Mubadalah.id – Sepanjang hidupnya, Nabi Muhammad SAW selalu berdiri tegak membela kaum lemah. Beliau menantang ketimpangan yang diciptakan oleh oligarki para saudagar kaya Mekah yang saat itu menguasai jalur perdagangan hingga Byzantium.
Oligarki para saudagar ini menumpuk kekayaan, menjalin konglomerasi antar suku, dan tega memonopoli pasar demi meraup untung sebesar-besarnya. Tanpa pernah memikirkan nasib kaum miskin yang terpinggirkan.
Dalam kondisi sosial seperti itulah Nabi datang membawa risalah yang mengguncang tatanan lama. Kalimat la ilaha illa Allah yang Nabi serukan bukan hanya mengandung revolusi spiritual. Tetapi juga membawa implikasi sosial-ekonomi yang dalam. Sebab Islam, sejak mula, memang menolak penumpukan harta yang hanya berputar di segelintir tangan.
Al-Qur’an memang mengakui hak kepemilikan individu. Namun, ia juga tegas menolak praktik konsentrasi dan monopoli kekayaan yang menumbuhkan jurang antara si kaya dan si miskin. Ketika akumulasi harta sudah melahirkan kelas elite yang menindas, maka saat itulah ajaran Islam menempatkan diri sebagai pihak yang melawannya.
Melalui lisannya yang jujur, Nabi Muhammad SAW mengecam keras para saudagar Mekah yang terlena pada tumpukan uang. Al-Qur’an mencatat kecaman itu dalam Surat al-Humazah ayat 2-6:
“Dia yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam (neraka) Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (Yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan.” (QS. al-Humazah ayat 2-6)
Jurang Kemiskinan
Pada masa itu, monopoli ekonomi telah memerosotkan kaum papa makin dalam ke jurang kemiskinan. Sumber-sumber penghidupan dikunci oleh segelintir orang, sehingga mustahil bagi orang miskin untuk bangkit tanpa uluran tangan sistem yang lebih adil.
Lewat wahyu ilahi, Nabi Muhammad SAW menawarkan jalan keluar yaitu sebuah tatanan sosial yang menolak eksploitasi dan mencegah oligarki.
Ajaran al-Qur’an memang tersusun dalam bahasa teologis khas zaman kenabian. Namun siapa pun bisa melihat betapa besar implikasi sosialnya. Termasuk distribusi kekayaan berlebih yang Islam wujudkan dalam infak fi sabilillah. Hal ini menjadi prinsip dasar Islam agar kesejahteraan tidak hanya untuk kaum elite.
Sebagaimana dalam pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, keadilan sosial yang Islam sampaikan bukan sekadar wacana spiritual. Tapi nyata: menolak segala bentuk penindasan ekonomi, membuka akses bagi kaum lemah, dan membangun solidaritas yang menyejahterakan.
Pada akhirnya, kita mesti bertanya pada diri sendiri: apakah keberagamaan kita hari ini masih berpihak pada yang lemah seperti yang dicontohkan Nabi? Ataukah diam-diam justru melanggengkan monopoli, sambil menenangkan hati dengan doa panjang yang kosong makna? []