Mubadalah.id – Indonesia tercatat sebagai fatherless country ketiga di dunia. Masyarakat, khususnya anak-anak merasa ada kekosongan peran dan figur ayah dalam kehidupan sehari-hari. Lantas bagaimana Islam memandang fenomena fatherless?
Fatherless merupakan kondisi dimana anak maupun keluarga tidak dapat merasakan peran dan kehadiran ayah.
Stigma di masyarakat yang hanya mewajibkan seorang suami sekaligus ayah untuk bekerja sebagai pencari nafkah. Seringkali mengesampingkan tugas pengasuhan yang seharusnya menjadi tugas bersama antara ayah dan ibu.
Ketidakhadiran sosok ayah dalam pengasuhan akan berdampak pada kondisi psikis dan psikologis anak.
Father Hunger sebagai dampak dari Fatherless
Melansir dari beberapa penelitian, fenomena fatherless country dapat memunculkan fenomena sosial baru yang cukup ekstrim yaitu father hunger atau kelaparan ayah. Anak yang mengalami father hunger akan mengalihkan kebutuhannya melalui pelampiasan yang justru menimbulkan masalah baru yang berbahaya.
Perlu adanya keseimbangan antara peran ayah dan ibu dalam pengasuhan sehingga anak merasa utuh dalam pemenuhan kebutuhannya. Peran ayah dalam keluarga seringkali hanya tergambar sebagai figur pencari nafkah.
Bahkan jika ada seorang suami yang terlibat dalam pengasuhan maka akan muncul stigma baru bahwa istrinya tidak becus mengurus anak sehingga memerlukan bantuan dari suaminya.
Masyarakat kita memang sering mengglorifikasi stigma tersebut. Misalnya, “Ayah baru pulang kerja, capek. Sini main sama ibu saja”. Namun, kita tidak bisa menyalahkan setiap ayah atas fenomena ini. Budaya patriarki lah yang memposisikan kedudukan semacam ini.
Fatherless dalam Kacamata Islam
Dalam Islam, pengasuhan meliputi tugas ayah dan ibu. Contoh pengasuhan langsung dari figur ayah tertuang jelas di Alqur’an dalam QS. Lukman secara utuh. Surat tersebut berisi tentang nasihat-nasihat dari Lukman seorang ayah kepada anaknya.
Dalam Qs. Lukman berisi tentang nasihat Sayyidina Lukman al-Hakim kepada anaknya. Nasihat yang sarat akan nilai-nilai tersebut menjadi bukti bahwa dialog antara anak dengan ayahnya sudah ada dalam Islam. Berikut salah satu ayat dalam surat Lukman yang berisi tentang nasihat seorang ayah kepada anaknya (Qs. Lukman ayat 17).
يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ – ١٧
Artinya: Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.
Dialog antara Sayyidina Lukman dengan anaknya mengandung nilai tauhid, ibadah, muamalah, dan akhlak. Sayyidina Lukman memberikan nasihat dengan cara yang sangat lembut, penuh kasih sayang, tulus dari lubuk hati yang dalam, tanggung jawab, penuh keteladanan, dan menggunakan bahasa yang sederhana. Sayyidina Lukman memberi nasihat kepada anaknya dengan melihat kondisi, situasi, kemampuan, dan psikologis anak.
Solusi dari Fenomena Fatherless
Namun tenang saja, fenomena fatherless country dapat diatasi. Media sosial sekarang banyak yang mengangkat isu fatherless untuk meminimalisirnya. Semakin banyak pasangan suami istri yang sadar akan tugas pengasuhan anak maka kebutuhan lahir batin anak Insya Allah akan terpenuhi.
Ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan oleh seorang ayah dalam pola pengasuhan. Misalnya, membantu anak dalam menyelesaikan masalah, menjadi teman bermain bagi anak, dan mengajarkan anak tentang perilaku sehari-hari.
Selain itu, seorang ayah dapat membantu menyiapkan dan membimbing anak dalam menghadapi tantangan masa depan. Masih banyak lagi keterlibatan seorang ayah dalam pengasuhan anak.
Tugas menyusui adalah fitrah perempuan (istri) yang mana suami tidak bisa menggantikan. Namun, dalam tugas pemenuhan asupan, seorang suami bisa melakukannya melalui cara yang lainnya. Bagi ibu menyusui, seorang suami adalah asi booster baginya. Kehadiran dan keterlibatan suami dalam pengasuhan anak dapat meningkatkan kebahagiaan istri sehingga asi yang keluar juga lebih berkualitas.
Dengan demikian, tugas pengasuhan adalah tanggung jawab bersama antara suami dan istri yang tidak bisa lepas begitu saja dengan alasan yang sebenarnya masih bisa diusahakan. Ini bukan masalah kuantitas, melainkan kualitas.
Meskipun waktu seorang ayah dengan anak itu sedikit, namun ayah dapat memaksimalkannya. Maka muncul istilah quality time yang dapat memberikan kontribusi pola asuh antara ayah dan ibu meskipun dengan waktu yang terbatas. []