Mubadalah.id – Kesalapahaman dalam memaknai gerakan feminisme telah membuat jamak orang salah kaprah terhadap pihak-pihak yang mencoba menyuarakan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Para pejuang feminism sering kali dituding sebagai pihak yang membangkang laki-laki, dianggap sebagai perempuan-perempuan yang akan menyaingi laki-laki dan sebagainya.
Padahal yang demikian tidaklah benar, yang ingin para feminis perjuangkan tersebut adalah kesamaan akses dan hak antara laki-laki dan perempuan. Baik di ruang-ruang domestik maupun ruang-ruang publik. Yang ingin kita dobrak itu adalah budaya patriarki, bukan laki-laki.
Saat ini budaya patriarki masih saja langgeng dan bertengger dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan budaya tersebut sudah memasuki berbagai aspek kehidupan manusia, seperti politik, budaya, pendidikan, ekonomi, bahkan hukum sekalipun. Budaya patriarki telah melahirkan ketidakadilan gender yang memposisikan laki-laki sebagai pihak yang kuat, berkuasa, dibandingkan kaum perempuan.
Alfian Rokhmansyah dalam bukunya, “Pengantar Gender dan Feminisme” menyatakan bahwa patriarki berasal dari kata patriarkat, yang memiliki makna sebagai struktur yang menempatkan posisi dan serta peranan laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dan segala-galanya.
Budaya Patriarki masih Mendominasi
Dominasi budaya patriarki terhadap kebudayaan masyarakat Indonesia telah mendorong terbentuknya kesenjangan serta ketidakadilan gender yang telah mempengaruhi berbagai aspek aktivitas manusia. Sehingga posisi laki-laki memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan kaum perempuan.
Budaya patriarki juga telah menyebabkan posisi perempuan menjadi makhluk nomor dua atau inferior terhadap laki-laki. Kaum laki-laki mempunyai kontrol yang lebih besar di tengah-tengah masyarakat secara umum, dan di tengah-tengah keluarganya secara khusus. Sedangkan kaum perempuan malah sebaliknya, tidak memiliki power dan kekuasaan yang sama dengan laki-laki, baik dalam kehidupan bermasyarakatnya maupun di tengah-tengah keluarganya sendiri.
Budaya patriarki juga telah menimbulkan banyaknya aturan-aturan yang membelenggu kaum perempuan, baik di ruang domestic maupun ruang publik, sehingga seperangkat aturan yang ada telah membatasi dan membelenggu ruang gerak perempuan.
Bahkan budaya patriarki juga telah mengakibatkan munculnya perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan. Seperti kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan verbal, pelecehan, kekerasan seksual, bahkan kekerasan fisik sekalipun. Sehingga mengakibatkan ketidakadilan, kesenjangan, diskriminasi terhadap perempuan dalam memperoleh akses dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.
Tak hanya sampai di situ, budaya patriarki juga telah merambah ke dalam sistem pemerintahan, yang pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang pemerintah bentuk dianggap tidak pro terhadap perempuan, tidak memahami kebutuhan perempuan. Sehingga seringkali kebijakan pemerintah menjadikan perempuan sebagai korban dari kebijakan tersebut.
Kebijakan belum Ramah Perempuan
Regulasi hukum yang belum jelas serta minimnya perlindungan hukum terhadap kaum perempuan juga menambah posisi perempuan semakin tertindas dan terdiskriminasi dari berbagai aspek kehidupan sosial.
Praktik-praktik budaya patriarkat yang telah ada sejak dulu hingga menjadi warisan hari ini, telah melahirkan gerakan-gerakan feminis untuk mendobrak budaya patriarki tersebut, sehingga gerakan-gerakan yang baru muncul di tengah-tengah masyarakat Indonesia ini, telah melahirkan banyak pro kontra serta kesalahpahaman di kalangan sosial masyarakat.
Budaya patriarki juga telah menempatkan posisi perempuan sebagai the second sex, atau yang kita sebut sebagai warga kelas dua. Hingga berakibat pada keberadaannya yang tidak terlalu kita perhitungkan. Budaya patriarki yang begitu kuat ini, juga telah membuat posisi perempuan sebagai makhluk nomor dua, makhluk lemah. Sehingga perempuan rentan mendapatkan tindakan kekerasan.
Budaya ini juga telah melahirkan anggapan bahwa kaum perempuan hanya kita pandang objek saja. Sehingga, ketika terjadi pelecehan terhadap kaum perempuan, semua itu mereka normalisasi atau anggapannya sebagai sesuatu hal yang lumrah dan biasa, karena dia perempuan.
Lagi-lagi, budaya pariarki yang melihat perempuan sebagai objek saja. Ketika terjadi pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan, maka korban lagi-lagi mendapatkan stigma yang tidak baik. Bahkan pakaian korban menjadi legitimasi pemicu terjadinya perlakuan-perlakuan yang tidak senono dari laki-laki tersebut.
Budaya patriarki juga telah membuat pejuang tokoh-tokoh feminis mendapatkan tudingan-tudingan yang tidak baik. Mulai dari perlabelan perempuan yang tidak mempercayai pernikahan, perempuan yang malas bekerja di ranah domestik, perempuan yang ingin menyaingi laki-laki, perempuan yang susah diatur, pembangkang dan lain sebagainya.
Pelabelan-pelabelan serta kesalahpahaman tersebut, tidaklah benar adanya, para pejuang feminism hanya ingin memperjuangkan hak-hak kaum perempuan yang tidak lagi memposisikan perempuan sebagai manusia yang merdeka dengan diri dia. Yang kita perjuangkan banyak pihak hari ini adalah hak-hak dan akses yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Melawan dan Mendobrak Bias
Mendobrak bias yang mendiskriminasi serta memarjinalkan kaum perempuan dari berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Bukan sebagai perempuan yang hanya ingin dimengerti. Tetapi hanya ingin mendapatkan keadilan sebagai manusia, bukan karena jenis kelamin sebagai laki-laki ataupun perempuan.
Melawan budaya patriarki adalah tugas kita bersama, tak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Sebab, korban dari budaya patriarki adalah laki-laki dan perempuan, hanya saja perempuan menjadi rentan menjadi korban. Maka, sudah tugas kita bersama untuk melawan stigma terhadap budaya patriarki.
Sudah saatnya kita mulai merubah pola pikir tentang posisi laki-laki dan perempuan. Bukan lagi perihal makhluk lemah dan kuat, laki-laki ataupun perempuan. Tetapi sebagai manusia utuh yang sama-sama memiliki hak dan kemerdekaan yang sama.
Sudah saatnya laki-laki dan perempuan sama-sama berjuang melawan budaya patriarki dengan saling mendukung isu-isu kesetaraan gender dan upaya-upaya untuk mulai mempraktikkannya dalam kehidupan secara nyata. Yakni memberikan akses yang seluas-luasnya kepada setiap manusia, terutama kaum perempuan untuk juga mampu berkontribusi, membuka ruang, dan juga berperan aktif dalam berbagai ruang baik domestik, maupun publik, sebab perempuan juga memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki.
Kaum perempuan juga ingin diberi ruang yang sama dengan laki-laki, untuk perempuan mampu mengembangkan kapasitas diri. Bukan berarti perempuan ingin melawan laki-laki apalagi sebagai pesaing laki-laki. Semua itu tidaklah benar, sebab yang kita perjuangkan dan kita lawan adalah ketidakadilan serta perlakuan-perlakuan diskriminasi terhadap perempuan. Sehingga tercipta ruang-ruang yang ramah akan semua mahluk Tuhan, termasuk perempuan. []