• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Islam Cinta dan Kita yang Fokus pada Dosa

Tia Isti'anah Tia Isti'anah
16/06/2019
in Personal
0
fokus pada dosa

fokus pada dosa

68
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – 2 hari yang lalu saya melihat postingan @Imamofpeace. Dia mengkritisi postingan salah satu akun yang menyertakan video Perempuan yang dicambuk. Disekililingnya banyak orang menonton. Saya masih ingat bagaimana perempuan itu mengangkat kaki ketika cambukan mengenai kakinya seraya berteriak kesakitan. Postingan itu, setelah saya cek kembali ternyata sudah dihapus pemiliknya. Padahal Islam itu cinta, kenapa kita yang fokus pada dosa?

Video tersebut kemudian membuat saya mengingat postingan instagram @aliffsyukriterlajaklaris pada tanggal 24 April. Dalam postingan yang berbentuk video tersebut, dia tampak sedang memberikan salep ke anak perempuannya yang berumur 9 tahun. Sebelumnya anak perempuan tersebut ia pukul dengan rotan karena membuka kerudungnya didepan laki-laki yang tidak dia kenal.

Saya ingin mengajukan kepada mereka sudut pandang berbeda tentang ayat atau dalil yang mereka gunakan untuk melakukan hal tersebut. Tapi saya tau bahwa mereka dan saya menggunakan pendekatan yang berbeda untuk sebuah ayat.

Dimana kelompok yang satu tidak bisa memaksakan pendapat kelompok yang lain sebagaimana kisah shalat ashar Bani Quraizhah yang sangat terkenal itu. Saat itu Rasulullah memerintahkan dengan kata “Janganlah sekali-kali kalian shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah” kepada para sahabatnya. Sebelum tiba di Kampung Bani Quraizhah, langit sudah menguning tanda waktu shalat ashar segera habis.

Mereka kemudian berdebat, harus shalat ashar di Bani Quraizhah atau di perjalanan. Sebagian kemudian shalat ashar diperjalanan karena mereka menganggap perintah itu secara inplisit sedang menyuruh mereka untuk bergegas. Sedangkan sebagian yang lain memilih melanjutkan perjalanan dan shalat ashar di Bani Quraizhah. Nabi kemudian tidak membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain dengan interpretasi mereka masing-masing.

Baca Juga:

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

Sehingga, dari kisah tersebut, saya meyakini bahwa tidak ada kebenaran yang hakiki antara kontekstualis dan tekstualis. Keduanya, hanya Allah yang bisa menilai kebenarannya. Dan dengan hal tersebut, saya ingin mengajak untuk pergi sejenak dari perdebatan sudut pandang dan mencari sebuah alternatif lain yang bisa menyatukan.

Dalam penelitian yang sedang saya garap, ada tasawuf yang bisa menjadi jalan keluar dalam berbagai masalah. Paham itu dibubuhi dengan cinta, dan bukan melulu soal pahala. Paham itu dibubuhi kepercayaan bahwa Allah Maha Cinta bukan hanya Maha Kuasa. Rahman dan Rahim seperti yang kita terus baca dalam Basmallah.

Sehingga, hukum-hukum yang ada dalam Qur’an menghasilkan kesyahduan, bukan rasa sakit dan takut. Beragama menjadi menyenangkan bukan malah menghakimi. Ibadah bukan menjadi kewajiban tapi kebutuhan.

Al-Qur’an menjadi sebuah rayuan-rayuan Allah kepada hambaNya bukan Undang-Undang. Sebagaimana Imam Al-Junaidi pernah mengatakan ”Responlah rayuan Allah karena ia mengajak pada kehidupan” Dan rayuan itu tidak memberikan hukuman, hanya saja jika tidak melakukan maka akan mendapatkan konsekuensi A,B dan C.

Dalam konteks Cinta ini, kitalah yang membutuhkan ibadahnya. Allah telah memberikan segala hal sehingga kita membutuhkan ibadah sebagai sebuah etika kita kepadaNya. Allah tidak mungkin menjerumuskan makhlukNya ke Jahannam, karena Allah tidak menganiaya.

Ayat potong tangan bagi yang mencuri dalam dimensi Cinta inipun berubah perintahnya menjadi “Buatlah sistem yang baik agar orang-orang tidak bisa mencuri”. Ayat-ayat perang Nabi Muhammad juga bukan dilihat sebagai ayat yang mengajak untuk melakukan perang, tapi sebagai sebuah keteladanan bahwa dalam perang, Nabi Muhammad masih juga menebar cinta.

Jika sudah pada tahap cinta tersebut. Saya meyakini bahwa hukum mencambuk perempuan karena tidak menggunakan kerudung akan musnah dengan sendirinya. Hukum mempertontonkan anak Perempuan ditengah lapang karena berzinahpun akan malu dilakukan dihadapan Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang tersebut. Karena orientasi kita bukan lagi Surga, tapi menyayangi sesama dan mencintai Allah sebesar-besarnya.

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah, kadang membaca, menulis dan meneliti.  Saat ini menjadi asisten peneliti di DASPR dan membuat konten di Mubadalah. Tia juga mendirikan @umah_ayu, sebuah akun yang fokus pada isu gender, keberagaman dan psikologi.

Terkait Posts

Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

26 Juni 2025
Menemani Laki-laki dari Nol

Bagaimana Mubadalah Memandang Fenomena Perempuan yang Menemani Laki-laki dari Nol?

25 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID