Mubadalah.id – Imam al-Ghazali tampaknya lebih memuji cara Nabi Muhammad Saw karena beliau telah memberikan banyak teladan dalam kehidupannya.
Suatu hari, kata Imam al-Ghazali, seorang Arab Badui datang kepada nabi sambil menyampaikan kata-kata kasar dan menantang.
Ketika orang itu tertumbuk pada sosok Nabi Muhammad Saw yang santun, penuh senyum, tenang, dan memancarkan cahaya kenabian, ia tertegun dan terpesona. (Baca juga: Terima Kasih Ibu, Berkat Perjuangmu Aku bisa Kuliah dan Belajar)
Ia lalu bergumam, “Demi Tuhan, ini bukan wajah seorang pembohong. Tidak lama kemudian, ia meminta nabi mengajarkan Islam, dan ia pun memeluknya.”
Aisyah Ra., istri Nabi Muhammad Saw yang cantik dan cerdas, pernah membuat kesaksian ketika ditanya orang tentang pribadi suaminya itu.
Kemudian, ia mengatakan: “Kama khuluquhul al-Qur’an (Perilakunya adalah al-Qur’an).” Kitab suci umat Islam ini juga telah menyatakan “Wa innaka laalaa khuluqin ‘azhiim (Kamu memang orang yang berbudi luhur). Inilah makna keteladanan.
Dakwah atau mengajak orang lain yang paling efektif tampaknya adalah dengan bahasa yang lembut dan tingkah laku yang santun. Bahasa tubuh, tingkah laku, atau keteladanan memberi kesan lebih kuat daripada bahasa mulut.
Ada pepatah Arab mengenai ini: “Lisaanul hal afshaha min lisanil maqaal (Bahasa tubuh lebih efektif daripada bahasa lidah).”
Dalam banyak sejarah sosial, upaya perubahan individu dan masyarakat lebih berhasil melalui model-model keteladanan. []