Mubadalah.id – Agama dan keadilan gender dewasa ini menjadi salah satu isu penting masih terus diperdebatkan di banyak kalangan termasuk agamawan sendiri.
Pada tataran realitas sosial, kecenderungan umum/ arus utama (mainstream) tentang relasi gender masih memperlihatkan pandangan-pandangan yang diskriminatif terhadap perempuan.
Meskipun modernitas telah menciptakan perubahan dalam banyak tetapi norma-norma sosial yang masih hidup dan diberlakukan hingga dewasa ini masih tetap menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik dan subordinat.
Kewajiban utama perempuan adalah mengasuh, mendidik anak, kerja-kerja reproduktif lainnya, mengurus rumah tangga dan terutama melayani suami. Tegasnya, perempuan adalah makhluk domestik.
Sementara laki-laki bertugas sebagai kepala rumah tangga, pencari nafkah dan menentukan hampir segalanya. Laki-laki adalah superior dan makhluk publik-politik.
Posisi dan relasi laki-laki — perempuan/suami-istri seperti ini masih diyakini oleh banyak komunitas beragama sebagai ketentuan baku, norma yang tetap dan tidak boleh dirubah sepanjang masa.
Relasi Gender
Kenyataan relasi gender yang diskriminatif ini bukan hanya menjadi kenyataan di dalam masyarakat Indonesia, melainkan juga bangsa-bangsa muslim di seluruh dunia ikut mengalaminya.
Berbagai perundang-undangan yang menyangkut relasi laki-laki dan perempuan di sana masih menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki.
Meskipun telah terdapat berbagai kemajuan, tetapi kaum perempuan belum setara. Kerena itu belum memperoleh hak-hak kemanusiaannya secara adil, sebagaimana kaum laki-laki. Ketimpangan relasi berbasis gender ini menimbulkan problem-problem pelanggaran kemanusiaan yang serius.
Pertanyaan mendasar yang sering diajukan berkaitan dengan isu ini adalah apakah agama mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang setara dan sejajar menyangkut hak-hak sosial, budaya dan politik mereka?.
Secara lebih elaboratif pertanyaan ini dapat kita kembangkan menjadi:
Pertama, apakah kaum perempuan dalam pandangan agama memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan kedudukan yang sama dan adil di depan hukum. Baik dalam urusan-urusan privat (domestik) maupun publik, misalnya menentukan pilihan pasangan hidupnya.
Kedua, apakah kaum perempuan bisa menjadi kepala keluarga, menentukan masa depan keluarga. Maupun dalam urusan-urusan publik politik, misalnya mendapatkan akses pendidikan dan upah yang sama dengan laki-laki.
Ketiga, apakah kaum perempuan bisa menjadi kepala negara/pemerintahan dan pengambil kebijakan publik-politik lainnya dan seterusnya. []