Mubadalah.id – Awal 2025, berita Indonesia mengabarkan kasus mengejutkan kekerasan yang mengarah pada pembunuhan anak oleh orang tua (filisida). Siapa yang tak iba sekaligus geram saat balita berumur 3 tahun 9 bulan di Bekasi ditemukan tewas setelah mengalami penganiayaan oleh kedua orang tuanya sendiri.
Penyebabnya lantaran perilaku sang anak yang mereka anggap sangat mengganggu dan merepotkan. Sehingga memantik emosi kedua orang tuanya yang kemudian tega melakukan kekerasan saat kejadian di malam hari. Nahasnya, esok paginya anak tersebut tewas dan orang tuanya kabur meninggalkannya.
Kejadian tragis yang menimpa korban di Bekasi hanyalah pucuk gunung es dari kasus yang sebetulnya telah banyak terjadi. Desember 2024 lalu, peristiwa nahas juga terjadi oleh seorang suami yang membunuh istri dan anaknya, yang kemudian sang suami juga bunuh diri setelah berhasil membunuh istri dan anak. Penyebabnya, lantaran suami terlilit utang pinjaman online dan judi online.
Jika menengok data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan sebanyak 19.626 kasus kekerasan pada anak terjadi di Indonesia pada tahun 2024. Hampir 20.000 kasus kekerasan anak sepanjang 2024, sebanyak 15.240 korban merupakan anak perempuan. Sementara, 6.406 kasus lainnya terjadi pada korban anak laki-laki. Kasus-kasus tindakan kekerasan ini beberapa di antaranya mengakibatkan korban meninggal.
Catatan KPAI juga menjabarkan bahwa setidaknya ada 5-6 kasus terjadi tiap bulan. Pada 2024, setidaknya 60 kasus filisida terjadi di Indonesia. Melihat data sebanyak itu, semua pihak dan masyarakat tentu tidak bisa membiarkannya begitu saja terjadi, bukan? Kasus-kasus yang bermunculan tentu menjadi alarm keras bagi semua pihak untuk merasa prihatin terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi utamanya dalam relasi keluarga.
Rasa Kemanusiaan yang Hilang
Kasus kejahatan yang mengakibatkan pembunuhan telah melanggar prinsip maupun nilai kemanusiaan. Kesulitan yang terjadi dalam keluarga seharusnya bisa tertangani tanpa membuat nyawa seseorang melayang.
Dalam konteks filisida, UU perlindungan anak pasal 20 menyebutkan bahwa keluarga terutama orang tua adalah pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan perlindungan anak. Tapi, alih-alih komitmen awal orang tua dalam membangun keluarga untuk melindungi dan merawat, justru mereka lah pelaku kekerasan yang berujung pada pembunuhan.
Mengutip ungkapan psikolog Ratna Yunita Setiyani Subardjo dalam Kompas.com, ada beberapa faktor penyebab orang tua melakukan pembunuhan terhadap anaknya. Di antaranya yakni, orang tua ingin mencegah penderitaan nyata maupun hanya khayalan semata, gangguan mental dan psikotik, tidak menginginkan kehadiran anak, emosi yang tidak terkendali, bahkan bentuk balas dendam.
Tentu, jika melihat fakta di lapangan, banyak sekali aspek dan faktor penyebab sehingga orang tua melakukan tindak kekerasan. Faktor tekanan sosial, ekonomi, pendidikan, dan psikis mengakibatkan orang tua kesulitan dalam mengurus dan mempertahankan keluarganya. Dengan demikian, saat kasus mulai merebak, masyarakat kita perlu belajar sekaligus menyadari bahwa memiliki anak butuh banyak kesiapan kedua orang tua.
Bahkan saat sebelum melangsungkan pernikahan itu sendiri. Sebab jika pada akhirnya anak yang tidak berdaya menjadi pelampiasan—hanya menambah permasalahan lain pada keluarga yang berdampak pada hilangnya moralitas kemanusiaan itu sendiri. Kejadian seperti ini tidak bisa dinormalisasi dan sama sekali bukan menjadi jalan keluar.
Islam Melarang Keras Filisida
NU Online mengabarkan dalam artikel Marieke Liem dan Frans Koenraadt berjudul “Filicide: A comparative Study of maternal versus paternal child homicide” bahwa pada beberapa abad lalu, banyaknya kasus filisida hanya untuk mengontrol ukuran keluarga dan menyingkirkan anak-anak yang lemah, abnormal, cacat, atau tidak sah, serta untuk membatasi jumlah perempuan.
