah menempatkan perempuan seimbang dan setara dengan laki-laki.

Oleh karenanya, startegi gerakan feminis muslim menurut Alimatul bersifat silent revolution. yakni dengan mempromosikan, mempertanyakan, memaknai ulang dan menginternalisasikan keadilan dengan mempertimbangkan konteks yang ia hadapi.

Secara metodologis, para feminis muslim memakai pendekatan sejarah dan hermeneutika dalam membaca juga menafsirkan ulang ayat-ayat suci untuk membongkar pemahaman bias gender dan patriarkal yang sudah mapan dalam budaya masyarakat Indonesia.

Selain itu, feminis Muslim juga menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani dalam melihat feminisme melalui perspektif Islam. Bayani mengacu pada landasan normatif baik dari ayat Al-Qur’an dan hadis, sedangkan burhani mengacu pada ilmu pengetahuan dan fenomena empiris. Sementara irfani berarti hati nurani atau nilai-nilai kemanusiaan.

Berbeda dengan keempat tokoh di atas, dua tokoh baru dalam perjuangan kesetaraan gender Islam di Indonesia justru lahir dengan tanpa menggunakan istilah “feminisme”. Pertama, Faqihuddin Abdul Kodir dengan tawaran metode mubadalahnya, yakni usaha untuk mengungkapkan pesan utama dari suatu teks yang dijadikan sumber hukum, baik yang berbentuk umum tapi bias salah satu kelamin, atau yang khusus laki-laki di mana perempuan tidak disapa dan sebaliknya, menjadi teks yang bisa diaplikasikan ke dua jenis kelamin.

Kedua, Nur Rofi’ah dengan teori keadilan hakikinya yang dirumuskan dengan tidak menjadikan kelompok lebih kuat sebagai standar bagi kelompok lemah dalam sebuah relasi, tetapi mendudukkan keduanya sebagai subjek penuh sehingga kondisi dan kebutuhan spesifik pihak yang lebih lemah bisa terakomodasi. Dalam hal ini, Nur Rofi’ah betul-betul menekankan pada pentingnya pengalaman biologis dan diskriminasi gender yang dialami oleh perempuan dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengambilan suatu hukum.

Melihat dari berbagai proses pendialogan Islam dan feminisme—atau perjuangan kesetaran gender—kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada satu definisi pasti mengenai bagaimana feminisme Islam itu sendiri. Saya sendiri sepakat dengan apa yang Neng Dara Afifah katakan, bahwa muslim tidak harus mengikuti satu aliran feminisme tertentu.

Sebab jika kita mengikuti jenis feminisme tertentu, mungkin kita tidak akan menemui jalan tengah feminisme dengan keimanan Islam. Feminisme perlu dilihat secara keseluruhan, barulah kita akan dapat menemukan keselarasan di antara kedua hal yang sering dibersitegangkan ini.

Lantas, sampai mana sebetulnya batas titik temu antara feminisme dan Islam ini? Mengambil dari hasil keputusan Bahsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur pada tahun 2005 bertempat di Pondok Pesantren Sidogiri, kesetaraan gender dalam Islam diperbolehkan dalam sembilan hal berikut.

Yakni, sifat-sifat insayniyah; kewajiban menjalankan agama baik akidah dan syariat; pendidian dan akhlak; perlindungan jiwa; sanksi (uqubah); pengetahuan/ilmu; hukum, akad (transaksi), dan pengelolaan harta; peran serta dalam perjuangan Islam; dan bidang, hukum, akad, dan aktivitas qauliyah dan maliyah seperti donasi, hadiah, wasiat, dll.

Kesetaraan gender yang berhubungan selain hal-hal yang telah disebutkan dihukumi bid’ah mazmumah (tercela) hingga kufur oleh majelis ini dikarenakan menyimpang dari ajaran ahlus sunnah wal jama’ah. Namun bagi penulis, hasil bahsul masail ini masih bisa didiskusikan kembali dalam perspektif yang lebih modern.

Tentu saja dinamika pemikiran feminisme atau kesetaraan gender dalam Islam yang telah penulis sebutkan ini pada akhirnya kembali kepada kita sebagai seorang individu untuk melihat apa itu feminisme/kesetaraan gender dalam Islam dan sampai sejauh mana ia dapat bertemu. Pertanyaan ini sangatlah terbuka dan jawabannya tidaklah final.

Namun mengingat pesan Habib Ali Al-Jufri, saat ini yang terpenting ialah kita membutuhkan muslim yang berani membela hak-hak perempuan dan faqih dalam urusan agama, bukan muslim yang membela “Islam” tetapi justru mengabaikan penderitaan perempuan. Wallahu a’lam bissawab wailaihil marji’ wal maab. []

Tags: feminismeislamKesetaraan GenderMuslimah Feminisulama perempuan
Ayu Rikza

Ayu Rikza

A herdswoman in the savannah of knowledge—but more likely a full time daughter and part time academia.

Terkait Posts

Konten Kesedihan

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

3 Juli 2025
SAK

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

2 Juli 2025
Wahabi Lingkungan

Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

2 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Menstruasi

Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

2 Juli 2025
Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Menstruasi

    Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu
  • Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID