Mubadalah.id – Pandangan Imam Nawawi Banten tentang hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, yang pernah dikaji Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) Ciganjur, menjadi contoh betapa fikih kerap sarat dengan muatan sosial zamannya. Ini bukan hal aneh. Sejak dulu, fikih memang lahir dari pergulatan panjang antara teks agama dan realitas masyarakat.
Dalam prosesnya, fikih menyerap begitu banyak norma budaya dan struktur sosial yang berkembang pada masa itu. Tak heran jika warisan fikih tentang relasi laki-laki dan perempuan yang kita baca hari ini. Bahkan sering kali justru lebih patriarki ketimbang prinsip-prinsip kesetaraan.
Persoalannya, selama berabad-abad, pandangan ini terus direproduksi dalam kitab-kitab kuning, diajarkan dari generasi ke generasi. Hingga tertanam dalam alam bawah sadar umat Islam.
Masalah menjadi runyam ketika fikih kemudian menjadi sesuatu yang final seakan-akan ia berdiri di atas realitas, bukan tumbuh bersama realitas. Cara pandang inilah yang membuat fikih terbebani oleh tafsir-tafsir misoginis, yang pada dasarnya hanyalah cermin dari masyarakat timpang pada zamannya.
Bahkan beban ini menutup rapat ruang bagi fikih yang progresif, adil gender, dan berpihak pada mereka yang paling rentan. Padahal, dalam khazanah fikih sendiri banyak pandangan alternatif yang lebih berpihak pada prinsip rahmah dan keadilan hanya saja kita terlalu sering melupakannya.
Ironisnya, ketika hari ini relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat Islam tampak timpang, fikihlah yang paling sering menjadi masalah utama.
Padahal, lebih tepat bila kita memandang fikih sebagai potret sejarah pemahaman umat Islam pada masa lalu, yang tak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan budaya tempat ia berkembang.
Kini tantangannya adalah bagaimana kita menggali kembali semangat Al-Qur’an yang melampaui realitas menawarkan keadilan lintas zaman. Lalu merumuskan fikih yang lebih adil, manusiawi, dan tidak lagi menempatkan perempuan pada posisi paling rugi. []