Mubadalah.id – Di tengah kemajuan zaman yang semakin pesat, kebutuhan akan ruang aman menjadi hal yang paling mendasar dalam kehidupan seorang anak. Dalam Islam, anak dipandang sebagai amanah yang harus dijaga dan dilindungi, baik secara fisik, psikis, intelektual, maupun martabatnya.
Keluarga, sebagai lingkungan terdekat, sebaiknya bisa menjadi tempat paling aman, baik secara fisik, psikologis, dan emosional. Namun, sangat disayangkan jika di dalam keluarga justru menjadi sumber trauma dalam hidup seorang anak.
Merujuk data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat bahwa sepanjang Januari hingga Juni 2024, terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah tersebut, 5.552 adalah korban anak perempuan dan 1.930 anak laki-laki. Yang lebih mencemaskan, kekerasan seksual menempati urutan pertama sebagai jenis kekerasan dengan korban terbanyak sejak 2019.
Sebagian besar kekerasan seksual terhadap anak terjadi di ranah personal, dan mayoritas korbannya adalah perempuan. Komnas Perempuan mencatat bahwa dari 2.363 kasus kekerasan terhadap perempuan, inses termasuk dalam kategori kekerasan seksual personal dengan jumlah tertinggi.
Apa Itu Inses?
Melansir dari Metrotvnews.com, Gillian Harkins dari University of Washington dalam buku The International Encyclopedia of Human Sexuality (2015) mendefinisikan inses sebagai hubungan seksual, erotis, atau perkawinan antar anggota dalam satu kelompok kekerabatan (kinship group).
Larangan terhadap inses bukan hanya datang dari ajaran agama, tetapi juga dari norma sosial, budaya, hingga hukum positif. Karena ia melanggar nilai-nilai moral yang fundamental dalam masyarakat.
Dalam ajaran Islam, pernikahan atau hubungan seksual sesama mahram dilarang keras dan digolongkan sebagai perzinahan.
Achmad Subakti dalam tulisannya di jombang.nu.or.id menyebutkan bahwa di antara berbagai bentuk zina, inses merupakan perilaku dengan dosa terbesar. Para ulama pun secara serentak dan sepakat mengharamkan praktik ini.
Secara hukum positif Indonesia, larangan inses diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pasal ini secara gamblang menyatakan larangan pernikahan bagi pasangan yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas, saudara sekandung, sepupu, mertua, menantu, hingga saudara persusuan.
Bahaya Inses Bagi Kesehatan dan Kehidupan Anak
Dari perspektif kesehatan, inses menimbulkan banyak bahaya dan kemudaratan. Melansir dari laman Halodoc, inses dapat menyebabkan kelainan genetik pada keturunan, risiko tinggi cacat lahir, sistem imun yang lemah, hingga risiko kematian.
Mirisnya, tidak sedikit keluarga memilih bungkam dan tidak melaporkan kasus inses karena menganggapnya sebagai aib keluarga. Padahal, dampaknya terhadap korban, terutama anak Perempuan sangatlah besar. Korban mengalami luka psikologis, tekanan sosial, hingga trauma jangka panjang yang menghancurkan masa depan mereka.
Padahal, Islam sendiri memposisikan manusia sebagai khalifah fil ardl yang seharusnya memberikan kebermanfaatan bagi sesama. Jika masa depan anak dihancurkan dengan kekerasan, bagaimana mereka bisa menjalankan peran tersebut?
Kasus Viral Grup Facebook Fantasi Sedarah
Salah satu kasus kekerasan seksual inses yang viral akhir-akhir ini adalah grup Facebook “Fantasi Sedarah”. Grup ini menjadi platform bagi para pelaku untuk berbagi konten dan pengalaman inses yang dilakukan di ruang digital. Yang lebih memprihatinkan, mereka bahkan memperjualbelikan foto atau video tersebut dengan dalih menambah pemasukan.
Maria Ulfah Anshor, Komisioner Komnas Perempuan, dalam wawancara terbaru yang dari laman Kompas.com, menyebutkan bahwa fenomena ini hanyalah fenomena gunung es. Mengingat puluhan ribu anggota grup tersebut, tidak menutup kemungkinan jumlah korban jauh lebih banyak. Terlebih dengan berbagai hambatan dalam proses pelaporan kasus kekerasan seksual inses.
Bahkan, ia menegaskan bahwa inses adalah bentuk kekerasan seksual yang paling berbahaya karena terjadi di ruang paling dekat dengan korban yaitu keluarga.
Maka dari itu, Komnas Perempuan mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk meningkatkan pengawasan di ruang digital. Hal ini guna mencegah penyebaran konten kekerasan seksual anak secara sistematis, cepat, dan ramah terhadap korban.
Selain itu, Maria Ulfah juga mengajak seluruh masyarakat untuk menciptakan ruang aman bagi anak, baik di dalam keluarga maupun di platform digital.
Menciptakan Ruang Aman dari Rumah
Menciptakan ruang aman bagi anak adalah tanggung jawab bersama. Maka dimulai dari rumahlah, kerja sama orang tua dalam mendidik anak menjadi sangat penting. Bahkan edukasi mengenai kesehatan reproduksi, pemahaman batasan tubuh yang boleh disentuh, dan konsep consent (persetujuan) harus diajarkan sejak dini.
Keluarga, sekolah, hingga masyarakat luas harus mulai peka terhadap pentingnya pendidikan seksualitas, jenis-jenis kekerasan, dan perlindungan terhadap anak. Sudah bukan saatnya lagi menganggap hal-hal ini tabu untuk dibicarakan, mengingat angka kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender yang terus meningkat.
Terakhir, anak tidak bisa memilih di mana ia dilahirkan, tetapi kita sebagai orang dewasa memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak mereka. []