Mubadalah.id – Di masa lalu, kita tahu Gus Dur tidak hanya penggemar sepak bola. Beliau bahkan juga bekerja sebagai komentator sepak bola pada sebuah stasiun TV, sekaligus kolumnis sepak bola pada sejumlah media cetak di negeri ini. Gus Dur tidak hanya terkenal sebagai intelektual, politisi, kiai, atau budayawan belaka.
Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah PiaIa Dunia U-20 2023 oleh FIFA (Fédération Internationale de Football Association) hari-hari lalu karena alasan awal “situasi terkini”; Bisa jadi adalah indikasi Indonesia masih atau bahkan kian dikuasai pola pikir fundamentalis, ultra konservatif yang terus membayangi dan tingkatkan kerentanan anak negeri.
Kemanakah Gus Dur akan jejakkan kaki, bersikap dalam hal ini? Andai beliau masih hidup, menyaksikan peristiwa yang bangsanya hadapi kini.
Berikut ini ulasan singkat, tugas lagi dari “Kelas Pemikiran Gus Dur” (KPG) pada minggu akhir bertema “9 Nilai Diri”. KPG diselenggarakan Jaringan Gusdurian selama Maret 2023, dengan peserta pendaftar 1146 yang terbagi dalam 7 Batch. Sebagian besar mereka adalah anak muda usia milenial, harapan penuh Indonesia di masa depan.
Poin-poin 9 Nilai Diri
Gus Dur sesungguhnya adalah pribadi paripurna dengan 9 nilai dirinya. Nilai-nilai itu adalah ketauhidan (sprirituality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice), kesetaraan (equality), pembebasan (liberation), persaudaraan (solidarity), kesederhanaan (humility), keksatriaan (chivalry), dan juga kearifan (wisdom of tradition).
Karenanya, semua kerja-kerja Gus Dur akan terus terarahkan untuk penuhi 9 nilai ini. Saya yakin, itu akan berlaku pula dalam aktivitas yang beliau gemari bersama seluruh masyarakat lintas dunia, olah raga: sepak bola.
Dalam polemik hari-hari kemarin tentang kehadiran Timnas Israel U-20 ke Indonesia, pada gelaran piala FIFA nanti, kita tahu banyak suara dan kepentingan pro – kontra. Baik yang pro maupun kontra, yang menerima atau menolak kehadiran mereka, sama-sama gunakan alasan isu solidaritas bagi kemerdekaan Palestina.
Namun dalam keyakinan saya, sangat bisa jadi Gus Dur akan berada di pihak pro, yang menerima kehadiran mereka. Ia akan segera gunakan kesempatan baik ini, sebagai pintu masuk diplomasi lebih dalam lagi, untuk isu yang sama.
Bagi Gus Dur, sepak bola bukan hanya sekedar permainan. Beliau bisa menjadikannya sebagai jokes, filosofi hidup, bahkan strategi dialektika politik dalam kehidupan antar-bangsa. Kebijaksanaannya seolah akan terus menuntunnya memanfaatkan, menemukan setiap momentum, peluang; Termasuk sepak bola bagi kerja-kerja keadilan dan kemanusiaan yang jadi keyakinannya.
Dengan begitu, harapan baik terpenuhinya 9 nilai Gus Dur akan selalu tumbuh bagi mereka yang masih terus terjajah, terpinggirkan, teraniaya, alami stigma maupun ketidakadilan lain. Termasuk bagi anak-anak dan kaum perempuan yang selama ini bahkan juga jadi pihak paling rentan; Banyak menanggung penderitaan akibat konflik apapun, termasuk pula dalam konflik Palestina dan Israel.
Lepas dari Debat Kontroversi
Terlepas dari debat kontroversi sebab apa sesungguhnya FIFA batalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia tersebut. Pro kontra penerimaan Timnas asal Israel, seolah jadi persoalan paling mencolok, sekaligus juga keruh karena seakan dimuati berbagai kepentingan politik, praktis maupun agama.
Pada keterangan lanjutan FIFA akhirnya memang sebut tragedi Kanjuruhan pada Oktober 2022 sebagai tolak ukur pertimbangan. Karena memang peristiwa ini telah jadi tragedi sepak bola terbesar ke dua di dunia antara Peru dan Ghana.
Kanjuruhan telan korban jiwa hingga 130-an orang lebih. Terdiri dari 90 laki-laki dan 40 perempuan. Dari angka tersebut terdapat 33 anak-anak, dengan uraian 25 anak laki-laki dan 8 anak perempuan.
Sementara di Ghana sendiri, tragedi sepak bola memilukan pernah terjadi hingga telan korban 126 jiwa, pada 2001. Sedang di Peru jatuh korban hingga 328 jiwa, pada 1964 silam. Kesemua pasalnya hampir serupa, penonton kecewa hingga terjadi pitch invasion. Lalu aparat gunakan gas air mata untuk kendalikan massa. Tapi kepanikan dan kericuhan justru makin perparah suasana.
Dengan begitu alasan tragedi Kanjuruhan saja, sepertinya cukup buat FIFA batalkan posisi Indonesia sebagai tuan rumah. Seolah tak ada masalah lain, termasuk kesiapan venue juga.
Jangan lupa, hingga kini tragedi Kanjuruhan masih terselimuti kabut. Lantaran para tersangka yang dapat vonis minim, bahkan bebas. Sedang pengadilan hanya dalilkan keganjilan tentang tiupan angin yang picu peristiwa nahas itu.
Waspada Ultra Konservatisme Agama
Namun demikian, rasanya kita tidak bisa abai begitu saja pada suara-suara penolakan itu. Memang penolakan juga datang dari barisan nasionalis. Mereka khawatirkan potensi pelanggaran terhadap Konstitusi Negara yang amanahkan penghapusan penjajahan di atas muka bumi. Sedang Israel terhadap Palestina telah demikian lama tak henti-henti lakukan agresi.
Akan tetapi yang harus terus kita waspadai adalah suara barisan fundamentalisme agama. Karena tidak hanya menolak, barisan ini juga terindikasi lakukan tekanan-tekanan yang mengarah pada laku inkonstitusi. Data-data indikasi tersebut banyak bertebaran, termasuk di media sosial tanpa bisa kita hentikan.
Negara atau siapapun tentu tidak bisa, dan tidak boleh tunduk pada kehendak tersebut. Semua tindakan yang mengarah pada ekstremisme yang terbangun atas dasar ultra konservatisme, fundamentalisme agama harus kita hentikan. Gus Dur selama masa hidupnya telah banyak berjuang dengan segenap elannya untuk halau ini semua.
Di mana Gus Dur tidak henti-hentinya lebih memilih membangun jalan dialektika lewat diplomasi yang ia jalankan hingga ke berbagai penjuru dunia. Gus Dur tegas, menolak jalan kekerasan atas nama apapun juga.
Ketauhidan Poros Utamanya
Bagaimana sesungguhnya Gus Dur bisa menjalani diplomasi “sepak bola” yang seolah ditempuhnya seorang diri ini? Tak lain, sangat bisa jadi itu karena kokohnya nilai ketauhidan Gus Dur yang selalu jadi poros utama dalam bekerja.
Kesadaran bahwa Tuhan adalah segala sumber rahmat, belas kasih bagi kehidupan semesta, telah kuatkan Gus Dur dalam perjuangan. Tentu beliau adalah pribadi yang miliki karakter basyariyah umumnya manusia lain, dengan kekurangan dan kelebihan.
Namun dalam berproses, Gus Dur tampaknya telah mampu mendaki, gapai puncak gunung tertinggi sebagai hamba yang telah ridha dan diridhai; Damai – mendamaikan, serta dikasihi seluruh Yang di langit dan siapapun yang di bumi.
Gus Dur tidak takut dengan apapun. Keberaniannya mendorongnya bekerja tidak hanya untuk diri dan keluarga, namun justru bagi sesama umat manusia hingga semesta.
Merujuk Abuya KH. Husein Muhammad, manusia dan kemanusiaan telah jadi fokus pikiran dan perhatian Gus Dur sepanjang hayat; Berhari-hari, siang dan malam, bahkan pada setiap hembusan napasnya.
