Mubadalah.id – Manusia memang lemah, kata Allah dalam al-Qur’an (an-Nisa, 4: 28). Dan kelemahan yang paling akut adalah ketika datang tanggung-jawab. Ia akan mencari alasan untuk menolak. Sebisa mungkin. Sekuat tenaga, ia akan melimpahkan kepada yang lain. Apa maksud From blaming to belonging?
“Buu, anakmu ee nih…”, suami yang merasa sudah dekat dengan anaknya itu memanggil sang istri. Mau melimpahkan tugas. Pengen bergantian. Sudah beberapa jam ia mengurus balitanya. Bercengkrama dan bermain. Saatnya ia limpahkan ke istri.
Sang istri yang baru saja menikmati sedikit waktu senggang dengan kopi kesukaannya tersentak. Bergegas. “Giliran ee, buu..anakmu nih…kalau sudah dimandiin dan wangi, haii… anak ayah cantik sekali”. Ia menimpali sambil mengkritik suaminya.
Itu peristiwa bisa terjadi pada siapa saja. Termasuk diriku he he…..apakah kamu-kamu juga???? Seorang bu Nyai dari Jombang bercerita: jika hasil belajar anaknya baik, suaminya akang ngomong: “Tentu dong, anak siapa dulu, anak ayah”. Tetapi ketika hasilnya jeblog, ia akan ngomong: “Kamu nggak nemenin anakmu ya, kok sampe jelek hasilnya”.
Manusia memang lemah, kata Allah dalam al-Qur’an (an-Nisa, 4: 28). Dan kelemahan yang paling akut adalah ketika datang tanggung-jawab. Ia akan mencari alasan untuk menolak. Sebisa mungkin. Sekuat tenaga, ia akan melimpahkan kepada yang lain. Jika timbul kesalahan atau kekurangan, tidak akan diakuinya. Tetapi ditimpakan kepada yang lain.
Lihatlah kelakuan anggota DPR kita. Sehari-hari sibuk mencari kesalahan di luar dirinya. Pemerintahpun sama, terutama jika krisis datang. Rakyat juga setali tiga uang. Terutama para pengamat yang merasa pejuang. Apalagi barisan sakit hati. Nyinyir setiap hari. Tetapi merasa jihad fi sabililllah seakan pahlawan sejati.
Kelakuan seperti ini yang disebut al-Qur’an sebagai zalim. Ingatkah kita pada ayat amanah, yang awalnya diberikan langit dan bumi, tetapi diterima manusia. Tetapi nyatanya kita zalim (al-Ahzab, 33: 72). Zalim: karena kita menerima mandat, tetapi pas tanggung-jawab datang; kita cari orang lain. Kepadanya, kita limpahkan. Tak segan-segan juga kita menyalahkan orang lain. Inilah kezaliman yang nyata dan kebodohan yang kentara.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya Kami telah tawarkan suatu amanah kepada segenap langit, bumi, dan gunung-gunung. Mereka semua enggan mengembannya dan khawatir (mengkhianati) amanah tersebut. Dan manusia bersedia menerimanya, padahal ia kemudian zalim dan bodoh”. (QS. Al-Ahzab, 33: 72).
Ndak usah tentang mereka, DPR atau Pemeintah. Tentang Jokowi atau Prabowo. Dan pro-pro nya masing-masing. Ndak. Tentang kita saja, masing-masing. Dalam kehidupan kecil berkeluarga. Kita juga seringkali lemah, bahkan zalim, dalam mengemban amanah berkeluarga.
Kita pengen menikah. Setelah menikah, kita malas merawatnya. Sibuk dengan seabreg kegiatan di luar rumah. Berharap semua akan baik-baik dengan sendirinya. Ketika ada riak-riak sedikit, yang sibuk dicari: kesalahan pasangannya dulu. “Dia ngapain saja selama ini”. “Jangan-jangan dia sudah…….”.
Begitulah yang terpikir dalam benak masing-masing. Suami pada istri. Istri pada suami. Apalagi jika masalah pernikahan sudah membesar, dengan mudah akan menuduh dan menyalahkan. Mudah sekali. Tanpa introspeksi. Tanpa memahami tapi ingin dipahami.
Inilah kelemahan kita. menerima amanah, tetapi tidak bertanggung-jawab. Jika ada manfaat, segera ingin dapat. Tetapi jika ada tanggung-jawab, biar orang lain yang harus menghadap. Jika tidak becus, tinggal kita salahkan saja orang tersebut.
Sungguh, kita semua perlu intropeksi diri. Merenung dan menyadari. Mengakui kelemahan, kekurangan, dan kesalahan diri masing-masing. Tanpa perlu tunjuk hidung. Lalu kembali pada komitmen awal. Komitmen menikah dan berumah tangga. Lalu bergegas untuk memulai dari diri. Memberi dan mengasihi. Inilah pesan al-Qur’an (QS. al-Ma’arij, 70: 19-24).
Pernikahan adalah keinginan berdua. Karena itu, rumah tangga adalah milik bersama. Dus, keluarga harus dipikul dengan kerjasama. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Bukan lagi anaku, atau anakmu. Tetapi anak kita.
Jika pasangan kita bilang: “Anakmu ini gimana sih, kok nakal sekali”. Kita mungkin perlu jawab: “Anak kita pah, ayo kita didik bareng agar menjadi lebih baik. Atau jika bilang: “Mobilmu butut sekali, ganti dong”. Kita bisa bantu jawab: “Mobil kita mah, ayo kita nabung bareng kalau mau ganti”. Demikianlah beralih dari kebiasaan menyalahkan ke sikap memiliki bersama. From blaming to belonging.
Termasuk jika ada persoalan rumah tangga. Mari berpikir bersama. Mulailah dari diri sendiri. Masing-masing. Memahami pasangan. Baru minta dipahami. Cari kesepakatan. Tidak kompetisi (menundukkan pasangan). Tidak juga akomodasi (menyerah pasrah dengan amarah). Tapi usahakan dan biasakan negoisasi. Sama-sama menang. Atau win-win solution. Daripada menyalahkan, ayo mencari solusi karena hubungan ini miliki kita bersama. From blaming to belonging.