Mubadalah.id – Di dalam fiqh, barta bersama adalah harta yang dihasilkan dari usaha masing-masing suami istri, atau salah satu dari mereka, ketika dalam ikatan perkawinan. Harta yang dimiliki masing-masing sebelum pernikahan, tetap menjadi milik masing-masing dan tidak menjadi harta bersama hanya karena ikatan pernikahan.
Harta yang ia peroleh dari waris atau hibah, sekalipun dalam ikatan pernikahan, juga tidak menjadi harta bersama. Jadi, ketika seorang istri atau suami, menerima warisan dari orang tuanya. Maka itu menjadi harta milik pribadi dan bukan menjadi harta bersama perkawinan.
Gagasan harta bersama ini sudah masuk dalam UU Perkawinan Tahun 1974, maupun Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991. Setidaknya, ini merupakan terobosan untuk memberikan perlindungan ekonomi bagi perempuan yang memilih, atau karena faktor tertentu, tidak bekerja menghasilkan uang dari luar rumah.
Tetapi terobosan ini tidak akan berarti sama sekali jika relasi yang antara suami istri bentuk, atau antara anggota keluarga bentuk, adalah tidak setara dan timpang.
2 Pandangan
Ada dua pandangan di kalangan cendekiawan Indonesia tentang harta bersama suami istri dalam kehidupan rumah tangga:
Pertama, yang mengatakan bahwa sharing properti keluarga, atau harta bersama, hanya ada jika secara eksplisit oleh suami dan istri dalam perjanjian yang secara khusus mereka buat untuk itu. Baik mereka buat sebelum pernikahan, ketika akad nikah, atau ketika sudah dalam perkawinan.
Pandangan ini misalnya mendapat dukungan dari Amir Syarifuddin. Alasan utama dari pandangan ini adalah independensi setiap masing-masing suami dan istri mengenai harta yang mereka miliki.
Kedua, yang menyatakan bahwa kesepakatan mengenai harta bersama terjadi secara otomatis dengan adanya akad pernikahan.
Seseorang yang sepakat untuk menikah, maka baik anak yang ia lahirkan maupun harta yang ia hasilkan dalam pernikahan ini, secara otomatis menjadi milik mereka berdua, bukan hanya salah satu saja.
Suami yang bekerja dan istri yang di rumah, atau sebaliknya, atau kedua-duanya bekerja. Maka semua yang mereka hasilkan dalam ikatan pernikahan adalah menjadi harta bersama. Pandangan ini dinyatakan di antaranya oleh Sajuti Talib, Hazairin, dan Idris Ramulyo.
Oleh karena itu, maka harta bersama adalah harta yang mereka hasilkan dari usaha masing-masing suami istri. Atau salah satu dari mereka, ketika dalam ikatan perkawinan. Namun, harta yang keduanya miliki sebelum pernikahan, tetap menjadi milik masing-masing dan tidak menjadi harta bersama hanya karena ikatan pernikahan.