Mubadalah.id – Setelah beberapa waktu lalu film Indonesia heboh karena gagal me-remake dari drama Korea. Fomo untuk menyajikan alur mirip drama Korea ternyata tidak membuat masyarakat tertarik. Nah, sekarang film produksi Indonesia mulai masif mengangkat film dari kisah nyata.
Film Layangan Putus, Ipar adalah Maut, dan yang terbaru adalah Norma. Alur ketiga film tersebut semua tentang perselingkuhan, mirip dengan tayangan sinetron TV yang selama ini kita tonton dalam keseharian, atau istilahnya drama Indosiar.
Perbedaannya terkemas dalam sebuah film dengan dalih diangkat dari kisah nyata, bukan serial sinetron. Tentu saja jargon, ‘diangkat dari kisah nyata’ mampu membuat masyarakat terbujuk rayu untuk meramaikan penayangannya di bioskop. Meski alur ceritanya sama saja dengan gosip tentang pihak ketiga yang menjadikan sebab konflik rumah tangga, yaitu penggambaran pihak superior dan inferior, sosok kuat dan lemah.
Menilik Dampak Menonton Film dengan Tema Tertentu
Dampak Psikologis akibat sering menonton film perselingkuhan adalah rasa cemas. Karena Film perselingkuhan sering menggambarkan pengkhianatan, kebohongan, dan konflik emosional yang bisa memicu rasa cemas, marah, atau bahkan trauma tersendiri bagi yang pernah mengalami hal serupa.
Seringnya menonton tayangan perselingkuhan, bisa mengakibatkan normalisasi tentang perselingkuhan yang jelas melanggar norma dan etika. Jika ditampilkan secara glamor atau romantis, film semacam ini bisa membuat perselingkuhan terlihat “biasa” atau bahkan “menarik,” dan bisa mempengaruhi persepsi penonton tentang hubungan yang sehat dengan pasangan. Justru orang merasa tertantang untuk melakukannya, karena terpancing memiliki harta secara instant, sekalipun pada orang yang sudah memiliki pasangan sah.
Dampak lainnya bagi para penonton adalah gangguan kecemasan berupa over thinking. Setelah menonton, beberapa orang bisa lebih curiga atau krisis kepercayaan kepada pasangannya. Penonton akan menjadi uring-uringan di kehidupan nyata tanpa alasan yang jelas, karena energi pikirannya tersedot dalam mengikuti alur film yang ia tonton masih menempel dalam ingatannya.
Sebaliknya, film ini juga bisa jadi cermin untuk penonton mengevaluasi hubungan mereka dengan pasangannya. Apakah ada komunikasi yang kurang, atau perasaan yang tidak tersampaikan. Jika sering menonton tanpa konsekuensi yang realistis, film perselingkuhan bisa mengubah pandangan masyarakat tentang kesetiaan dan komitmen. Menonton film perselingkuhan memiliki dampak positif namun hanya sedikit. Yaitu memicu obrolan soal hubungan, batasan, dan pentingnya komunikasi dalam menjaga komitmen.
Cancel Culture
Ketika beberapa waktu lalu terjadi peristiwa cancel culture dalam sebuah film, namun alasan cancel culture tersebut tentang normatif perilaku pemainnya, bukan tentang substansi alur film yang tidak mencerminkan potret masyarakat Indonesia. Bahkan alasan substansi yang berkualitas tidak tersampaikan terkait mengapa film tersebut menjadi tidak layak kita tonton.
Budaya cancel culture bermula di Amerika Serikat, ada gerakan yang namanya Me Too Movement ketika banyak para perempuan yang mendapat pelecehan seksual akhirnya speak up di dunia entertainment di Amerika.
Bill Cosby, aktor salah satu yang mendapatkan cancel culture, sebagai salah satu pelaku pelecehan. Walaupun dia pionir di dunia entertainment Amerika, ternyata telah puluhan tahun ketahuan bahwa dia melakukan ruda paksa dengan menggunakan obat tidur pada korbannya.
Cancel culture bisa kita anggap sebagai kontrol di dunia hiburan agar artis tidak bersikap seenaknya dan sombong, termasuk kepada para fansnya. Para artis harus menjaga sikapnya dengan tidak ofensif terhadap ras, agama, untuk menghindari cancel culture yang bisa merugikan karirnya.
Seharusnya masyarakat Indonesia memiliki literasi bahwa sebuah film mana yang layak untuk tayang. Apabila film tersebut berdampak pada pergeseran nilai, maka idealnya film tersebut tidak laris dan rumah produksi tidak lagi memproduksi alur serupa.
Sayangnya masyarakat kita, masih sangat menyukai film yang mereka anggap relate dengan kehidupannya. Yaitu perselingkuhan dan horor. Drama sensasi memaki pelaku penyebab keretakan rumah tangga bahkan terbawa ke dalam kehidupan real dengan cara pandang melihat orang di sekitarnya apabila terjadi perceraian.
Stigma negatif pada perempuan yang menjadi korban tetap disalahkan sebagai pemicu keretakan dan dianggap kurang maksimal dalam pelayanan pada pasangan. Selain itu memaki pelaku yang sering tergambarkan dalam sosok perempuan berdampak menyamaratakan pada pelaku dengan simbol pakaian pada aperempuan lainnya.
