Mubadalah.id – 2 hari yang lalu saya melihat postingan @Imamofpeace. Dia mengkritisi postingan salah satu akun yang menyertakan video Perempuan yang dicambuk. Disekililingnya banyak orang menonton. Saya masih ingat bagaimana perempuan itu mengangkat kaki ketika cambukan mengenai kakinya seraya berteriak kesakitan. Postingan itu, setelah saya cek kembali ternyata sudah dihapus pemiliknya. Padahal Islam itu cinta, kenapa kita yang fokus pada dosa?
Video tersebut kemudian membuat saya mengingat postingan instagram @aliffsyukriterlajaklaris pada tanggal 24 April. Dalam postingan yang berbentuk video tersebut, dia tampak sedang memberikan salep ke anak perempuannya yang berumur 9 tahun. Sebelumnya anak perempuan tersebut ia pukul dengan rotan karena membuka kerudungnya didepan laki-laki yang tidak dia kenal.
Saya ingin mengajukan kepada mereka sudut pandang berbeda tentang ayat atau dalil yang mereka gunakan untuk melakukan hal tersebut. Tapi saya tau bahwa mereka dan saya menggunakan pendekatan yang berbeda untuk sebuah ayat.
Dimana kelompok yang satu tidak bisa memaksakan pendapat kelompok yang lain sebagaimana kisah shalat ashar Bani Quraizhah yang sangat terkenal itu. Saat itu Rasulullah memerintahkan dengan kata “Janganlah sekali-kali kalian shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah” kepada para sahabatnya. Sebelum tiba di Kampung Bani Quraizhah, langit sudah menguning tanda waktu shalat ashar segera habis.
Mereka kemudian berdebat, harus shalat ashar di Bani Quraizhah atau di perjalanan. Sebagian kemudian shalat ashar diperjalanan karena mereka menganggap perintah itu secara inplisit sedang menyuruh mereka untuk bergegas. Sedangkan sebagian yang lain memilih melanjutkan perjalanan dan shalat ashar di Bani Quraizhah. Nabi kemudian tidak membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain dengan interpretasi mereka masing-masing.
Sehingga, dari kisah tersebut, saya meyakini bahwa tidak ada kebenaran yang hakiki antara kontekstualis dan tekstualis. Keduanya, hanya Allah yang bisa menilai kebenarannya. Dan dengan hal tersebut, saya ingin mengajak untuk pergi sejenak dari perdebatan sudut pandang dan mencari sebuah alternatif lain yang bisa menyatukan.
Dalam penelitian yang sedang saya garap, ada tasawuf yang bisa menjadi jalan keluar dalam berbagai masalah. Paham itu dibubuhi dengan cinta, dan bukan melulu soal pahala. Paham itu dibubuhi kepercayaan bahwa Allah Maha Cinta bukan hanya Maha Kuasa. Rahman dan Rahim seperti yang kita terus baca dalam Basmallah.
Sehingga, hukum-hukum yang ada dalam Qur’an menghasilkan kesyahduan, bukan rasa sakit dan takut. Beragama menjadi menyenangkan bukan malah menghakimi. Ibadah bukan menjadi kewajiban tapi kebutuhan.
Al-Qur’an menjadi sebuah rayuan-rayuan Allah kepada hambaNya bukan Undang-Undang. Sebagaimana Imam Al-Junaidi pernah mengatakan ”Responlah rayuan Allah karena ia mengajak pada kehidupan” Dan rayuan itu tidak memberikan hukuman, hanya saja jika tidak melakukan maka akan mendapatkan konsekuensi A,B dan C.
Dalam konteks Cinta ini, kitalah yang membutuhkan ibadahnya. Allah telah memberikan segala hal sehingga kita membutuhkan ibadah sebagai sebuah etika kita kepadaNya. Allah tidak mungkin menjerumuskan makhlukNya ke Jahannam, karena Allah tidak menganiaya.
Ayat potong tangan bagi yang mencuri dalam dimensi Cinta inipun berubah perintahnya menjadi “Buatlah sistem yang baik agar orang-orang tidak bisa mencuri”. Ayat-ayat perang Nabi Muhammad juga bukan dilihat sebagai ayat yang mengajak untuk melakukan perang, tapi sebagai sebuah keteladanan bahwa dalam perang, Nabi Muhammad masih juga menebar cinta.
Jika sudah pada tahap cinta tersebut. Saya meyakini bahwa hukum mencambuk perempuan karena tidak menggunakan kerudung akan musnah dengan sendirinya. Hukum mempertontonkan anak Perempuan ditengah lapang karena berzinahpun akan malu dilakukan dihadapan Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang tersebut. Karena orientasi kita bukan lagi Surga, tapi menyayangi sesama dan mencintai Allah sebesar-besarnya.