Mubadalah.id – Ketika pihak mayoritas merasa diri sebagai yang paling kuasa, maka selanjutnya muncul kecenderungan untuk meniranisasi pihak minoritas. Suatu ekspresi tirani mayoritanisme yang menjadi penyebab intoleransi, sebab memunculkan ego beragama yang memandang minoritas secara subordinat. Bagi mereka yang berparadigma mayoritanisme, minoritas tidak boleh mengekspresikan laku beragama yang lebih, atau sekadar menyerupai, bahkan mendekati saja, ekspresi mayoritas tetap tidak boleh.
Dampak Nyata Ekspresi Mayoritanisme
Penolakan pembangunan gereja di Cilegon yang heboh pada September 2022. Persekusi ibadah natal di Tulang Bawang, Lampung, pada 2021. Dan, masih banyak lagi contoh kasus tirani mayoritanisme yang pernah terjadi di negeri “Bhineka Tunggal Ika” ini. Laku intoleransi akibat ekspresi tirani mayoritanisme itu bukan fiksi. Itu nyata. Dan, bukan tidak mungkin bakal berulang, jika laku beragama kita masih terus terjebak dalam paradigma mayoritanisme.
Dalam hal ini, tentu ekspresi mayoritanisme dapat membayangi umat agama mana pun. Tidak hanya umat Muslim. Di Indonesia sendiri, meski secara umum Islam menjadi agama mayoritas, tapi di beberapa daerah non-Muslim Islam menjadi minoritas. Sehingga, melunturkan ego mayoritanisme, dan membangun narasi kesetaraan antar-umat beragama, itu bukan hanya untuk Muslim melainkan untuk seluruh umat beragama.
Namun, dalam tulisan ini, saya hanya akan fokus mengulas dikursus kesetaraan antar-umat beragama dalam konteks keislaman. Karena islam bukan agama tiran.
Jangan Terlena dengan Kemayoritasan
Kemayoritasan kita (baca: umat Muslim), sadar atau tidak, sering kali mengekspresi dalam sikap egois yang berat hati memberi ruang beragama kepada non-Muslim. Padahal, jika benar-benar menghendaki Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, maka seharusnya ekspresi keberislaman tidak boleh tercemari dengan ego mayoritanisme.
Buya Syafii (Ahmad Syafii Maarif) dalam Titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, mengingatkan kepada kita bahwa Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat di Indonesia tidak boleh meniranisasi minoritas. Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, tetapi berbeda agama, itu harus kita lindungi dan perlakukan dengan baik. Sikap mau menang sendiri sebenarnya berangkat dari ketidak-pahaman atas esensi ajaran Islam yang mengajarkan persaudaraan semesta dengan dasar saling menghormati.
Bagi Buya Syafii, sebagaimana dalam Islam, Humanity, and the Indonesian Identity, kemayoritasan umat Muslim di Indonesia justru memberi kita tanggung jawab lebih untuk menampakkan wajah Islam yang ramah (friendly face). Sehingga, kita akan dapat benar-benar mewujudkan Islam yang rahmat bagi seluruh umat manusia, dan bukan ekspresi beragama yang hanya membawa rahmat bagi sesama, namun menjadi laknat (petaka) bagi umat berbeda agama.
Islam Mengajarkan Kesetaraan
Islam sendiri sejatinya mengajarkan kesetaraan antarsesama manusia, dan tidak menghendaki ekspresi tirani mayoritanisme. Hal ini sejalan dengan pandangan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) bahwa Islam sebagai agama yang berkesetaraan. Sebagaimana Greg Barton dalam “Memahami Abdurrahman Wahid,” pengantarnya dalam buku Prisma Pemikiran Gus Dur, menjelaskan bahwa bagi Gus Dur, Islam adalah keyakinan yang secara fundamental menentang perlakuan tidak adil meski itu terhadap non-Muslim sekalipun. Keimanan Islam yang Gus Dur yakini mengakui bahwa dalam pandangan Tuhan semua manusia adalah setara. Bahkan status Muslim dan non-Muslim juga setara.
Oleh karena Islam adalah agama yang berkesetaraan, maka ekspresi tirani mayoritanisme jelas sangat bertentangan dengan esensi Islam. Itu sangat tidak sejalan dengan maksud Islam sebagai agama yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, Tuhan sendiri mengingatkan kepada kita agar: “Tak ada paksaan dalam beragama, (sebab) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…. (Q.S. al-Baqarah [2]: 256).” Sebab, keputusan untuk beragama itu berangkat dari kesadaran tiap-tiap manusia, dan bukan atas dasar penindasan.
Jadi, laku beragama “sebagian” kelompok Muslim yang meniranisasi minoritas berbeda agama, adalah sikap yang bukan berangkat dari ajaran Islam, melainkan itu berangkat dari ego mayoritanisme dalam diri. Sebaliknya, Islam mengajarkan untuk menebar kasih, mengajarkan kesetaraan, dan menghendaki pemeluknya untuk dapat hidup rukun dan damai dengan sesama manusia meski berbeda agama. Islam bukan agama tiran. Sebab, itu merupakan salah satu jalan menuju salaam (kedamaian). []