Mubadalah.id – Dewi Sartika dikenal sebagai perintis pendidikan. Namun, tak hanya itu ia juga lantang bicara tentang kesetaraan upah buruh dan perkawinan anak. Teks pidatonya yang ditulis tahun 1911, dan dibacakan pada perayaan 7 tahun didirikannya Sakola Kautamaan Istri menyoroti pelbagai persoalan perempuan kala itu dan sayangnya ternyata masih relevan di hari ini.
Kegelisahan Dewi Sartika akan nasib perempuan yang mendapat perlakukan berbeda dari laki-laki disadarinya sedari belia. Dewi yang kebetulan adalah anak bangsawan mendapatkan akses terbuka pada pengetahuan. Kawan perempuan sepermainannya yang tidak mempunyai darah bangsawan hanya sekedar tumbuh menjadi manusia yang kelak harus menikah tanpa perlu tahu apa-apa. Selain gender, ada pula tingkatan sosial kala itu. Laki-laki bangsawan mendapat tempat yang terbaik, perempuan biasa (bukan bangsawan) seperti tidak mempunyai hak untuk mendapat apapun, mereka berada di level terendah.
Upaya Dewi mulanya mendapat penolakan dari banyak pihak. Dewi Sartika dianggap lancang menginginkan pendidikan untuk perempuan. Saat itu sebagian orang berpendapat bahwa perempuan tidak perlu bersekolah karena walaupun pintar tetap tidak akan punya kedudukan seperti laki-laki. Asal baik, bisa menanak nasi, bisa membikin sambal, dan bisa memelihara rumah (sudah cukup) buat mengabdi kepada suaminya, kalaupun perempuan ingin bisa menulis minta diajarkan saja pada suaminya.
Dewi juga menampik pandangan yang beredar di masyarakat kalau perempuan di sekolahkan dan sudah pandai menulis hanya akan membuat surat-surat cinta sebagai perbuatan iseng yang mendorong perilaku yang kurang baik, jadi sebaiknya perempuan di rumah saja membantu orang tua.
Ada juga yang berpendapat, perempuan itu bukan untuk disekolahkan, melainkan agar mempelajari pengetahuan agama, belajar salat, mempelajari tasauf supaya baik hati dan dapat menahan nafsunya, karena perempuan itu harus teguh benteng pertahanannya. Selain itu, perempuan tidak boleh terlihat oleh laki-laki lain, kecuali oleh suaminya dan muhrimnya. Oleh karenanya, perempuan tidak baik disekolahkan.
Pendapat masyarakat tentang perempuan membuat Dewi Sartika semakin teguh dan genting mendirikan Sakola Istri. Ia berani menghadap bupati Bandung R.A.A Martanagara untuk meminta restunya. Kegigihan Dewi meluluhkan hati bupati Bandung, diijinkannya ada kegiatan belajar mengajar asalkan bertempat di Pendopo Bandung agar aman dan tidak menimbulkan kepanikan banyak pihak. 16 Januari 1904, Sakola Istri dibuka. Saat itu, muridnya ada 60 orang, dan gurunya 3 orang.
Apakah benar yang dikhawatirkan masyarakat bahwa pendidikan untuk perempuan berefek buruk? Dewi menegaskan dalam pidatonya, “perempuan bersekolah bukan cuma supaya pintar, tetapi menjadi cakap, bijak dan mandiri sehingga ketika menjadi seorang ibu, ia akan menghasilkan generasi yang berkualitas karena dididik oleh ibu yang cerdas. Ibu yang cerdas adalah modal bagi kemajuan bangsa. Selain itu, perempuan yang berpendidikan akan membuat kehidupan menjadi lebih mudah bagi semua pihak. Dengan demikian berbarengan dengn laki-lakinya yang maju, bangsa ini akan bisa maju.”
Sebenarnya apa yang diajarkan di Sakola Istri? Dewi mengutip Tuan Inspektur yang menyebut sekolah adalah “de brown van het leven” (modal hidup). Anak-anak akan diajari tentang kebersihan, tata krama, cara berbicara yang sopan, disiplin waktu, taat pada perintah guru dan orang tua, gembira, baik hati, hemat, bernalar, dan ditambah keterampilan seperti menyulam, menggambar, menjahit, melukis, membatik, memasak, dan sebagainya.
Selain kukuh memperjuangkan perempuan mendapat pendidikan, Dewi juga sangat kritis akan kesenjangan upah yang diterima perempuan. Ketidakterimaanya ia katakan dengan lantang “hendaknya jangan mengabaikan kaum perempuan dari golongan yang lebih rendah, yang karena tidak pernah mengenyam pendidikan kejuruan, harus memperoleh sepiring nasi dengan terlebih dahulu bekerja keras sebagai kuli di pabrik dan perkebunan. Batin saya sebagai perempuan sangat teriris menyaksikan perempuan seperti mereka mendapat upah jauh lebih rendah dari pria, meskipun prestasi mereka sama dengan kaum pria yang juga tidak mendapat pendidikan kejuruan”.
Ia geram dengan pendapat masyarakat yang menyepelekan perempuan bekerja, menganggap prestasi dan kebutuhan hidup perempuan lebih rendah dari pada prestasi dan kebutuhan hidup laki-laki. Ia menghimbau perusahaan agar memperlakukan perempuan dengan adil, memberikan hak menjalani istirahat sesudah melahirkan sekurang-kurangnya tiga puluh hari, dan wajib juga memberikan santunan.
Seperti menumpahkan kekesalan atas nasib buruk perempuan, dalam teks pidatonya Dewi lagi-lagi mengkritisi tentang perkawinan anak. “Perkawinan anak benar-benar merupakan kanker dalam pergaulan hidup kalangan masyarakat bumiputera dan harus diberantas, meskipun tidak mudah akan dilaksanakan. Pada masyarakat kita ada kebiasaan buruk untuk mencalonkan jodoh bagi anak-anak, sebelum anak-anak yang bersangkutan mengerti makna perkawinan”.
Seratus tiga puluh tujuh tahun lalu, hari ini, Dewi Sartika lahir di tanah Sunda. Sakola Kautamaan Istri yang didirikannya menjadi akar bagi perempuan Sunda, dan perempuan di banyak tempat untuk mendapatkan pengajaran, dan cikal bakal perubahan status perempuan mendapatkan akses pendidikan yang setara dengan laki-laki.
Dewi Sartika meyakini pendidikan adalah jalan keluar dari banyaknya masalah di negeri ini, ia telah memulainya lebih dari satu abad yang lalu. Seandainya bangsa ini bisa belajar dan mau mengejar ketertinggalan, kampanye “Antar aku ke sekolah bukan ke pelaminan” tak perlu terjadi di masa ini. []