• Login
  • Register
Minggu, 15 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Insecure Hak Semua Orang, Terima dan Teruslah Hidup

Fase tertinggi dalam hidup adalah menerima segala hal yang terjadi pada diri. Hal itu sudah mencakup segalanya

Muallifah Muallifah
08/01/2022
in Personal
0
Insecure

Insecure

234
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pernah tidak sewaktu-waktu kamu melihat seseorang yang lebih daripada kamu? Barangkali dia lebih cantik darimu, atau lebih pandai bahkan dia yang lebih kaya, kemudian terciptalah rasa insecure yang yang timbul dalam diri dan menyebabkan keterasingan pada dirimu.

Bagi saya, insecure adalah hak semua manusia. Sebab perasaan semacam itu wajar ketika bersama dengan orang lain. Apalagi sebagai makhluk sosial, dipertemukan dengan orang baru dalam hidup, menjalankan fase yang berbeda dibandingkan dengan sebelumnya membuat kita akan semakin banyak bertemu dengan orang. Sehingga segala bentuk kelebihan yang dimiliki oleh orang lain, dan kita tidak memilikinya merupakan sesuatu keniscayaan yang tidak bisa dilepaskan.

“Penjahat dalam kisah kita bukanlah ibu tiri yang kejam, teman yang berkhianat, orang-orang yang merendahkan kita. Tapi… our own insecurity.” Begitu kata Alvi Syahrin dalam bukunya yang berjudul “Insecurity is My Middle Name”.

Membaca buku di atas seperti menemukan diri yang hilang akibat terdistrak dengan hal-hal yang berada di luar saya sebagai manusia yang memiliki banyak kekurangan. Bagi Alvin dalam bukunya tersebut, kita semua pasti memiliki rasa insecure, entah persoalan masa depan, fisik yang tidak sama dengan yang lain, hidup yang tidak seberuntung orang lain, dll. Namun, jika kita fokus kepada itu saja, bagaimana semesta akan berpihak kepada kita agar bahagia? Bukankah kebahagiaan dimiliki oleh orang-orang yang mampu menerima segala hidup ini?

Kamu, saya dan kita semua berbeda

Ada kalimat menarik yang kiranya bisa menjadi pertimbangan dalam hidup bahwa, misalnya kita membandingkan diri dengan seorang Maudy Ayunda, tentu pencapaiannya akan sangat berbeda. Sebab sejak kecil, ia sudah mengkonsumsi berbagai bahan bacaan, les dari tempat yang satu ke yang lain, dilahirkan dari orang tua yang berpendidikan. Dengan umur yang sama dengan kita, perilaku, aktivitas dan kebiasaan yang sudah dibangun sejak kecil sudah berbeda dengan kita yang hidup di kampung.

Baca Juga:

Katanya, Jadi Perempuan Tidak Perlu Repot?

Membaca Fenomena Perempuan Berolahraga

Prinsip Penghormatan dan Kasih Sayang Jadi Fondasi untuk Berelasi Antar Manusia

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

Akhirnya, faktor yang saya sebutkan di atas tidak bisa menjadi alasan dari setiap alasan mengapa kita harus insecure. Sebenarnya tidak masalah merasa insecure terhadap orang yang lain ketika pada kenyataannya diri kita merasa tidak semenarik, dan tidak seberuntung orang lain. Masalahnya adalah insecure yang dimiliki membuat kita tidak bergerak, tidak berusaha bahkan menegasikan seluruh kemampuan yang dimiliki sebab terdistrak dengan sesuatu di luar diri kita.

Membandingkan diri dengan orang lain memang sangat tidak mengenakkan. Apalagi perbandingannya tidak sama. Misalnya dalam contoh sederhana, saya membandingkan diri dengan si B.

Dengan kegiatan dan kebiasaan yang sama, menghabiskan waktu hanya rebahan, akan tetapi si B memiliki perusahaan yang dijalankan oleh para kayaawan, tidak fair ketika si B memiliki segala kemewahan yang dimiliki. Sebab ada faktor lain yang melatar belakangi mengapa hal itu bisa ia dapatkan tanpa bekerja. Dibandingkan dengan kita yang tidak punya perusahaan, menihilkan usaha dan kerja keras hanya karena si B tidak bekerja sebagai mana mestinya merupakan sesuatu yang sangat lucu.

Contoh di atas, kiranya kita bisa memahami bahwa membandingkan diri dengan orang lain merupakan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan. Apapun alasannnya.

Bersyukur dan menerima

Fase tertinggi dalam hidup adalah menerima segala hal yang terjadi pada diri. Hal itu sudah mencakup segalanya. Kita bisa melihat orang-orang di jalanan, tidur tanpa kasur yang empuk, tanpa baju bagus dengan pelbagai merk yang kita impikan, makan seadanya dengan lauk dan ikan yang tinggal pilih. Apakah mereka menyesal untuk hidup? barangkali beberapa waktu mereka akan demikian, tapi mungkin mereka tidak pernah menyesal untuk hidup.

Coba kita lihat bagaimana cara anak jalanan bertahan hidup, memungut sampah, ngamen di jalan. Siapa yang ingin takdir hidup seperti mereka? Bahkan tidak ada satu orangpun yang mau. Namun, mereka tidak berhenti berusaha, tidak menerima begitu saja. Artinya menerima segala kehendak Allah selalu disertai dengan usaha ataupun ikhtiar yang panjang. Termasuk bagaimana nasib yang sudah diberikan oleh Allah kepada umatnya. []

Tags: HidupInsecureKesehatan Mentalmanusia
Muallifah

Muallifah

Penulis asal Sampang, sedang menyelesaikan studi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tinggal di Yogyakarta

Terkait Posts

Jadi Perempuan

Katanya, Jadi Perempuan Tidak Perlu Repot?

14 Juni 2025
Perempuan Berolahraga

Membaca Fenomena Perempuan Berolahraga

13 Juni 2025
Humor

Humor yang Tak Lagi Layak Ditertawakan: Refleksi atas Martabat dan Ruang

13 Juni 2025
Menyulam Spiritualitas

Menyulam Spiritualitas dan Rasionalitas: Belajar Menyebut Nama Tuhan dari Perempuan Abad 16

12 Juni 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence Pada Ayat-ayat Shirah Nabawiyah Tokoh Perempuan (Part 3)

11 Juni 2025
Devotee

Mengenal Devotee: Ketika Disabilitas Dijadikan Fetish

10 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Anak di Lingkup Keluarga

    Ketika Rumah Tak Lagi Aman, Rumah KitaB Gelar Webinar Serukan Stop Kekerasan Seksual Anak di Lingkup Keluarga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Job Fair, Pengangguran Struktural, dan Nilai Humanisme

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Katanya, Jadi Perempuan Tidak Perlu Repot?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pearl Eclipse: Potret Keberanian Perempuan Dalam Bela Negara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ayat Al-Qur’an tentang Relasi Suami dan Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pentingnya Komitmen Suami dan Istri dalam Kerja Domestik dan Publik
  • Solusi Perdamaian bagi Palestina-Israel atau Tantangan Integritas Nasional Terhadap Pancasila?
  • Bagaimana Mewujudkan Perkawinan yang Kokoh dan Penuh Kasih Sayang?
  • Pearl Eclipse: Potret Keberanian Perempuan Dalam Bela Negara
  • Ayat Al-Qur’an tentang Relasi Suami dan Istri

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID