• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Figur

Ibu Shinta: Perempuan Pesantren Harus Berani Menerima Tantangan!

Kita harus berani melawan tradisi yang tidak ramah kepada perempuan agar  terus maju sebab Islam Nusantara adalah Islam yang sejatinya menerima keragaman aktivitas perempuan di dalam, dan di luar rumah, lalu di luar serta di dalam pesantren.

Zahra Amin Zahra Amin
19/06/2021
in Figur, Rekomendasi
0
Ibu Shinta

Ibu Shinta

119
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pagi ini saya membaca tulisan Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid di rumahkitab.com dengan judul “Benarkah Perempuan Pesantren adalah Perempuan yang Mandiri?” sebagai perempuan yang lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren, dan kini berada dalam komunitas serta jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), saya melihat tulisan ini penting dan wajib diketahui oleh lebih banyak orang.

Ibu Shinta memulai tulisannya dengan memperkenalkan istilah “Islam Pribumi” yang digagas oleh KH. Abdurrahman Wahid. Secara kebetulan saat ini saya juga sedang ngangsu kaweruh di Pasca Unusia Fakultas Islam Nusantara, di mana tema Islam Pribumi, menjadi materi kuliah yang sering didiskusikan bersama dosen dan mahasiswa lain.

Ibu Shinta melihat gagasan Islam Pribumi itu semakin relevan bagi Indonesia saat ini. Menurutnya terdapat banyak kearifan dari Islam pribumi  yang lahir dari kehidupan Umat Islam di masa lampau yang sejalan dan relevan dengan ajaran Islam saat ini.  Gagasan Pribumisasi Islam  tidak lain dari  “Islam Wasathiyah”, atau Islam yang moderat, Islam yang mengakar pada tradisi pendudukan Nusantara yang majemuk, terbuka, saling berinteraksi membangun konfigurasi bangsa Indonesia.

Di antara ciri dari konsep pribumisasi Islam dan menjadi gagasan yang dikembangkan dalam Islam Wasathiyah menurut Ibu Shinta adalah pengakuan atas peran perempuan di ruang publik. Para ulama telah menimbang sumbangan perempuan yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menyaksikan bagaimana suami-istri dalam keluarga-keluarga Muslim bergotong royong membangun keluarga.  Para Kiai dan Ulama juga melihat bagaimana keluarga muslim di Nusantara bekerja di ruang domestik dan di ruang publik secara timbal balik hampir tanpa sekat pemisah.

Berdasarkan pengamatan Ibu Shinta, hal itu jelas berbeda dengan tradisi  di tempat-tempat lain. Kalau menyaksikan aktivitas pasar-pasar di Timur Tengah, akan melihat   pasar-pasar itu dianggap sebagai ruangnya kaum lelaki.  Sementara di Indonesia kehidupan di pasar, di dunia perdagangan diisi oleh perempuan baik penjual atau pembeli.

Baca Juga:

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Kemudian di masa lalu, Ibu Shinta menambahkan hal yang di negara mayoritas Islam  lain masih dilarang seperti  perempuan sebagai hakim agama,  di Indonesia sudah ada hakim perempuan berkat kebijakan Menteri Agama K. H. Wahid Hasyim sejak tahun 50-an. Atas dasar itulah Ibu Shinta dulu memilih kuliah di Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta. Karena beliau ingin bekerja sebagai Hakim Agama.

Berkat pemikiran para ulama lokal,  lahir  fiqh khas Indonesia yang menempatkan konsep  suami-istri secara setara, sederajat dan seimbang. Memang upaya itu belum optimal tapi rintisannya telah dilakukan oleh para Ulama Nusantara sejak masa lampau. Hal itu tidak hanya berhenti sebagai wacana tetapi diturunkan ke dalam konsep “Hukum Keluarga Islam” Indonesia.

Ibu Shinta mencontohkan, misalnya dalam mengatur pembagian harta gono gini, nafkah istri, hak istri untuk bekerja, bahkan hak gugat cerai dari istri, dan seterusnya. Itu semua pada dasarnya berangkat dari konsep yang mengakui peran dan sumbangan perempuan di dalam keluarga-keluarga Islam di Nusantara.

Secara umum kajian tentang keluarga Jawa oleh para peneliti Barat, sering digambarkan istri sebagai konco wingking, teman suami di bagian belakang. Tapi di pengalaman Ibu Shinta, gambaran itu tidak sepenuhnya tepat. Ibu beliau, adalah ibu yang bekerja. Mertua beliau, Nyai Solehah Wahid adalah aktivis  partai yang sangat disegani.

Dalam kata lain, dijelaskan Ibu Shinta, kajian itu bias struktur keluarga priyayi Jawa Abangan.  Analisis semacam itu  menurut Ibu Shinta harus dikoreksi sebab secara de facto  tak semua perempuan Jawa atau perempuan di lingkungan  Islam tradisional diperlakukan sebagai konco wingking. Meskipun tidak banyak, saat ini ada Ibu Nyai  yang berperan sebagai “ kepala Keluarga” pencari nafkah, berjualan batik atau mengelola warung-warung untuk santrinya.

Ketika di Jombang Ibu Shinta juga  aktif mengajar, menjadi dosen  sambil mengurus keluarga. Setelah pindah ke Jakarta, beliau  tidak berpangku tangan bahkan ketika Gus Dur menjadi ketua PBNU. Ibu Shinta bekerja  menjadi wartawan,   bahkan beliau tetap  melanjutkan kuliah di Pusat Kajian Wanita dan Gender di UI setelah mengalami musibah.

Kemudian di tahun-tahun berikutnya, Ibu Shinta mendirikan LSM Puan Amal Hayati yang memberi perhatian kepada isu kekerasan terhadap perempuan. Ibu Shinta memimpin sendiri kajian kitab kuning karena beliau merasa perlu untuk membaca ulang  khazanah intelektual yang ada dalam tradisi pesantren dengan referensi yang diperoleh dari  bangku kuliah dan bacaan-bacaannya.

Kegiatan itu bahkan tidak  berhenti  ketika beliau mendampingi Bapak sebagai Kepala  Negara. Ibu Shinta tetap bekerja menyelesaikan naskah kajian kitab kuning menjadi buku “Kembang Setaman Perkawinan, analisis kritis atas Kitab Uqudul al- Lujain” (Penerbit Kompas, 2005).

Setelah kerusuhan Mei 98,  dan Komnas Perempuan berdiri, Ibu Shinta juga aktif di dalamnya terutama untuk memberi perhatian pada kekerasan terhadap perempuan dengan basis prasangka gender yang dikonstruksikan oleh pandangan keagamaan yang sempit.   Tahun 2019  Ibu Shinta menerima gelar doktor  kehormatan dari UIN Yogyakarta atas perhatian yang beliau curahkan kepada isu pluralisme, sesuatu yang ia dalami terutama yang terkait dengan peran dan posisi perempuan yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan, antara lain Sahur Keliling sebagai praktik kerukunan antar umat beragama.

“Change to Challange” sebagai tema perayaan Hari Perempuan Internasional 8 Maret tahun ini, dalam pengalaman Ibu Shinta adalah sebuah tema penting. Perempuan harus “berani menerima tantangan” dua arah; melawan keterbatasan-keterbatasan dirinya sendiri  dengan terus belajar, membaca, bergaul secara luas,  juga melawan berbagai hambatan dari luar seperti  praktik diskriminasi yang menghalangi hak-hak perempuan, termasuk hak untuk bekerja.

Menurut Ibu Shinta tantangan itu juga berlaku untuk para ibu Nyai di pesantren. Mereka harus mandiri. Sebab tak sedikit ibu Nyai yang semasa gadisnya menempuh pendidikan tinggi bahkan sampai ke luar negeri, sangat mandiri, namun begitu menikah dengan seorang kiai, mereka menempatkan diri di belakang kiai dan menyerahkan otoritasnya kepada suaminya. Mereka menjadi tergantung kepada suami dan lingkungan yang memanjakannya sehingga tak lagi ada kemauan untuk belajar.

Mereka menikmati peran “konco wingkingnya” meskipun telah kehilangan kesempatannya sebagai seorang perempuan yang telah mendapatkan peluang besar untuk menjadi pemimpin yang punya otoritas keilmuan, bukan hanya sekedar pendamping atau konco wingking kiai. Karenanya Change to Chalenge juga harus terjadi bagi ibu-ibu nyai di lingkungan pesantren.

Terakhir, Ibu Shinta menyampaikan pesan, “Kita harus berani melawan tradisi yang tidak ramah kepada perempuan agar  terus maju sebab Islam Nusantara adalah Islam yang sejatinya menerima keragaman aktivitas perempuan di dalam, dan di luar rumah, lalu di luar, serta di dalam pesantren.” []

Tags: Islam NusantaraIslam PribumiKH. Abdurrahman Wahidperempuan bekerjaperempuan pemimpinpesantrenShinta Nuriyahulama perempuan
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Nyai Ratu Junti

Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Nyi HIndun

Mengenal Nyi Hindun, Potret Ketangguhan Perempuan Pesantren di Cirebon

16 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version