Fenomena Film Indonesia dari Tahun ke Tahun
Masifnya film Indonesia yang hanya berkutat di film horor dan isu rumah tangga masih menjadi daya tarik masyarakat. Hal ini mengakibatkan produksi film stagnan dan hanya berkutat pada dua genre tersebut. Maka jangan heran jika sumber daya masyarakat kita tetap minim literasi, karena tayangan yang menjadi konsumsi hanyalah tentang horor dan perselingkuhan.
Fenomena film Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan yang cukup pesat, baik dari segi kualitas produksi, jumlah penonton, maupun ragam genre yang diangkat. Berikut adalah beberapa poin menarik tentang fenomena ini:
Setelah masa pandemi yang cukup menghantam industri film, Indonesia berhasil bangkit dengan cepat. Tahun 2022–2024 mencatat lonjakan penonton bioskop lokal, menandai kembalinya minat masyarakat terhadap film nasional.
Setelah masa pandemi yang cukup menghantam industri film, Indonesia berhasil bangkit dengan cepat. Tahun 2022–2024 mencatat lonjakan penonton bioskop lokal, menandai kembalinya minat masyarakat terhadap film nasional. Platform seperti Netflix, Vidio, dan Disney+ Hotstar memberi panggung baru bagi sineas lokal. Banyak film dan serial eksklusif Indonesia diproduksi untuk penonton global, membuka jalan ke pasar internasional.
Film-film seperti : KKN di Desa Penari (2022), Pengabdi Setan 2: Communion (2022), Siksa Kubur (2024), dan yang terbaru adalah Pabrik Gula (2025) mampu meraih jutaan penonton hanya dalam hitungan minggu. KKN di Desa Penari bahkan mencetak rekor sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa dengan lebih dari 10 juta penonton.
Genre horor menjadi primadona. Banyak film horor lokal berhasil menggugah rasa penasaran dan emosi penonton, sering kali dengan latar budaya lokal yang kental, seperti mitos Jawa, Sunda, atau Kalimantan.
Akibat dari seringnya menonton horor bisa membuat seseorang kurang peka terhadap kekerasan atau penderitaan orang lain. Karena dalam tayangan film horor banyak memuat adegan sadis, kekerasan dan scene yang tidak masuk akal. Hal ini kita sebut dengan istilah desensitisasi.
Pemaknaan Nasionalisme yang Salah Kaprah
Alangkah baiknya mengangkat Film Indonesia dari novel karya anak bangsa, seperti sebelumnya Film Suhita atau Seni Memahami Kekasih. Suhita meski alur ceritanya enggak banget, seorang Gus yang tidak dipersiapkan jadi penerus pesantren, malah membebankan pada menantu perempuan, alurnya sangat “enggak banget”. Namun yang kontra dengan novelnya tetap menontonnya. Inilah jiwa nasionalisme dengan menghargai karya anak bangsa.
Film lainnya “Seni Memahami Kekasih”. Karena berteman di Faceebook, dan ceritanya mengisahkan kisah cintanya dengan Kalis Mardiasih pasangannya, maka banyak orang tertarik menontonnya. Mas Agus Mulyadi terlihat dari karyanya sangat kental merepresentasikan wong cilik.
Saat ini, masyarakat butuh tontonan berkualitas dengan pemainnya yang mau belajar dan menjadikan dirinya suri tauladan. Maka harus berhati-hati dalam mengeluarkan statemen dalam scene di film, karena hal buruk akan mudah ditiru. Misalnya, menganggap sekolah itu tidak penting. Bagaimana nanti kalau kalangan remaja menirunya. Begitupun menormalisasi perilaku buruk yang juga mudah ditiru para remaja, seperti sex before marriage.
Sempat booming beberapa film hasil dari remake drama Korea, namun ada pula yang kena boikot. Jikalau industri film tidak mampu remake, tidak perlu memaksakan diri. Per-drakoran sudah sangat maju jauh di atas serial Indonesia. Bahkan setiap pembuatannya mendapat support biaya mahal bahkan industri filmnya mendapat dukungan dari negara.
Kita akan terseok-seok jika memaksakan diri meremake-nya. Apalagi serial drama korea The Code Blue yang viral, peralatannya memakai helikopter dan alat medis lengkap.
Solusinya, mari untuk lebih sadar diri akan potensi kita. Memiliki ragam budaya, etnis, bahasa dan daerah dengan segala kekayaan alamnya, sangat bagus jika menjadi film.
Film percintaan “Ada Apa dengan Cinta”, “Heart” dan “Eiffel I’m in Love” adalah film romantis yang masih keren hingga kini. Bahkan film diangkat dari novel banyak karya anak bangsa jauh sangat berkualitas dan sarat akan nilai kehidupan, seperti film Perempuan Berkalung Sorban, Bumi Manusia, dan Kartini.
Karya film tersebut lebih menunjukkan wajah dan karakter bangsa kita. Industri Film lah yang paling bertanggung jawab dalam memilah untuk mengangkat naskah menjadi sebuah film. Produser dan Sutradara jangan ikutan fomo dan remake, sungguh tidak nasionalis dan mencerminkan jati diri bangsa. []