Gus Dur Sungguh Mencintai Manusia
Semua itu karena Gus Dur sungguh-sungguh mencintai manusia. Beliau bekerja keras menerjemahkan nilai-nilai dan prinsip dirinya. Baik melalui tulisan-tulisan, ceramah, maupun dalam sikap hidupnya sehari-hari, di mana dan kapan pun juga.
Gus Dur bahkan sanggup telan kekecewaan, asalkan umat di sekelilingnya, apa pun latar belakang dan keyakinannya, terlindungi seluruh hak-hak dasarnya (maqashidus syari’ah/ al-kulliyyat al-khams). Kesakitan yang diterima seolah tak dirasa, tak membuat benci atau hilang rasa keadilannya pada liyan. Termasuk pada barisan fundamentalisme agama.
Gerakan fundamentalisme, ultra konservatisme itu nyata, ada, bagian dari kita, bangsa ini. Meski Gus Dur sadari jumlah mereka tak seberapa, atau tetap lebih banyak barisan “orang-orang baik” (moderat, kata Abuya Husein); Namun kesanggupan mereka lakukan kekerasan atau tindakan-tindakan inkonstitusional, harus terus dihadapi dengan strategi.
Negara harus bersedia juga menjangkau mereka, melibatkan dalam dialektika sehingga betul-betul bisa pengaruhi; Bangun kesadaran pola pikir mereka, atau siapapun juga bahwa kini tidak lagi saatnya ‘mengenyahkan’ Israel karena telah menjajah Palestina. Indonesia kini telah terlibat upaya-upaya untuk membantu terwujudnya solusi dua negara. Di mana Israel dan Palestina harus hidup bersama, berdampingan dengan damai pula.
Cinta yang Mendamaikan, Membebaskan dan Mempersatukan
Penuh yakin, Gus Dur bisa jadi juga akan melakukan itu semua. Dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), Gus Dur sepertinya bahkan telah ajak negara untuk ‘berhadapan’ langsung dengan mereka. Jangan biarkan pola pikir fundamentalis, ultra konservatisme itu justru yang pengaruhi kita. Apalagi buat takut negara, atau siapapun juga. Tentu ini tidak boleh, dan tidak bisa terjadi.
Kerja-kerja ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, persaudaraan, kesederhanaan, keksatriaan, dan juga kearifan itu, yang harus bisa dan terus terlaksana segera. Karena negara dan rakyat sesungguhnya tidaklah boleh berjarak. Dialektika, dialog timbal-balik itu semestinya bisa kita lakukan kapanpun juga.
Tak ada lagi tekanan atau ancaman. Apalagi pola pikir ultra konservatif, yang kian pula mendorong (encorage) anak-anak dan perempuan terlibat dalam ekstremisme kekerasan. Mereka harus disengaged, dan mulai berpikir serta bertindak mengutamakan perdamaian. Seperti Gus Dur yang selalu nyata berupaya damaikan Israel – Palestina; Memikirkan nasib semua umat manusia, anak-anak, laki-laki dan perempuan di sana, dengan penuh kebijaksanaan.
Memang tidak ada upaya-upaya membangun damai yang tidak melibatkan, menghadirkan kedua belah pihak, pelaku dan korban sekaligus. Dan itu tadinya mungkin saja bisa dimulai terjadinya dalam ajang olah raga, diplomasi sepak bola.
Andai semua itu terwujud, akan bisa jadi ungkapan “sekali layar terkembang, dua – tiga benua terarungi jua”. Indonesia perlahan akan bisa mulai keluarkan bangsanya sendiri dari belenggu pola pikir fundamentalis, ultra konservatisme agama; Sekaligus juga turut dalam usaha pembebasan Palestina, sumbangan besar bagi perdamaian dunia.
Mengutip tanya Gus Dur, “Sederhana dalam konsep, tapi sukar dilaksanakan bukan?” Semoga saja tidak, Gus. Dengan seluruh doa restu, Anda. Wallahu yuwaffiquna fi ma yuhibbuh wa yardhah. Wallahu a’lam bisshawab. []