Mubadalah.id – Jika merujuk Lembaga Fikih Internasional tentang hak-hak anak dalam hukum Islam, maka lembaga ini melarang eksploitasi anak untuk dipekerjakan di atas kemampuan fisik dan psikis mereka.
Syarat kebolehan ini bisa didiskusikan kembali dengan kerangka maqashid al-syari’ah, untuk melahirkan pandangan hukum Islam tentang anak bekerja yang lebih komprehensif dan mementingkan hak anak.
Dengan kerangka ini, perspektif yang harus muncul adalah perlindungan. Sehingga ketika boleh bekerja pun, seorang anak harus benar-benar secara konkret tetap terlindungi hak hidup dan tumbuh kembangnya (hifzh al-nafs).
Kemudian harus terlindungi dan berada dalam keluarga yang kondusif (hifzh al-nasl), prioritas pendidikan dan kemahiran hidupnya (hifzh al-aql), mengamalkan keyakinan agamanya (hifzh al-din), dan memperoleh hak finansialnya (hifzh al-mal).
Dengan kerangka maqashid ini, Dr. Faqihuddih Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak menegaskan bahwa anak yang belum dewasa, pada dasarnya dalam Islam, tidak boleh dipekerjakan orang tua atau walinya. Apalagi oleh orang lain dengan atau tanpa seizin walinya.
Pelarangan ini, di samping memprioritaskan kepentingan anak, juga untuk memastikan hak-hak dasar mereka bisa terpenuhi dan tidak terganggu karena kesempatan, waktu, dan tenaganya untuk bekerja.
Melarang mereka dari bekerja adalah untuk melindungi hak-hak dasar mereka sebagai anak. Terutama hak untuk tumbuh kembang secara optimal dengan kondisi perkembangan fisik dan psikologi anak yang selaras dengan usianya.
Preskripsi ini harus menjadi kesadaran awal terlebih dahulu dalam isu anak bekerja ini. Baru kemudian, kita meletakkan budaya tertentu yang memperkenankan anak di bawah umur untuk bekerja, baik yang ekonomis maupun yang non-ekonomis. (Rul)