• Login
  • Register
Minggu, 18 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah

Gagasan Kiai Yudian tentang Islam sebagai Proses: Berislam Ramah dalam Realitas Nusantara yang Plural

Proses berislam dalam ruang yang majemuk ini harus dapat memberi dampak kedamaian hidup bersama

Moh. Rivaldi Abdul Moh. Rivaldi Abdul
25/06/2024
in Publik
0
Islam sebagai Proses

Islam sebagai Proses

925
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Islam sebagai proses, adalah satu pandangan yang Kiai Yudian (Prof. Yudian Wahyudi) kemukakan dalam bukunya yang berjudul, Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga.

Gagasan intelektual Muslim, yang merupakan ketua BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) Republik Indonesia, ini dapat kita gunakan dalam membahas diskursus Islam Nusantara, terkait wajah Islam di tengah keragaman agama masyarakat Nusantara.

Islam Sebagai Proses

Menurut Kiai Yudian dalam Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik bahwa, “…islam adalah proses bukan tujuan.” Pandangan ini memberi kita pemahaman kalau, sikap Islami merupakan setiap proses yang mengantarkan pada keselamatan. Sebagaimana ketundukan kepada Allah SWT dengan mengikuti jalan Nabi Muhammad SAW adalah “agar mencapai salam/salamah (keselamatan atau kedamaian) di dunia dan akhirat.”

Jadi, dalam pandangan demikian, berislam seharusnya merupakan proses yang membawa manusia, beserta alam tempat tinggalnya, pada salam (keselamatan). Jika proses bukan menuju keselamatan, malah perpecahan, kekacauan, atau bencana, ya dapat kita pahami jalan hidup itu sebagai bukan suatu proses yang Islami. Sebab, Islami adalah proses yang mengantarkan pada keselamatan.

Dalam pandangan Islam sebagai proses, sebagaimana penjelasan Kiai Yudian, kehendak Allah SWT diekspresikan dalam tiga ayat. Yaitu, ayat Quraniah yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah yang ada dalam al-Qur’an dan hadis. Ayat kauniah merupakan tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di jagat raya (kosmos). Dan, ayat insaniah merupakan tanda-tanda kebesaran atau hukum-hukum Allah yang mengatur kehidupan manusia (kosmis).

Baca Juga:

Membincang Toleransi Muslim dan Kristen di Momen Idulfitri

Idulfitri, Hari Merayakan Toleransi: Sucinya Hati dari Nafsu Menyakiti Umat yang Berbeda Agama

Puasa Sebagai Perisai dari Bencana Kemanusiaan Akibat Perpecahan Antarumat Beragama

Muslim di Klenteng: Membaca Ekspresi Islam Tionghoa di Indonesia

Berdasarkan teori tiga ayat itu, kita dapat memahami bahwa keselamatan dalam Islam sebagai proses itu adalah salam baik pada tingkat Quraniah (teologis), kauniah (kosmos), maupun insaniah (kosmis).

Realitas Insaniah Nusantara yang Plural

Konteks masyarakat Nusantara termasuk pada level insaniah. Dan, realitas insaniah Nusantara adalah ruang kehidupan yang majemuk. Ya, meski secara keseluruhan mayoritas masyarakat di Indonesia adalah Muslim, namun kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa ada juga masyarakat yang non-Muslim.

Kondisi masyarakat Nusantara yang beragam menjadikan proses berislam berlangsung pada level insaniah yang plural. Islam bergelut dalam ruang historis Nusantara di mana Muslim dan non-Muslim hidup bersama. Proses berislam dalam ruang yang majemuk ini harus dapat memberi dampak kedamaian hidup bersama.

Jika yang terjadi sebaliknya, hm, maka sebagaimana pandangan Kiai Yudian kalau proses Islami bukanlah jalan yang membawa pada kehancuran. Islam sebagai proses yang membawa selamat pada tingkat insaniah, sudah banyak dicontohkan oleh para ulama Nusantara.

Seperti sikap para ulama, yang dalam sejarah perjuangan bangsa, berkompromi menghapus tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Kompromi mengubah sila; Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, menjadi; Ketuhanan yang Maha Esa, sebagai sila pertama Pancasila. Kompromi itu tidak lepas dari kesadaran realitas insaniah Nusantara yang plural.

Sejarah kompromi itu, sebagaimana Kiai Yudian dalam Jihad Ilmiah: Dari Tremas ke Harvard, adalah kompromi yang tepat namun mahal.

Mengapa begitu? Kalau perwakilan umat Islam, kala itu, tidak mau berkompromi menghapus tujuh kata, itu tidak berkeadilan kepada umat non-Muslim. Padahal, sebagaimana Kiai Yudian dalam Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik, ada hukum keseimbangan atau keadilan sosial yang perlu kita jalankan dalam bermasyarakat.

Ketidak-adilan pada level insaniah dapat membawa pada keadaan yang jauh dari salam. Jika tidak ada kompromi penghapusan tujuh kata, besar potensi ada protes dari pihak non-Muslim yang merasa tidak puas dengan perumusan dasar negara. Akhirnya, bukan keselamatan, melainkan kehancuran sebuah negara baru, tercerai-berai, akibat abai dengan realitas insaniah Nusantara yang majemuk.

Sikap Islami dalam Realitas Insaniah Nusantara

Oleh karena itu, penghapusan tujuh kata adalah kompromi yang tepat oleh para ulama kala itu. Kompromi yang merupakan bagian dari proses Islam, yang membawa pada kedamaian hidup bersama dalam sebuah negara baru yang bernama Indonesia.

Sikap Islami dalam ruang insaniah Nusantara yang plural, berdasarkan pandangan Islam sebagai proses Kiai Yudian, adalah proses berislam yang membawa pada keselamatan, kedamaian, dan keamanan hidup damai bersama. Baik kedamaian Muslim maupun non-Muslim.

Sejarah penerimaan sila pertama Pancasila, meski terkesan menghapus sila menjalankan syariat Islam, namun itu adalah suatu sikap yang Islami. Itu proses menuju salam di tengah keragaman masyarakat Nusantara yang majemuk. Jalan ketakwaan yang mengantarkan kita terbebas dari bencana kemanusiaan berupa perpecahan.

Sejarah pengahapusan tujuh kata, itu hanya satu contoh dari sekian banyak sikap Islami sebagai proses keselamatan di tengah keragaman agama. Islam Nusantara, sebagai proses berislam dalam realitas insaniah yang plural, mengidealkan ekspresi beragama yang ramah dan menghormati perbedaan. Hal ini jika kita memahami Islam sebagai proses menuju keselamatan hidup pada level insaniah.

Gagasan Kiai Yudian tentang Islam sebagai proses, menjadi semacam konsep berpikir yang mendorong pada kesadaran untuk mengedepankan wajah Islam yang ramah. Itu sebagai satu sikap Islami di mana Muslim Nusantara mampu hidup damai dengan umat agama lain.

Kesadaran berislam sebagai proses yang membawa pada jalan keselamatan hidup bersama ini, adalah penting dalam ruang insaniah Nusantara yang plural. []

Tags: Islam Nusantaraislam ramahIslam Sebagai ProsesKerukunan Antar Umat BeragamaToleransi beragamaYudian Wahyudi
Moh. Rivaldi Abdul

Moh. Rivaldi Abdul

S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada tahun 2019. S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, menempuh pendidikan Doktoral (S3) Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait Posts

Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Nenek SA

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Nyai Ratu Junti

    Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version