Mubadalah.id – KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, adalah seorang kyai dan pemimpin yang sangat dihormati di Indonesia. Beliau wafat 30 Desember 2009 tepat 14 tahun yang lalu, namun harus diakui Gus Dur tetap hidup dengan segala pemikiran dan keteladanan yang telah beliau ajarkan.
Lahir dari keluarga pesantren yang ketat dengan ilmu agama telah membentuk sosok Gus Dur yang luar biasa. Gus Dur bukan hanya hadir sebagai seorang kyai, akan tetapi Gus Dur telah menjadi pemimpin yang aktif membela kelompok termarjinalkan serta peduli terhadap hak-hak dan isu perempuan. Salah satu isu menarik ialah bagaimana pemikiran Gus Dur tentang kepemimpinan perempuan.
Kepemimpinan perempuan sampai saat ini masih menjadi topik yang sangat relevan untuk didiskusikan. Walaupun saat ini kepemimpinan perempuan sudah banyak temui akan tetapi kita tetap harus empati dan peduli bahwa kepemimpinan perempuan masih menghadapi banyak tantangan.
Gus Dur menyoroti akan banyaknya tantangan yang sering dihadapi yaitu berupa stereotipe gender yang negatif terhadap perempuan. Perempuan dianggap tidak kompeten karena ia adalah makhluk yang lemah dan kurang akal.
Stereotipe negatif yang sering diterima perempuan jelas sangat ditentang Gus Dur. Apalagi jika sudah dilegitimasi narasi keagamaan. Misalnya dalam surah an-Nisa’ ayat 34. Ayat ini sering mereka jadikan alat untuk untuk membela laki-laki dan mendiskriminasi perempuan untuk menjadi pemimpin. Bagaimana mungkin Islam yang rahmatan lil ‘alamin justru berbuat ketidakadilan.
Ada ayat yang kerap mereka jadikan dasar, yaitu QS. an-Nisa ayat 34:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ
Artinya: “Laki-laki (suami) itu pemimpin bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.”
Tafsir Gus Dur
Budaya masyarakat yang masih patriarki menjadi latar belakang munculnya stigma bahwa perempuan berada di bawah laki-laki. Oleh karena itu, Gus Dur melakukan penafsiran ulang terhadap surat an-Nisa’ ayat 34.
Karena menurut Gus Dur dalam ayat tersebut dapat kita maknai, bahwa perempuan juga memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki, apalagi dalam soal kepemimpinan.
Oleh sebab itu, kita tidak bisa menilai kepemimpinan hanya berdasarkan jenis kelaminnya, melainkan yang harus kita lihat adalah dari kapabilitas dan kredibilitasnya. Maka dari itu, QS an-Nisa ayat 34, menurut aku tidak bisa menjadi dalil mutlak larangan kepemimpinan perempuan.
Senada dengan pendapat Gus Dur, KH. Husein Muhammad juga menyatakan hal yang sama. Menurut Buya Husein ayat tersebut hanya bersifat informatif atau khabari. Yakni, ayat yang mengabarkan kepada kita tentang realitas sosial, budaya dan pembagian kerja sama antara laki-laki dan perempuan. Bukan soal dalil kepemimpinan laki-laki secara mutlak.
Maka dari itu, dengan merujuk pandangan Gus Dur dan Buya Husein soal kepemimpinan perempuan di atas, yang harus kita lakukan adalah kita tidak boleh melarang ketika ada perempuan menjadi seorang pemimpin. Justru yang harus kita lakukan adalah dengan memberikan dorongan dan dukungan kepada perempuan.
Sehingga apa yang telah Gus Dur lakukan di atas menurutku menjadi teladan yang terus kita lanjutkan. Artinya, Gus Dur selain menjadi tokoh bapak toleransi, ia juga menjadi tokoh yang membela dan mendukung atas kepemimpinan perempuan. []