Pada masa jahiliyah misalnya, praktik patriarki begitu kuat. Tradisi mengubur atau membunuh anak kerap terjadi bahkan mereka juga menormalisasi. Termasuk pada saat itu banyak sekali terjadi pembunuhan hidup-hidup anak perempuan. Dengan berbagai alasan, termasuk takut miskin, rasa malu, dan mereka yang mempercayai bahwa anak perempuan tidak memiliki nilai dan kebermanfaatan bagi mereka.
Merujuk pada dalil surat al-Isra’ ayat 31 bahwa Islam melarang keras adanya praktik filisida. Artinya, “Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan (juga) kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka itu adalah suatu dosa yang besar”.
Salah satu faktor ekonomi yang menjadi penyebab orang tua melakukan filisida ditentang oleh al-Qur’an. Allah adalah pemberi rezeki bagi setiap makhluk, termasuk anak-anak yang terlahir ke dunia. Ayat ini juga menegaskan bahwa sebagai hamba-Nya kita perlu berusaha, berdoa, dan bertawakal kepada Allah sebagai dzat yang memberi rezeki.
Begitu pula, kepercayaan masyarakat yang mengatakan, “setiap anak itu memiliki rezeki masing-masing, kita tak perlu terlalu takut, rezeki akan datang melalui jalannya sendiri”. Konteks seperti ini setidaknya bisa kita pegang untuk semangat dan dorongan mengasuh anak dengan cara yang baik.
Prinsip Ma’ruf dan Mubadalah Menanggapi Kasus
Menanggapi, mencegah maupun menanggulangi kasus filisida baiknya berbagai pihak bersama-sama ikut serta menindaknya. Prinsip mubadalah (kesalingan) dapat dilakukan melalui kerja sama berbagai pihak, baik negara, pemerintah, organisasi dan komunitas, maupun masyarakat sendiri.
Dalam kesadaran penuh untuk kepentingan menindaklanjuti kasus yang sudah banyak terjadi. Begitu pula, relasi antara orang tua dan anak harus berlandaskan nilai-nilai kebaikan bukan semata kekuasaan dari tindakan kesewenangan orang tua.
Dalam berbagai sektor, negara harus memprioritaskan program kerja untuk menuntaskan berbagai masalah kedaruratan anak. Instrumen pencegahan tercantum dalam UU Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak. Di antaranya hak ibu dalam pasal 4 dan hak anak dalam pasal 11 untuk memperoleh kesejahteraan sosial.
Payung hukum melalui UU tersebut, pemerintah, maupun seluruh pihak dengan sigap perlu kembali meningkatkan kesadaran dan komitmen keseriusannya dalam melindungi hak hidup anak. Begitu pula, KPPA sebagai leading sector urusan ibu dan anak harus aktif mengonsolidasi pemerintah daerah. Langkah utamanya dalam beberapa rekomendasi—dengan memperkuat dukungan sosial dan ekonomi bagi keluarga, terutama bagi kelompok rentan.
Pentingnya edukasi calon orang tua mengenai pengasuhan anak, pengendalian emosi, serta kesadaran mengasuh anak perlu menjadi bekal utama. Pemerintah dan masyarakat dapat bekerja sama menyediakan akses terhadap layanan konseling, dukungan psikologis, ketahanan kesehatan mental. Supaya calon dan para orang tua tidak merasa tertekan hingga nantinya dapat melakukan tindakan fatal.
Dengan demikian, kerja-kerja pengasuhan anak maupun relasi pasangan penting untuk teguh pada komitmen yang berlandaskan pada prinsip ma’ruf (kebaikan) maupun mubadalah itu sendiri. Hal ini selaras saya kira jika kita membaca kutipan Nur Rofi’ah dalam konten keluarga maslahat.
“Manusia juga mempunyai amanah melekat sebagai khalifah fil ardl dengan mandat mewujudkan kemaslahatan di muka bumi. Karenanya, laki-laki maupun perempuan dalam keluarga maslahah sama-sama memiliki tanggung jawab mewujudkan kemaslahatan, baik di dalam maupun di luar rumah seluas-luasnya.” []