Mubadalah.id – Partisipasi perempuan dalam perang bela negara terlihat dari hadis berikut ini:
Teks ke-40
عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَسْقِى الْقَوْمَ، وَنَخْدُمُهُمْ، وَنَرُدُّ الْقَتْلَى وَالْجَرْحَى إِلَى الْمَدِيْنَةِ. رواه البخاري.
Terjemahan: Dari Rubayyi’ bint Mu’awwidz ra, berkata: “Sungguh kami, para perempuan, ikut berperang bersama Nabi Saw, memberi minum dan melayani kebutuhan pasukan, kami juga membawa pulang mereka yang terluka dan yang terbunuh ke Madinah”. (Sahih Bukhari, no. Hadis: 5741).
Sumber Hadis: Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Sahihnya (no. Hadis: 2921, 2929, dan 5741) dan Imam Ahmad dalam Musnadnya (no. Hadis: 27659).
Penjelasan Singkat: Untuk hal hal yang dipersepsikan sebagai kiprah laki-laki, seperti bela negara dan arena politik, sering ditanyakan adakah preseden untuk perempuan pada masa lalu di awal Islam. Pertanyaan ini seringkali diajukan untuk menghalangi perempuan atau merendahkan kiprah-kiprah mereka di ruang publik.
Teks hadis sahabat perempuan Rubayyi’ binti Mua’wwidz r.a. ini menjadi salah satu bukti historis keterlibatan perempuan dalam bela negara di awal Islam, yang jika diartikan lebih luas sebagai aktivitas politik, berarti ada teladan perempuan yang aktif di arena politik dari masa awal Islam.
Sebenarnya jika kita meyakini perempuan sebagai manusia utuh, pertanyaan preseden dan teladan tidaklah perlu. Tetapi kesangsian terhadap kemanusiaan mereka seringkali eksesif. Ketika sudah ada preseden pun, karena kesangsian ini, lalu peran mereka disempitkan hanya untuk urusan akomodasi dan medis. Peran inipun direndahkan dan tidak diapresiasi secara memadai, berbeda dari peran-peran yang diambil laki-laki.
Teks ini bukan soal stereotip peran akomodasi dan medis perempuan. Tetapi teladan partisipasi mereka yang diapresiasi sama seperti apresiasi kita terhadap peran politik dalam bentuk-benutk lain oleh laki-laki. Dengan perspektif apresiatif ini, mestinya, kepahlawanan juga disematkan pada perempuan yang berkorban untuk umat dan negara di bidang akomodasi, medis, dan pendidikan.
Kepahlawanan tidak hanya diukur dari pengorbanan fisik yang bersifat militeristik, tetapi semua jenis pengorbanan untuk eksistensi keagaman, kemanusiaan, dan kebangsaan. Jika tolok ukurnya demikian, maka akan banyak perempuan yang berhak atas apresiasi publik seperti tanda jasa kepahlawanan dengan dukungan-dukungan moril dan materil.