Mubadalah.id – Bagi sebagian orang, nama KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah sosok yang tidak asing lagi. Karena seperti kita ketahui bersama, beliau merupakan sosok yang selalu memperjuangkan toleransi, pluralisme dan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Namun, ada satu hal penting yang saya kira tidak populer di sebagian kalangan masyarakat kita, yaitu Gus Dur juga merupakan sosok yang juga membela hak-hak perempuan dan memperjuangkan kesetaraan gender.
Melansir dari NU Online, perjuangan Gus Dur dalam membela hak-hak perempuan dan kesetaraan gender ini bisa kita lihat saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden ke-4. Gus Dur memelopori terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) nomor 9 tahun 2000 mengenai pengarusutamaan gender. Pada perkembangannya Inpres ini, Gus Dur tingkatkan menjadi UU Keadilan dan Kesetaraan Gender.
Menariknya regulasi yang Gus Dur terbitkan tersebut, juga beliau praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam berbagai praktik di kehidupan keluarganya Gus Dur mendorong putri-putrinya untuk bisa berpendidikan tinggi dan dapat aktif mengisi ruang-ruang publik.
Ruang Politik
Bahkan lebih dari itu, Gus Dur juga meminta dengan terbitnya regulasi tersebut, kesetaraan gender itu berlaku untuk seluruh lembaga di dalam pemerintahannya. Artinya Gus Dur ingin agar para perempuan juga mengisi ruang-ruang pemerintahan (politik). Jadi tidak hanya didominasi oleh laki-laki saja.
Saya kira apa yang dilakukan Gus Dur merupakan teladan penting bagi kita semua. Gus Dur telah memberikan kesadaran bahwa penting untuk selalu melibatkan perempuan dalam berbagai kehidupan termasuk dalam pemerintahan sekalipun.
Karena apabila kita tidak melibatkan suara perempuan dalam pemerintahan. Maka regulasi yang muncul hanya akan selalu melemahkan, merendahkan dan mendiskriminasi perempuan. Sehingga hal ini lah yang menyebabkan para perempuan selalu berada posisi terendah dan kelas dua.
Oleh sebab itu, dengan melibatkan perempuan di ruang politik, saya kira menjadi angin segar bagi para perempuan untuk terus menyuarakan dan memperjuangan hak-hak mereka. Sehingga nantinya regulasi yang terbit tidak ada yang timpang, apalagi sampai mendiskriminasi perempuan.
Maka dengan begitu, Gus Dur bagi saya telah membuka pintu seluas dan selebar-lebarnya bagi para perempuan untuk dapat mengisi ruang-ruang politik kita.
Apa yang dilakukan oleh Gus Dur saya kira sejalan dengan apa yang pernah Nabi Muhammad Saw lakukan.
Peran Perempuan Masa Nabi Saw
Misalnya, pada buku Perempuan Bukan Sumber Fitnah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menceritakan, bahwa saat kemelut emosional menghinggapi hampir seluruh sahabat Nabi Saw setelah Perjanjian Hudaibiyyah. Perjanjian ini bagi segenap sahabat dianggap merendahkan dan melecehkan eksistensi umat Islam.
Namun, Nabi Saw tetap menerima perjanjian itu, sementara para sahabat berdiam diri, menolak atau paling tidak menyiratkan ketidak setujuan mereka.
Umar ra sendiri mendatangi Nabi Saw, dan bertanya: “Bukankah engkau Nabi Allah”. “Ya!”, jawab Nabi SAW.
“Bukankah kita berada pada agama yang benar, dan mereka yang sesat”. “Ya!”, jawab Nabi SAW.
“Kenapa kita harus menerima penghinaan dengan perjanjian ini?!!”. “Aku utusan Allah, dan aku tidak akan pernah menyalahi pertintah-Nya dan aku yakin Dia akan menolongku.”
Sebagai simbol penerimaan terhadap perjanjian tersebut, Nabi SAW memerintahkan para sahabat untuk memotong unta dan mencukur rambut kepala.
Tetapi tidak satupun dari sahabat Nabi yang tergerak mengikuti perintah Nabi SAW, karena perasaan terpukul dan sedih yang sangat berat. Nabi SAW mengulangi perintah kepada para sahabat sampai tiga kali. Tidak satupun yang beranjak bangun memenuhi perintah.
Nabi pun marah dan masuk ke tenda Ummu Salamah ra dengan penuh kemarahan. “Ada apa?” tanya Ummu Salamah ra.
“Orang-orang Islam akan binasa, karena tidak mengikuti perintahku,” kata Nabi.
“Ya Rasul, janganlah menyalahkan mereka. Kesedihan sedang menghimpit perasaan mereka, sama seperti yang engkau rasakan ketika harus menerima perjanjian itu. Mereka sangat berat kalau harus pulang tanpa bisa memasuki kota mereka Mekkah.”
“Lebih baik, engkau keluar saja dan tidak perlu berbicara dengan siapapun. Lakukanlah apa yang ingin engkau perintahkan. Engkau sembelih untamu dan engkau cukur rambutmu. Jika mereka melihat engkau melakukan hal itu, pasti mereka akan mengikuti apa yang engkau lakukan”, Ummu Salamah ra. menyarankan.
Persis seperti yang dikatakan Ummu Salamah ra., semua sahabat pada akhirnya bisa menerima dan mengikuti apa yang dilakukan Nabi SAW. (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
Kiprah Politik
Dari paparan beberapa catatan sejarah dan teks hadis ini, terlihat betapa para perempuan awal Islam telah memerankan kiprah politik yang cukup penting.
Apalagi jika melihat latar belakang sosial mereka yang awalnya tidak diperhitungkan sama sekali oleh masyarakat Arab Jahiliyah. Memang kiprah mereka masih sederhana, tetapi setidaknya bisa disimpulkan bahwa peran politik perempuan adalah bukan langkah haram dalam Islam.
Oleh sebab itu, saya kira apa yang Gus Dur lakukan menjadi teladan penting bagi kita semua. Bahwa kita harus terus mendorong dan mendukung keterlibatan perempuan di semua ruang, termasuk di dalam politik sekalipun. Karena dengan mendengar suara perempuan, kita akan mudah berempati kepada mereka. []