“Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi, satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah dirimu sendiri”
Begitu saya mengawali tulisan ini dengan kalimat Kartini yang begitu familiar. Siapa yang paling bertanggung jawab dengan masa depan kita? Jawabannya adalah diri kita sendiri. Meskipun kalimat ini sudah banyak bertebaran di halaman facebeook, instagram, media sosial lainnya, apakah benar kita sudah memaknainya demikian? Jangan-jangan kita hanya sekedar tahu tanpa memahaminya.
Banyak sekali persoalan perempuan di dunia ini yang begitu kompleks, tapi masalah yang paling sulit untuk dipecahkan terkait dengan diri sendiri. Masalah insecure misalnya. Ini menjadi masalah setiap individu, khususnya perempuan yang tidak pernah selesai diperbincangkan. Di media sosial, bertebaran konten-konten perempuan dengan segala kesempurnaan yang dimiliki, mulai dari good looking, kecerdasan mumpuni, prestasi yang luar biasa, membuat kita merasa bahwa seolah-olah pencapaian diri sendiri tidak ada penghargaan sama sekali.
Sekilas mungkin masalah ini menjadi pemicu semangat kita untuk berubah. Berubah dari kebiasaan lama, berubah untuk menjadi lebih baik. Bahkan ini sangat dianjurkan oleh ajaran Islam untuk selalu melakukan kebaikan, hal ini ditegaskan oleh nabi “ seorang mukmin yang kuat dalam segala kebaikan, lebih utama dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah dalam segala kebaikan,” HR. Muslim.
Disisi lain, masalah ini menjadi toxic untuk diri sendiri. Kita bisa melihat bahwa persoalan kecantikan seringkali menggunakan tolok ukur dari kacamata sosial. Ia yang cantik, adalah yang memiliki kulit putih, badan langsing dan segala image yang ditampilkan melalui media sosial. Insecure persoalan kecantikan akan membuat kita menuntut seperti apa yang ditampilkan media sosial. Perempuan berlomba-lomba untuk menuju standart kecantikan yang telah ditetapkan oleh sosial di tatanan dunia maya.
Praktik ekonomi dalam media sosial menjadikan kita sebagai manusia konsumen yang terus merasakan kebutuhan secara terus menerus. Kita bisa lihat, produk kecantikan yang mewabah dengan berbagai manfaat yang ditampilkan. Menurut Erich Fromm, inilah bentuk wajah homo consumers berilusi dirinya berbahagia. Padahal, secara alam bawah sadar sebenarnya ia bosan dan pasif. Semkian ia mengonsumsi, semakin ia menjadi budak “kebutuhan” yang terus meningkat, yang diciptakan dan dimanipulasikan oleh sistem industri.
Meski sebenarnya, kita lebih suka berpenampilan pake rok, dengan baju hem, lalu kerudung paris, bedak bayi dan pakai minyak kayu putih. Namun sebagai perempuan yang hidup bersosial, kita akan cenderung mengikuti berbagai kenikmatan sosial media yang ditampilkan. Akhirnya, kita menjadi kehilangan diri sendiri. Perempuan kehilangan kesukaannnya. Kita merasa asing dengan diri sendiri, sebab yang menggerakkan kita bukanlah diri sendiri melainkan kefanaan yang ditampilkan oleh media sosial.
Sikap insecure semacam ini akan membuat kita jatuh dan tidak bisa mengenali sesuatu yang ada dalam diri. Sebab kita lebih fokus melihat orang lain dengan segala kesempurnaannya dibandingkan melihat diri sendiri yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Masalah seperti ini tidak hanya dialami oleh beberapa perempuan saja, mungkin setiap perempuan akan mengalami hal yang sama. Akan tetapi, kita tetap harus bersyukur dengan segala kecantikan yang kita miliki itu, dan menjadi versi terbaik karena yang paling mengenal “diri” adalah diri kita sendiri.
Menjadi cantik seperti apa yang ditampilkan di media sosial akan menjadikan kita lebih baik, merawat diri, namun ketika pemberian Tuhan atas diri kita tidak seperti apa yang dimiliki oleh orang lain, tidak perlu memaksakan untuk menjadi orang lain. Menerima diri sendiri itu pekerjaan wajib sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap Allah SWT. []