Mubadalah.id – Inara Rusli adalah nama seorang perempuan yang mantap melepas cadarnya setelah menggunakan penutup wajah itu sejak tahun 2018 silam. Kurang lebih 5 tahun ia mengenakan cadar dan dengan alasan yang cukup logis menurut saya– akhirnya dia resmi melepas cadarnya di tahun ini.
Sebelum saya lebih jauh berkisah tentang pengalaman beberapa perempuan bercadar di dunia kerja termasuk penulis sendiri. Di sini, perlu saya ketengahkan jika tulisan ini tidak akan menyinggung perihal hukum bercadar maupun melepas cadar.
Karena, bagi saya agama tidak melulu hanya bisa kita dekati dengan menggunakan kacamata hitam-putih (syariat). Dan berbicara tentang sosok Inara Rusli lepas cadar yang belakangan viral di media sosial, karena pilihannya untuk melepas cadar demi menafkahi keluarga, kerap hanya digiring pada pertanyaan hukum menggunakan ataupun melepas cadar saja.
Padahal ada sesuatu yang lebih penting dari pada memperdebatkan soal pilihan perempuan. Terang saja, perempuan memiliki hak dan kemerdekaannya untuk memilih cara mengekspresikan diri, baik dengan menggunakan simbol agama tertentu ataupun memilih untuk tidak menggunakan.
Contohnya saja, memilih berjilbab atau tidak, memilih bercadar atau tidak, memilih menggunakan kalung bertanda salib bagi teman-teman beragama Kristen atau tidak. Bahkan sesederhana memilih model rambut– panjang atau pendek, lurus atau keriting. Itu semua merupakan pilihan merdeka perempuan yang tidak bisa didikte oleh siapapun dengan dalih apapun.
“Lho nggak bisa gitu. Cadar memang sunnah, tapi kan jilbab itu wajib.” Sekali lagi bahwa tulisan ini tidak akan memuaskan pembaca yang selalunya menggunakan kacamata hukum dalam memandang sebuah fenomena maupun ketubuhan perempuan.
Hukum Jilbab maupun Cadar, Tergantung Kemana Kita Berkiblat
Perkara hukum jilbab, hukum cadar, batasan aurat, pengertian jilbab dan kawan-kawannya. Kiranya pembaca bisa merujuk sendiri ke beberapa literatur ataupun pandangan mufassir yang dengan cukup subjektif untuk dipilih masing-masing.
Dan jika saya perlu menunjukkan subjektifitas keberpihakan saya terkait berbagai hal di atas. Maka saya merujuk kepada pandangan mufassir Indonesia yaitu, Prof.Quraish Shihab yang jelas telah membukukan karya penafsirannya dengan judul “Tafsir Al-Misbah”. Hingga kini masyhur dirujuk di hampir seluruh perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Pun jika ada yang enggan dan memilih merujuk ke pandangan ulama yang lain, tentu boleh-boleh saja. Karena perihal hukum memang masyarakat awam hanya perlu bertaqlid kepada empunya. Yang lebih memahami dan betul mendalami ilmu tersebut.
Hanya saja, jika perlu mengemukakan alasan memilih Al-Misbah sebagai rujukan subjektif saya dalam melihat tafsir di ayat-ayat Al-Qur’an itu karena selain keilmuan pengarang tafsir Al-Misbah tak diragukan lagi, juga karena saya salah satu orang yang percaya jika subjektifitas penafsir itu sangat bergantung kepada lingkungan di mana ia bermukim.
Saling Menghormati Keputusan Bercadar atau Tidak
Adapun Quraish Shihab adalah mufassir yang lahir dan menetap di Indonesia, sehingga corak penafsirannya tentu lebih dekat dan kontekstual dengan kehidupan keberagamaan di Indonesia tentu saja. Meskipun saya juga tetap membaca karya-karya para mufassir kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhammad Abduh, Mutawalli Al-Sya’rawi dan yang semasa dengan nama-nama besar ini.
Hanya saja, kerapkali perdebatan itu muncul karena sesama awam tidak sadar jika ia awam. Dengan modal membaca satu kitab– bahkan berpuluh kitab tafsir, bagi saya itu tetap kita sebut awam jika tidak benar-benar mendalami ilmu dan metode penafsiran itu sendiri. Karena, jelas saja jika ilmu tafsir dengan seabrek metode yang ada, itu tidak sebanding dan tidak akan semudah mengutip terjemahan ayat saja.
Ketika Si A merujuk pandangan mufassir yang memakruhkan cadar. Lalu Si B merujuk kepada pandangan mufassir yang mewajibkan cadar. Menurut penulis, hal ini bukan soal penafsiran siapa yang lebih benar. Karena keduanya sama-sama perujuk dan perlu menyadari jika sesama orang yang hanya bisa merujuk (mencontoh).
Tidak elok jika harus membuka perdebatan dengan mengadu dua pandangan mufassir yang berbeda. Keduanya, silahkan berpegang pada apa yang ingin diyakini tanpa harus menegasi keyakinan orang lain, terlebih dengan cara memaksa. Sehingga dalam kasus Inara Rusli yang mantap melepas cadar. Mungkin saja, Inara memang berkiblat pada pandangan mufassir yang tidak mewajibkan cadar. Dan menganggap bahwa menafkahi keluarga itu jauh lebih wajib.
Lantas, yang berkiblat kepada mufassir yang mewajibkan cadar, tidak perlu mencibir keputusan Inara karena melepasnya. Silahkan saja meyakini dan menjalankan pandangan masing-masing. Karena keduanya memiliki alasan dan rujukannya sendiri-sendiri. (bersambung)