• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Girls, Bisakah Kita Stop Menjadi Pelaku Pelecehan Verbal di Media Sosial? 

Komentar terhadap bentuk tubuh mereka yang mengarah kepada seksualisasi juga nampak dinormalisasi oleh para penggemar perempuan

Fatimatuz Zahra Fatimatuz Zahra
07/06/2024
in Personal
0
Pelecehan Verbal

Pelecehan Verbal

775
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Baru-baru ini video vokalis Aftershine berinisial H beredar di berbagai platform media sosial. Namun sayangnya kolom komentar di konten-konten tersebut bukan berisi apresiasi terhadap musik ataupun vokal H. Ia justru menjadi korban pelecehan seksual secara verbal oleh warganet.

Komentar-komentar menjijikkan yang mengarah kepada seksualisasi terhadap sang vokalis yang kebanyakan dilontarkan oleh perempuan membanjiri akun mereka. Parahnya lagi, hal ini seperti turut didukung oleh banyak perempuan lain. Mereka seolah menikmati cara seksualisasi terhadap H melalui pelecehan verbal di kolom komentar.

Hal serupa juga sempat kutemui di kolom komentar konten-konten atlet laki-laki

Komentar terhadap bentuk tubuh mereka yang mengarah kepada seksualisasi juga nampak dinormalisasi oleh para penggemar perempuan. Padahal di waktu yang sama, para perempuan yang lain barangkali tengah berusaha sembuh dari trauma akibat pelecehan seksual.

Barangkali atas dasar hal tersebut pula, lahir komentar seperti “kalau di balik gendernya pasti langsung kita teriaki pelecehan seksual.” Karena memang yang terjadi kita seolah menetapkan standar ganda, bahwa komentar bernada seksualisasi kepada perempuan adalah pelecehan, tetapi jika kita lontarkan kepada laki-laki maka bukan pelecehan. Padahal, kepada siapapun komentar seksualisasi kita lontarkan, hal tersebut tetaplah pelecehan seksual. 

Standar ganda itu tanpa sadar di kemudian hari justru akan menjadi boomerang bagi sesama perempuan. Misalnya dalam hal pencegahan kekerasan seksual berbasis gender online (KBGO),

Baca Juga:

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

Difabel dan Kekerasan Seksual: Luka yang Sering Tak Dianggap

Bukan tidak mungkin akan ada invalidasi terhadap pelaporan KBGO melalui komentar jahat seperti “kalau pelakunya ganteng pasti nggak lapor.” Dan sejenisnya.

Empati terhadap Korban

Kita perempuan biasanya lebih mudah berempati terhadap perempuan lain yang menjadi korban kekerasan seksual. Tapi kenapa empati yang sama tidak bisa kita berikan kepada laki-laki korban kekerasan seksual? Apakah kita menganggap bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban, karena mereka pasti menikmati seksualisasi yang kita lakukan tanpa izin terhadap mereka?

Jika benar demikian, nampaknya kita perlu segera berbenah. Karena sikap tebang pilih tersebut tidak akan membawa kebaikan apapun selain justru menggerogoti gerakan kolektif perempuan dari dalam.

Di saat perempuan banyak menyuarakan pemenuhan hak seperti instrumen penegakan hukum terhadap tindak kekerasan seksual, tapi sebagian dari kita justru melanggengkan bentuk kekerasan seksual dan bahkan menjadi pelakunya.

Terlebih bagi kita perempuan yang nantinya memilih untuk menjadi orang tua untuk anak-anak kita. Akan berbahaya jika sejak mula kita menormalisasi kekerasan seksual atau bahkan menjadi pelakunya.

Ketidakpekaan kita bisa menjadikan kita lalai mendidik anak-anak kita supaya tidak menjadi pelaku kekerasan seksual dan juga tak mampu mengajarkan cara mencegah diri menjadi objek seksual oleh orang tak bertanggung jawab. Karena kita sendiri sebagai orang tuanya tak memiliki pemahaman yang baik untuk memberikan pendidikan tentang kekerasan seksual kepada anak.

Hifdzun Nafs

Jangan lupakan juga bahwa korban tetaplah korban. Apapun gendernya, potensi trauma tetap ada. Bahkan di tengah iklim maskulin yang toksik. Trauma pada laki-laki korban kekerasan seksual lebih rentan diinvalidasi oleh lingkungan sekitarnya. Akibatnya, akses terhadap bantuan hukum dan psikologis juga jadi lebih sulit didapatkan.

Kita juga perlu mengingat kembali bahwa dalam ajaran moral apapun, termasuk agama, kita diajarkan untuk saling menghormati hak orang lain untuk mendapatkan kehidupan yang aman tanpa kekerasan dan pelecehan yang merendahkan martabat mereka. Menormalisasi kekerasan seksual verbal, berarti juga menabrak sumber nilai moral yang kita yakini.

Dalam Islam, kita mengenal maqashid syariah yang salah satu pilarnya adalah “hifdzun nafs” atau menjaga diri dan jiwa sesama manusia. Amanat tersebut berimplikasi pada keharusan kita menjaga martabat sesama manusia dengan tidak merendahkan harga diri dan menjadikannya objek seksual semata. []

Tags: empatiKBGOKekerasan seksualPelecehan Verbaltrauma
Fatimatuz Zahra

Fatimatuz Zahra

Akun Sosial Media : Fatimatuz Zahra(Facebook), @fzahra99_(instagram)

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID