Mubadalah.id – Cemas dan overthinking menjadi perasaan yang lazim muncul di usia 20-an. Seusai melewati masa-masa remaja, usia 20-an menjadi titian awal menuju fase dewasa.
Mereka yang berkesempatan melanjutkan pendidikan ke bangku pawiyatan luhur berhadapan dengan ritme akademik yang sama sekali berbeda.
Sementara, di usia 20-an ini pula, mereka yang memilih jalur karier harus menghadapi kerasnya tuntutan dunia kerja yang tak dirasakan saat magang atau PKL (praktik kerja lapangan) dulu.
Bibit-bibit asmara yang semula sekadar berkirim cokelat di hari valentine pun ikut hanyut kedalam ritme hidup yang baru. Kesetiaan dan keseriusan suatu hubungan lekas beroleh ujian dan cobaan.
Hampir-hampir hidup berasa menuntut agar usia 20-an tak lagi jadi masa-masa untuk bermain-main. Orang berhadapan dengan “raksasa” bernama masa depan yang nampak seram lagi penuh misteri.
Rasa terombang-ambing dan kebingungan acap menghinggapi. Apalagi, saat orang lain melaju lebih cepat, perasaan jadi kian kacau dan berantakan. Apakah aku bisa mengejarnya?
Seakan, dunia segera berakhir dan hari esok tak lagi bersisa. Harapan segera layu seketika kegagalan dan masalah tiba menghampiri. Rapuh, lemah, sekaligus ringkih dihantam realita hidup.
Jalani, Jalani, dan Nikmati
Arooba Kainat (2023) dalam catatannya berjudul Life in The Early 20s—The Story of Struggles mengafirmasi betapa usia 20-an merupakan masa-masa penuh perjuangan.
Kerasnya kehidupan bahkan begitu berasa kala pertama kali menginjakkan kaki di pintu kos demi berlindung dari dinginnya angin kota perantauan.
Tak ada lagi selimut nasihat ayah ibu yang sebelumnya menghangatkan. Sementara, esok kala pagi menyingsing, rutinitas kuliah atau kerja menuntut kerajinan dan kedisiplinan.
Arooba Kainat menulis begini, “I never thought that life would be struggling for me also as others say in their 20s.” Tak pernah terkira bahwa usia 20-an memang sedemikian berat.
Namun, sebagaimana semua orang mengalaminya, usia 20-an merupakan salah satu fase dari rangkaian episode hidup. Manusia perlu menjalaninya dengan enjoy alias penuh penikmatan.
“It is the age when I am learning to the peak point and I am giving my energy at the highest level to make myself a better human first,” refleksi Kainat.
Orang Lain Mapan, Diri Sendiri Masih Berantakan
Salah satu hal yang paling sering meresahkan di usia 20-an barangkali ialah keberantakan. Tatkala orang lain seumuran telah mapan duluan, diri sendiri justru masih bergumul dengan hal-hal absurd.
Misalnya saja, seorang kawan yang dahulu berada satu kelas di bangku SMA kini telah menjadi karyawan tetap sebuah perusahaan ritel. Tiap bulan, dengan gagah ia menenteng oleh-oleh barang branded untuk pacar dan orang tuanya.
Sementara kita, alih-alih berpacar, hari-hari masih saja habis untuk bergelut dengan proposal tesis. Seket buntet revisi bahkan masih mudah membikin dosen pembimbing meludah. Tak ada hasil yang layak disambut tepuk tangan meriah.
Akan tetapi, sebagai bagian dari perjalanan hidup, situasi ini tak perlu membikin kecemasan yang berlarut. Lagi pula, setiap jalan hidup punya obstacle, duri, onak, serta jalan sidhat-nya sendiri.
Aini Yeskhozhina (2023) menulis, “Being in your 20s can be tough, but it’s all part of growing up. So don’t stress too much. Take a moment to relax, try new things, stumble a bit, and then pick yourself up.”
Bagi Yeskhozina, tak tergesa mengejar sesuatu yang kita anggap sebagai ‘ketertinggalan’ penting untuk direnungkan. Sadari bahwa umur 20-an masihlah sangat oke untuk bereksplorasi, utamanya ihwal karier.
“I remember that career paths are rarely linear, and setbacks are stepping stones to growth,” seratnya.
Menolak Mitos Usia 20-an Sebagai Masa Keemasan
Bagi penikmat sepakbola, ungkapan komentator yang sering menyebut pemain dengan usia 20-an sebagai usia emas tentu acap didengar. Nahasnya, komentar ini berkembang menjadi mitos jamak yang punya implikasi serius.
Muncul keyakinan bahwa jika di usia 20-an semuanya masih berantakan, itu berarti bahwa masa depan pasti penuh suram gulita. Padahal, hidup tak melulu bergantung pada masa-masa ini.
Ada satu pesan kuat dari Rainesford Stauffer (2021). Ia berpesan begini, “Your 20s don’t have to be the best time of your life.” Ia tak sepakat dengan kecenderungan orang yang memandang umur 20-an dengan penuh glorifikasi.
Padahal, bagi Stauffer, tiap orang punya sumber daya yang berbeda, bergerak dengan linimasa yang tak sama, juga pengalaman hidup yang bisa jadi amat kontras. Tak ada yang sungguh identik antar satu dengan yang lainnya.
Pungkasnya, menjalani usia 20-an dengan terbata-bata bukanlah suatu dosa. Sebagai perjalanan spiritual, bahkan, proses mengenal diri sendiri sederajat nilainya dengan proses mengenal Sang Ilahi.
Bukankah mereka yang telah mengenal dirinya sendirilah yang bakal menemukan tuhannya? Man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah! Jadi, It’s OK jika masih berantakan di usia 20-an. []












































