Mubadalah.id – Pemikiran keagamaan yang cenderung melarang perempuan memimpin shalat, memegang jabatan publik, atau bahkan memimpin negara, sesungguhnya tak lepas dari stigma lama yaitu perempuan adalah fitnah.
Dalam kerangka berpikir ini, kehadiran tubuh perempuan di depan jamaah shalat bisa mengganggu kekhusyukan dan membuyarkan konsentrasi dalam beribadah kepada Allah.
Tak hanya itu, tubuh perempuan juga dinilai tak layak menduduki jabatan publik. Kehadirannya dikwatirkan justru menggoda masyarakat dan memalingkan perhatian mereka dari tugas yang lebih substansial.
Bahkan, seksualitas perempuan, dalam banyak tafsir keagamaan, masih menjadi fitnah yang berbahaya baik bagi hidupnya sendiri. Maupun bagi orang lain.
Pandangan ini merujuk pada hadis Nabi yang sering orang-orang kutip: “Tidak sekali-kali aku tinggalkan suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi kalian selain fitnah perempuan.” (HR. Bukhari no. 4808).
Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah menyebutkan “Sumber kesialan itu ada tiga: perempuan, rumah, dan kuda.” (HR. Bukhari, dalam Fath al-Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani VI/150-152).
Benarkah Sumber Kesialan?
Namun menariknya, pandangan tentang “kesialan perempuan” ini sudah dikritik sejak masa sahabat. Aisyah binti Abu Bakar ra. menolak keras riwayat Abu Hurairah tersebut. Baginya, mustahil Nabi Muhammad Saw. mengucapkan perkataan yang bertentangan dengan prinsip tauhid paling dasar. Yakni bahwa segala musibah maupun keberuntungan sepenuhnya berasal dari Allah.
Aisyah kemudian mengingatkan firman Allah dalam QS. Al-Hadid ayat 22: “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.”
Sayangnya, bangunan pemikiran fikih tentang relasi perempuan dengan hidupnya sendiri, dengan pasangannya. Maupun dengan masyarakat luas, telah lama membangun asumsi bahwa perempuan adalah sumber fitnah bahkan kesialan.
Dari sinilah lahir beragam aturan, larangan, norma, hingga anjuran keagamaan yang sesungguhnya lebih mengekang perempuan daripada melindunginya.
Perempuan pada akhirnya menjadi objek dari tafsir-tafsir bias gender yang disematkan oleh sebagian para ulama. Padahal, jika kita telusuri lebih jernih, ajaran Islam menempatkan perempuan sebagai makhluk yang setara mulia di hadapan Allah, bukan sekadar sumber fitnah yang patut kita curigai. []