Mubadalah.id – Dalam kehidupan sehari-hari, anak sering kita tempatkan sebagai pusat perhatian yang mengundang rasa gemas. Senyum polosnya, pipi yang chubby, dan tingkah lucu mereka membuat banyak orang dewasa ingin memeluk, mencium, atau menyentuh mereka. Semua tampak wajar, bahkan kita anggap sebagai bentuk kasih sayang.
Namun di balik kelucuannya, anak tetaplah individu yang memiliki hak penuh atas tubuhnya sendiri. Hak anak untuk merasa aman dan menjaga privasinya. Ketika batas tubuh anak kita kesampingkan atas nama kasih sayang, bukankah sedang mengirim pesan berbahaya bahwa persetujuan mereka tidak penting?
Fenomena ini kerap terekspos di media sosial, ketika anak-anak dicium atau tersentuh oleh orang dewasa termasuk figur publik. Tindakan ini terkadang mereka anggap candaan atau kasih sayang spontan.
Misalnya, Seorang laki-laki dewasa yang sedang show di panggung, mengajak anak kecil perempuan dan kemudian meminta izin untuk mencium pipinya. Anak mungkin menjawab “boleh” karena belum memahami situasi atau takut menolak. Akan tetapi tindakan ini tetap kurang etis karena anak tidak sepenuhnya memiliki kontrol atas tubuhnya.
Hak Anak atas Tubuh dan Privasi
Setiap anak memiliki hak untuk menentukan siapa yang boleh menyentuh tubuhnya. Izin anak tidak bisa terabaikan, bahkan oleh orang tua. Orang asing sama sekali tidak memiliki hak untuk memegang, memeluk, atau mencium anak-anak yang ditemuinya.
Mengajarkan anak sejak dini bahwa mereka boleh menolak sentuhan adalah langkah penting untuk menanamkan kesadaran diri. Anak akan belajar bahwa tubuhnya berharga dan mereka juga berhak untuk menjaga batasannya.
Ketika anak terbiasa berkata “tidak” dan kita hormati, mereka memiliki bekal untuk melindungi diri di masa remaja dan dewasa kelak. Pendidikan seperti ini bukan hanya soal moral, tetapi juga keamanan verbal yang nyata.
Keteladanan Figur Publik dan Peran Keluarga
Figur publik memiliki posisi istimewa karena tindakannya mudah khalayak tiru. Jika seorang tokoh dewasa mencium anak di ruang publik, masyarakat bisa menganggap wajar tindakan itu. Ppadahal anak mungkin belum memahami batas dan merasa takut menolak. Pendakwah atau figur publik sebaiknya menunjukkan bahwa kasih sayang dapat kita tampakkkan tanpa menyentuh anak.
Selain itu pada kesempatan berbeda, seorang anak perempuan menolak ketika ditanya oleh lelaki dewasa yang juga dianggap paham agama. Apakah boleh mencium pipinya? Anak itu berkata tegas, “nggak boleh.”
Meskipun begitu, lelaki tersebut tetap mencoba dan bercanda seakan menegosiasikan penolakan anak serta memanfaatkan otoritas yang ia miliki. Tindakan ini tergolong pemaksaan, karena anak bisa merasa bingung ataupun terdorong untuk menuruti karena orang dewasa tersebut dianggap berwenang.
Normalisasi perilaku semacam ini berpotensi mengajarkan anak dalam mengikuti kemauan orang dewasa meski merasa tidak nyaman, dan akan berdampak jangka panjang pada kemampuan anak menetapkan batas tubuhnya. Di samping itu, kejadian di atas juga dapat kita kategorikan sebagai kekerasan seksual non-fisik. Sebagaimana penjelasan dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) No. 12 Tahun 2022.
Keluarga menjadi lingkungan pertama yang membentuk pemahaman anak tentang batasan tubuh. Tidak jarang paman, kakek, atau kerabat memeluk atau mencubit anak tanpa izin. Keakraban yang tampak biasa ini, jika berlangsung terus-menerus tanpa menghormati keputusan anak, dapat mengarah pada child grooming.
Mengenal Batasan Tubuh
Proses yang tampak lembut dan penuh perhatian, tapi tujuannya mencuri rasa aman anak sedikit demi sedikit. Mulanya mungkin hanya sentuhan di pipi atau pelukan yang berulang. Anak tidak merasa berbahaya, bahkan bisa kita buat percaya bahwa semua itu normal. Namun, ketika kelak batas yang lebih dalam dilanggar, mereka tidak tahu bagaimana harus menolak.
Oleh karena itu, penting menanamkan pendidikan sejak dini mengenai batasan tubuh, sebagaimana diajarkan Al-Qur’an pada QS. An-Nur [18] ; [31]:
وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat.…”
Melalui pembiasaan kepada anak yang menghormati privasi diri sejak kecil, mereka akan belajar mengenal batasan, menghargai tubuhnya sendiri, dan memahami interaksi yang aman dengan orang lain. Lingkungan keluarga ataupun sekolah, juga harus menjadi tempat aman bagi anak.
Kritik serta edukasi semacam ini tidak hanya berlaku untuk figur publik tetapi juga untuk orang-orang di sekitar anak, karena normalisasi pelanggaran batas, baik di rumah maupun di ruang publik, memiliki risiko yang serupa terhadap keamanan dan kesejahteraan anak.
Dampak Pelanggaran dan Risiko Fisik Anak
Ketika anak terbiasa diam saat merasa tidak nyaman, mereka berisiko mengalami dampak jangka panjang. Anak yang tidak kita ajarkan menolak sentuhan berisiko kesulitan menetapkan batas pribadi, mengalami trauma psikologis, rendahnya rasa percaya diri, dan kesulitan bersosialisasi.
Selain dampak psikologis, anak juga menghadapi risiko fisik yang nyata. Bayi dan anak kecil sangat sensitif terhadap penyakit, sehingga setiap sentuhan dari orang asing atau bahkan orang dekat yang mungkin membawa kuman dapat membahayakan. Kita tidak selalu bisa memastikan bahwa orang-orang yang berinteraksi dengan anak aman dari virus. Perokok, misalnya, bisa meninggalkan asap dan kuman yang menempel pada anak saat dicium atau dipeluk.
Oleh karena itu, keluarga harus menjadi garda terdepan dalam melindungi anak. Mengajarkan mereka keberanian untuk menolak sentuhan yang tidak pantas dan menghormati privasi tubuhnya secara konsisten adalah langkah penting. Perlindungan ini bukan sekadar soal moral atau agama, tetapi juga perlindungan kesehatan yang nyata dan konkret.
Karena sejatinya mencintai anak bukan soal menunjukkan rasa gemas kita, melainkan menjaga agar setiap inci tubuhnya tetap dalam kendali mereka sendiri. Privasi anak bukan milik siapa pun kecuali dirinya sendiri. Tugas kita adalah memastikan ia tumbuh dengan keyakinan kuat bahwa setiap orang wajib menghormati batas tubuhnya. Wallahu A’lam. []











































